ICE PRINCESS ❄ 13 | Who are you, 3G?

234K 14.8K 583
                                    

"Jika Cinderella punya pangeran yang memperjuangkan cintanya, lo punya gue yang akan ngelakuin apa aja asal lo bisa senyum."

ARJUNA

.

Bunyi alarm mengusik tidur Raya. Dengan cepat ia ulurkan tangan dan menekan alarm penganggu itu hingga akhirnya hilang.

Raya mengucek kedua mata, berkedip beberapa kali membiasakan cahaya redup kamar tidurnya mengenai retina.

Raya menoleh ke jam alarm digital yang menunjukkan pukul 4.30 am.

Suara tulang-tulang berbunyi terdengar samar saat Raya merenggangkan kedua tangannya.

Ia bangkit lalu menyambar handuk serta baju dalam yang akan ia kenakan pagi ini.

Sebagai umat muslim, Raya tak lupa menunaikan ibadah wajib.

Ia mengambil mukenah serta sajadah yang terlipat apik di lemari lalu melaksanakan salat subuh dengan khusyuk.

Setelahnya ia memakai seragam khas sekolah, mengingat ini adalah hari Rabu.

Rambut yang tergerai sebahu lebih itu ia kuncir menjadi satu, menyisakan poni miring di bagian kening serta anakan rambut yang menjutai di sekitar telinga.

Wajah putihnya ia lapisi bedak tipis, serta tak lupa lip balm agar bibir ranumnya tak pecah.

Raya bangkit dari meja rias ke meja belajar. Ia memeriksa sekali lagi buku-buku serta perlengkapan tulisnya. Setelah dirasa semua telah terbawa, Raya mengantongi ponsel dan menutup pintu, menuruni tangga ke meja makan.

Bibir itu terkatup rapat saat melihat seseorang dengan laptop di meja sambil memakan roti lapis.

"Pagi Yah,"

Ferdi, ayah Raya mendongak sekilas lalu kembali berkutik dengan laptop.

Raya tersenyum nanar, sudah terbiasa akan sikap ayahnya ini.

Raya mengolesi roti lapis dengan selai kacang favoritnya. Sambil mengolesi, matanya berkali-kali memperhatikan sang ayah yang tampak tak peduli atau menyadari kehadirannya.

Raya menghela napas.

"Ayah tumben pulang?" ucap Raya ragu-ragu mencoba membuka percakapan.

Lagi-lagi Ferdi hanya diam.

Sepertinya laptop itu lebih penting ketimbang pertanyaan sang anak yang sudah lama tak berbincang dengannya.

"Pekerjaan Ayah di Dubai udah selesai?"

"Hmm,"

Raya tersenyum tipis mendengar deheman itu.

"Pagi ini, Ayah mau kemana lagi?"

"Ayah mau ke luar negeri lagi? Kemana?"

Ferdi menghela napas risih. Ia melirik Raya dengan sorot mata tajam.

"Bukan urusan kamu."

Setelahnya, pria paruh baya itu menutup laptopnya keras-keras, menentengnya dan melenggang pergi.

Raya menatap kursi kosong bekas ayahnya duduk dengan wajah datar serta air mata yang menetes.

Bi Edah yang menyaksikan itu dari balik tembok dapur, ikut menitihkan air mata. Sudah sering ia melihat kejadian seperti ini tiap kali sang majikan pulang.

Melihat Raya yang selalu meneteskan air mata pilu saat ayahnya bersikap sedemikian, merangsang matanya untuk turut mengeluarkan air mata.

Bi Edah tau, meski muka tembok sekeras apapun Raya pasang di wajahnya, akan runtuh juga ketika berhadapan dengan sang ayah.

ICE PRINCESS • (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang