[25] Troya - Gentle Breeze

4.3K 734 510
                                    

a/n: 🌈

**

"BISA tutup mulut, tidak?"

"Kau dilarang keras di sini."

"Yah, aku tidak peduli."

"Aku takkan segan-segan melukaimu."

Kelopak mataku berkedut.

"Kau cuma punya anak panah."

"Seratus buah dan kesemuanya beracun."

Kasak-kusuk berisik merupakan cara terburuk untuk membangunkan seseorang dari pingsan. Aku mengerjap, menyipit memandangi langit-langit batu yang berbayang akibat nyala lampu minyak di meja. Seantero ruangan bernuansa jingga. Semilir sejuk angin menjadi indikasi bahwa jendela tengah dibuka.

"Minggir, manusia. Aku cuma ingin melihat keadaannya."

"Dia baik-baik saja, aku sedang menjaganya."

"Aku tidak minta pendapatmu."

Namun, mau tak mau aku sedikit bersyukur atas gangguan tersebut karena setidaknya ... visi-visi yang merasuki mimpiku turut menghilang: selaput sinar perak dari retakan, sosok kegelapan dalam balutan jubah, tubuh orang Retral yang tergantung serta Khaz'gaur yang menyantap dagingnya, wajah tengkorak Maglath.

"Yah, suka atau tidak, kau sedang mendengarkanku sekarang."

"Sayang sekali."

Aku menghela napas panjang dan berjuang bangkit duduk, pergerakanku serta-merta menghentikan diskusi singkat kedua orang itu.

Salah satu bergegas menghampiriku mendahului yang lain. Kurasakan tangan seseorang menyentuh dahiku dan mendorong, kuat, sehingga kepalaku kembali jatuh ke bantal. "Diam di sana," gumamnya. "Demamnya sudah turun."

Aku melihat melampaui tangan itu, menatap pemiliknya yang berdiri di sebelah ranjangku. "Kau seharusnya tidak di sini, Elysian."

Dia mengabaikanku. Sebelah tangannya yang lain meraih pergelangan tangan kiriku dan menginspeksi bekas luka di sana, tiga garis horizontal bergerigi yang ditimpa oleh satu garis tunggal vertikal, ekspresinya yang tersalut bayangan campur aduk oleh beragam emosi. "Benar-benar kembali dalam keadaan utuh dari neraka. Sulit dipercaya," dia berbisik terperangah, seolah-olah bukan aku yang sedang diajaknya bicara.

Suara deham keras. "Jam tengok pasien sudah selesai. Silakan pergi atau kutendang kau ke luar jendela."

Kuperhatikan dahi Elysian mengernyit. Baru saat itulah dia melepaskan pegangannya dan berpaling menghadap orang lain yang juga berada di ruangan.

Cascade balas menatap tajam dari posisinya di dinding seberang, berdiri bersandar sambil melipat tangan secara defensif di depan dada. Aku memiringkan kepala sedikit dan atensinya pun teralih; mata kami bertemu. Si pemburu serta-merta menurunkan tangan lalu menegakkan tubuh. Penampilannya terkesan berbeda, hampir asing di penglihatanku, sebab ia ternyata tidak sedang mengenakan jaket berburunya yang biasa, melainkan sekadar kemeja putih polos dengan tali di bagian kerah beserta celana hitam. Meski bayang-bayang obor menyembunyikan separuh wajahnya, entah mengapa aku yakin melihat kejengkelan tadi berangsur menguap.

Kami masih mempertahankan kontak mata tanpa bertukar sepatah kata pun. Aku tidak tahu apa yang harus diucapkan pada momen tersebut, apa memang ada yang harus diucapkan. Entah kalau Cascade. Ini pertemuan pertama kami sejak sepeninggalku ke Jantung Iblis.

Sewaktu si pemburu hendak mendekat, Elysian lekas merentangkan satu tangan ke samping, gestur yang membuat semacam penghalang. "Mundur," ia memperingatkan. Udara berpusar lamban di bawah lengannya. Namun, Cascade tidak mengindahkan dan terus berjalan sampai akhirnya berdiri dekat di hadapan Elysian.

Oceanus: The Breathing IslandWhere stories live. Discover now