Tiga Belas

13.9K 1.4K 52
                                    

Hang up,
give up,
For the life of us we can't get back..

(Taylor Swift_
Sad Beautiful Tragic)

•°•

Artama Ganendra.

Ya Tuhan, apa yang harus Bryna lakukan terhadap laki-laki itu?

Di permukaan, ia bisa menjawab, “Tidak ada. Tidak perlu melakukan apapun.”

Jadi, kenapa pikiran tentang Tama masih mengganggunya sekarang?

Dia memang sudah mencium Bryna. Hanya sebuah ciuman kan? Tidak ada yang perlu dibesar-besarkan, bahkan itupun bukan ciuman pertamanya dengan laki-laki.
So? Forget it!

Masalahnya adalah, Bryna tidak bisa melupakannya. Rasanya seperti gatal yang berasal dari sumber yang tidak dapat ia temukan. Dia tidak tahu dimana harus menggaruk untuk membebaskan dirinya.

Bryna seharusnya tidak menyukai ciuman itu. Ciuman itu memaksa dan menghinanya. Tapi nyatanya dia menyukainya. Dan dia tidak bisa melepaskan kenangan tentang ciuman itu.

Harusnya dengan ia tidak bertemu Tama selama tiga hari ini akan mengaburkan kenangan itu. Tapi tidak. Ia tidak tahu kenapa setiap kali kenangan itu muncul, ia akan ingat pada kehangatan bibir Tama, aroma wood yang segar dan maskulin dari tubuhnya, dan sensasi rasa aman dan bahaya yang muncul bersamaan pada ciuman itu.

Baru tiga hari Tama ke Malang, dan Bryna mulai merasakan..
Apa? Mungkinkah? Rindu?

“Bryna?”

Hampir terlonjak saking terkejutnya, Bryna mendongak dan menjawab seketika.
“Ya?”

Sudah lewat jam sebelas malam saat Bryna memutuskan untuk duduk di ruang baca, menikmati gemericik hujan dan alunan lagu-lagu mello dari ponselnya dengan sebuah buku yang terbuka di pangkuannya.

Ia sendirian, terlalu lama tenggelam dengan pikirannya sendiri, sampai-sampai tidak menyadari bahwa Nicko memasuki ruangan dan menghampirinya.

“Apa yang kamu lakukan disini?” Tanyanya, memutuskan untuk ikut duduk disamping Bryna.

“Hmm, lebih ke melamun sepertinya.” Jawab Bryna, mengusap pinggiran halaman bukunya yang hampir tidak sempat ia baca.

Nicko ragu-ragu sebentar sebelum berkata, “Kurasa aku berhutang permintaan maaf padamu tentang kejadian tempo hari, Bry. Aku tahu aku bersikap berlebihan."

"Ya, kamu berlebihan Nick." Bryna sepakat tentang itu.

"Aku tahu aku tidak berhak ikut campur dalam kehidupanmu. Hanya saja, masih sulit bagiku untuk melihatmu berkencan dengan laki-laki lain, jujur saja.”

Bryna menggelengkan kepalanya lelah.

“Kami nggak seperti itu Nick. Kamu tahu pasti apa alasan kami jadi sering bersama akhir-akhir ini.” Jawabnya lembut, tidak ingin menimbulkan pertengkaran lain dengan Nicko.

“Kamu nggak harus melakukan ini Bry. Bukankah proyek baru ini sudah bisa menutupi pinjaman ibu? Jadi kenapa kamu masih sibuk di Karya Utama?”

Bryna menjawab santai. “Yah, aku butuh sesuatu untuk dilakukan kan? Kalau nggak, aku nggak punya pekerjaan selain berkunjung ke Rumah Sakit.”

Keduanya berpandangan, lalu nyengir.

“Kamu tahu Bry, kamu kadang-kadang sangat menyebalkan.” Nicko tersenyum penuh sayang padanya, dan Bryna hampir lupa betapa menawannya laki-laki itu saat tersenyum.

Nothing Last Forever (Hate-Love) ✔Where stories live. Discover now