Satu

53.6K 2.4K 64
                                    

Aku dan kamu pernah menjadi "kita"
Tapi saat kesetian tidak lagi berada di dalamnya, "Kita" kembali menjadi aku dan kamu..

Bryna berdiri tegak menatap bangunan tua yang masih berdiri megah dihadapannya. Semuanya terasa begitu familiar meski dia sudah tidak menginjakkan kakinya disini selama empat tahun belakangan.

Rumah besar dua lantai dengan pilar yang kokoh, halaman berumput yang terawat, taman dengan beragam bunga dan tumbuhan, ayunan kayu dan gazebo di tepi kolam. Semuanya mengingatkan Bryna tentang masa kecilnya.

Seandainya Bryna menutup mata pun, dia akan selalu mengenali rumah itu. Aroma rumah selalu melekat dalam ingatannya dengan kenangan-kenangan yang istimewa.
Dia memeluk tubuhnya sendiri, memejamkan mata dan bernafas dalam-dalam. Ia akhirnya benar-benar pulang.

Dulu, saat ia dan Brenda masih kecil, Ayah mereka selalu menyempatkan setiap sore untuk menemani mereka bermain di halaman belakang. Mereka tertawa, berlarian dan berteriak penuh kebahagiaan. Dan ibunya akan meneriakkan peringatan-peringatan kepada mereka dari teras samping.

Tapi semuanya berubah seiring berjalannya waktu. Kanker paru-paru itu membuat Ayahnya meninggal saat usia Bryna baru menginjak 14 tahun.

Dan Ibunya, yah, ibunya yang tangguh dan selalu keras itu sekarang sedang terbaring tak berdaya di ranjang Rumah Sakit.

Sepertinya, satu-satunya yang tidak berubah di sini adalah rumah itu sendiri.

Membuka mata, Bryna akhirnya melangkah ke beranda dan membuka pintu ruang depan. Saat ia masuk, ia tahu bahwa pikirannya yang terakhir adalah salah.

Rumah itu sudah tidak terasa seperti rumah. Tidak lagi. Tidak sejak Brenda dan Nicko menjadikannya sebagai rumah mereka.

•°•

Brenda dan Nicko sudah berada di ruang makan sekarang. Keduanya duduk di meja panjang, dan saling berhadapan.

Brenda, adiknya, menurunkan gelas jusnya dan menatap angkuh kearahnya.

“Kami udah nungguin kamu sejak tadi, Bry.” Katanya kesal.

Sorry, aku nggak merhatiin waktu.”

It’s ok Bry,” kata Nicko. “Kami belum lama nunggu kok.”

Brenda memberi pandangan mencela kearah suaminya, tapi Nicko sepertinya pura-pura tidak melihatnya.

“Kamu tahu Bry, kamu memang baru pulang beberapa hari, tapi bisakah kamu menghargai kami, dengan tidak melupakan aturan-aturan sederhana dirumah? Kasih kabar kalau kamu telat, misalnya.”

Bryna menatap adiknya. Dia cantik, selalu tampil anggun dengan rambut hitam, kulit putih, dan tubuh mungilnya. Tapi Meskipun begitu, Bryna tahu bahwa adiknya bisa lebih dari sekedar jahat.

“Hanya sementara Bren, dan hanya karena Ibu kena serangan jantung. Jadi tolong, nggak usah membesarkan masalah-masalah kecil.”

Bryna bergabung dengan mereka di meja makan, tapi ia sudah kehilangan selera makannya.

Ia tidak benar-benar bisa menikmati makanan sejak Nicko menghubunginya beberapa hari yang lalu, mengatakan bahwa ibunya memintanya pulang sebelum serangan jantung yang parah itu menyerangnya.

Bryna sempat ragu sebelum memutuskan untuk pulang. Tapi mengingat keadaan kritis ibunya, dengan frustasi, dia memesan jadwal penerbangan paling awal yang bisa didapatnya, yang akhirnya membawanya mendarat di Jakarta.

Dia memesan grab car dan langsung menuju RS tempat ibunya dirawat. Saat ia tiba, ibunya yang tidak sadar masih berada di ICU. Kondisinya sudah stabil, namun tetap kritis. Dan yang terburuk bagi Bryna adalah, dia tidak yakin bahwa ibunya tahu dia sudah pulang untuk menemuinya.

Nothing Last Forever (Hate-Love) ✔Où les histoires vivent. Découvrez maintenant