Tujuh

14.7K 1.4K 10
                                    

Might be what you want,
but not what you need

(James Arthur_
You Deserve better)

•°•

“Ayo pulang, Bry!” Nicko menyentuh lengan Bryna, nyaris menariknya menuju mobil sport warna merah menyala miliknya.

Dan untuk kedua kalinya malam itu, Bryna dipaksa untuk duduk di kursi penumpang.
Nicko meluncur dibelakang kemudi, menutup pintu, dan mulai menjalankan mobilnya.

Bryna tahu Nicko sedang marah-marah, tapi dia merasa lebih marah lagi. Marah pada Nicko karena bertindak seperti orang bodoh. Marah pada Artama Ganendra karena telah menempatkannya pada posisi ini dan malah meninggalkan dirinya begitu saja.

“Apa yang sebenarnya kamu lakukan dengannya Bry?”

“Astaga, Nick. Apa kamu akan terus bertanya tentang hal ini? Apa yang kami lakukan disana sama sekali tidak menyangkut hal yang romantis. Juga tidak direncanakan sebelumnya, kalau kamu ingin tahu.”

Bryna menyadari bahwa suaranya terdengar kasar dan melengking penuh kemarahan. Memejamkan mata sebentar, ia lalu menarik nafas, berusaha menetralkan amarahnya.

“Kamu sendiri, apa yang kamu lakukan disana, Nick?” Tanyanya kemudian.

Nicko mengeliat tidak nyaman di kursi mobil mahalnya dan menghindari menatap Bryna.

“Aku perlu sedikit bersantai.”

“Santai? Di tempat seperti itu?”

“Apa yang salah tentang itu? Tidakkah kamu tahu bahwa teman laki-lakimu itu juga sering datang kesana?” Protesnya gusar.

“Kamu sudah menikah, Nick.”

“Dengan orang yang tidak ingin kunikahi. Dan jangan pernah lupa itu karena siapa.” Dia melempar pandangan menuduh kearah Bryna sebelum menghadap jalan lagi.

“Karenamu sendiri. Aku tidak akan pernah lupa itu, tentu saja.” Sahut Bryna dingin.

Nicko mengusap rambutnya frustasi. Hal yang selalu ia lakukan saat ia tertekan. Dan Bryna hampir lupa pada kebiasaan Nicko yang satu itu.

“Kami bertengkar lagi malam ini.” Katanya.

Bryna tidak menanggapi. Ia juga tidak mengaku bahwa ia sudah tahu tentang hal itu. Itu bukan urusannya.

“Apakah Tama menyakitimu?” Tanya Bryna, mencoba mengalihkan pembicaraan.

Nicko menggelengkan kepalanya.
“Nggak, Bry. Tapi, sialan! Kamu harus menjauh darinya! Lihatlah laki-laki macam apa dia! Dia berbahaya, kasar dan kejam. Kamu nggak bisa mempercayainya. Dia hanya akan membawa pengaruh buruk untukmu."

Bryna tidak menanggapi.

"Aku nggak tahu apa yang dia kejar, atau kenapa dia tiba-tiba merayap kearahmu. Tapi dia pasti punya alasan sendiri. Apapun itu, itu nggak akan bagus untukmu Bry.” Nicko mengarahkan telunjuknya pada Bryna untuk memberi penekanan. “I can guarantee you that.”

Mereka memasuki halaman sekarang. Dan sebelum Nicko mematikan mesin mobilnya, Bryna turun dan menatap tajam padanya.

“Aku menghargai kepedulian kamu Nick. Terimakasih untuk itu. Tapi aku bisa menemui siapapun yang ingin kutemui. Dan itu tidak memerlukan persetujuanmu.”

•°•

Bryna tidak menyadari betapa lelah dirinya sampai ia masuk ke dalam rumah. Ia harus memaksa kakinya melangkah perlahan menaiki tangga menuju ke kamarnya.

