Dua puluh Sembilan

14.7K 1.4K 89
                                    

Sun is up, I'm a mess.
Mentari naik, aku kacau.
Gotta get out now, gotta run from this..
Harus keluar sekarang, harus lari dari semua ini..

(Sia - Chandelier)

•°•

Suara bel yang berdentang berkali-kali membangunkan Tama. Ia melirik jam digital di meja samping tempat tidurnya, baru jam 06.04 pagi dan sudah ada orang gila yang menekan bel dengan tingkat kebisingan maksimal.

Pikiran pertama yang terlintas di otaknya adalah Nicko. Siapa tahu laki-laki itu datang lagi untuk menemui Bryna.

Dan memikirkan Nicko, mau tak mau Tama jadi ingat kalimat terakhir yang diucapkan laki-laki itu padanya semalam.

"Jangan coba untuk menyakitinya kalau tidak mau terkena kutukan." Kata Nicko sungguh-sungguh.

"Kutukan?" Tama mengernyit.

"Ya, kutukan. Aku pernah menyakitinya, dan lihatlah aku sekarang. Aku masih mencintainya sampai selama ini. Dan kurasa, aku tidak akan bisa melupakan dia seumur hidup."

"Si Brengsek Nicko dan kata-kata manisnya yang sialan." Tama mengumpat pelan sebelum keluar dari kamar dan menatap pintu kamar sebelahnya yang masih tertutup.

Kalau bukan gara-gara kedatangan Nicko semalam, saat ini pasti Bryna masih berada di sampingnya. Mungkin saja mereka tidur sambil berpelukan. Mungkin saling melempar ucapan manis dan sentuhan-sentuhan hangat. Mungkin saja mereka bahkan melanjutkan permainan mereka ke ronde-ronde berikutnya.
Siapa tahu, kan?

Suara bel terdengar lagi, lebih tidak sabar dari sebelumnya.

"Shit!"

Kalau saja membunuh tidak dosa, mungkin saja Tama akan membunuh orang yang seenaknya memencet bel di depan sana.

Tapi alih-alih menunggu di depan gerbang, tamu tak diundangnya ternyata sudah berdiri dibalik pintu yang baru saja dibuka Tama.

Dia bahkan belum sempat menanyakan bagaimana orang itu bisa melewati pagar. Melompat? Memanjat? Perpaduan keduanya?

Tahu-tahu sebuah pukulan melayang begitu saja ke rahangnya.

"Bitch!"
Tama yang seharusnya mengumpat, tapi suara Sean lah yang terdengar pertama kali.

Tama melangkah goyah kebelakang, tapi untungnya dia berhasil menangkis pukulan kedua yang dilayangkan Sean. Kali ini dia lebih siap. Dan saat berikutnya, Tama lupa siapa yang memukul lebih dulu atau siapa yang lebih babak belur diantara keduanya.
Dia tidak peduli.
Dia hanya ingin membuat orang tak tahu diri di hadapannya sesakit mungkin.
Dia bahkan tidak ingin di ingatkan kalau membunuh itu dosa.

•°•

Bryna terbangun oleh suara teriakan, makian dan gedebuk yang mengganggu.
Nyawanya bahkan masih belum terkumpul sepenuhnya, tapi saat dia berdiri dan melihat lantai bawah, dia sepenuhnya sadad bahwa Tama dan Sean sedang berkelahi.

Sayangnya, Bryna terlalu terkesima untuk segera bereaksi. Dihadapannya, Tama dan Sean saling pukul, dan dia tidak tahu harus memihak siapa.

"Stop! Stop!" Dia akhirnya berteriak, tapi tidak ada yang mendengarkan. Keduanya masih sibuk bergulat dan saling menyakiti dengan sama kuatnya.

Menuruni tangga secepat yang mampu dilakukan kaki telanjangnya, Bryna menghampiri keduanya.

"Sean, please. Tama, stop." Masih tidak ada yang menggubrisnya.

Nothing Last Forever (Hate-Love) ✔Where stories live. Discover now