Tanpa berganti pakaian, ia naik ke atas ranjang, mengambil ponselnya, mencari nomor Sean, dan memanggilnya. Tidak peduli bahwa saat ini sudah jam dua pagi di Adelaide. Dia perlu bicara dengannya sekarang.

“Hai Sean.”

“Bryna? Ya Tuhan, jam berapa sekarang?” Tanyanya.

“Disini atau disana?” Bryna tertawa. Membayangkan rambut Sean yang masih acak-acakan, dengan mata yang mengantuk, mencoba melihat jam di meja samping tempat tidurnya.
“Apakah kamu baru tidur, Sean?”

“Ya, satu setengah jam yang lalu.” Ia menguap. “Apakah semua baik-baik saja? You don’t have bad news i hope.”

“Kalau tentang Ibu, nggak. She’s stable.

“Syukurlah.” Sean diam sebentar, “Ada apa Bry? Ada yang salah?”

I need a hug.” Jawab Bryna jujur.

Ia gelisah malam ini. Ia lalu menceritakan kecelakaan yang ia alami, pertemuan dengan Tama dan Nicko. Dan entah kenapa menyembunyikan bagian tentang ciumannya dengan Tama.

“Kamu terluka?”

“Aku baik-baik aja Sean. Hanya saja, entahlah.  Terlalu banyak tekanan yang menghantamku hari ini." Akunya, ingat pertengkaran Bryna dan Nicko, dan juga permintaan dari ibunya.

"Aku takut aku nggak bisa berbuat banyak tentang rumah ini, Sean. Dan tentang Karya Utama juga, kurasa sama sekali nggak berguna disini.”

“Kamu adalah gadis terkuat yang pernah kukenal, Bry. Aku tahu kamu akan berusaha semampu kamu. You’re a fast learner. Dan, lagipula, tidak perlu khawatir. Kalaupun gagal, ada aku kan?”

Bryna mendengus.
Sean tertawa sebelum bertanya dengan santai.  “Jadi, hubungan dengan Tama sudah membaik?”

Bryna menarik-narik ujung sarung bantalnya tanpa sadar setelah mendengar pertanyaan Sean.

“Dia membantuku malam ini.”

Dan menciumnya, lengkap dengan penghinaan di dalamnya. Bryna sudah tergoda untuk menyampaikan itu pada Sean, tapi lagi-lagi ia memilih untuk tidak menceritakannya. “Tapi diluar itu, entahlah, Sean.”

“Yah, paling tidak, dia hanya menyebalkan dan tidak berbahaya.”

Tidak berbahaya? Seandainya saja Sean tahu betapa dia sangat berbahaya bagi Bryna.

“Ya, aku akan mengatasinya."

"Aku tidak perlu khawatir tentang itu."

Bryna tidak menyahut, dia tidak yakin bisa menghadapi Tama dan mengatasinya sebenarnya.

"Sorry udah membangunkan tidurmu, Sean. Try to go back to sleep.

I’m not. Call again whenever you need to talk, whenever you need anything."

I will.”

Promise?”

Promise.”

“Aku merindukanmu, my Brynard bear..

Me too, Sean the sheep.”

Mengakhiri panggilan mereka, Bryna lalu menarik selimutnya dan berbaring menatap pola langit-langit kamarnya yang terang. Ia tidak pernah bisa tidur dalam gelap, jadi ia tidak mematikan lampunya.

Ia berpikir keras. Ia akan memulai hari pertamanya di Karya Utama besok. Ia harus mendapatkan tender besar untuk bisa menutup pinjaman mereka dan menyelamatkan rumah.

Tapi pertama-tama, ia akan mencoba untuk tidur terlebih dahulu.
Tidak mudah, sayangnya. Tidak dengan pikiran yang melayang tak jauh-jauh dari ciuman Tama yang -harus ia akui- sudah membuat jantungnya berdebar-debar.

•°•

Makasih yang sudah baca..

Regrads, ulphafa. 😀

Nothing Last Forever (Hate-Love) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang