Dua Puluh

14.5K 1.3K 19
                                    

Don't be his friend,
Jangan menjadi temannya
You know you're gonna wake up in his bed in the morning.
Ketahuilah kau akan terbangun pagi hari di tempat tidurnya.
And if you're under him,
Dan bila kau menurutinya,
You ain't getting over him..
Kau tak bisa melupakannya..

(Dua Lipa_New Rules)


°•

Bryna membilas wajahnya dengan air dingin dari wastafel. Menyisir rambutnya dengan tangan dan terburu-buru merapikan tampilannya.

Ia menatap cermin, memeriksa tubuhnya sendiri.
Kecuali wajahnya yang memerah dan matanya yang sayu, dia masih terlihat seperti Bryna yang biasanya.

Hanya saja, dia merasa sangat berbeda secara drastis. Dan memang itulah yang terjadi. Dia bukan lagi Bryna yang sama seperti sebelumnya.

Dan Bryna tidak mengerti kenapa perubahan sebesar itu sama sekali tidak terlihat dari luar.

Ia mengerjapkan matanya lagi.
Sebenarnya, hal yang paling misterius baginya adalah, kenapa dia membiarkan ‘ini’ terjadi dengan Tama.

Sudah banyak laki-laki yang mencoba merayunya. Tapi ia tidak memedulikan mereka. Ia bahkan tidak membiarkan Nicko, yang waktu itu adalah tunangannya sendiri untuk melakukan ‘ini’ sebelum mereka menikah.

Lalu tiba-tiba saja si mata hitam tajam itu datang, dan dia meleleh. Ia bahkan melemparkan dirinya ke tempat tidur Tama.

"Ini sama sekali tidak masuk akal." Pikirnya,  menggeleng kuat-kuat.

“Kamu hebat Bryna. Luar biasa hebat.” Gumamnya sinis pada bayangannya di cermin.

Bryna mencengkeram kenop pintu kamar mandi. Untuk beberapa saat diam, menarik nafas panjang, dan mengumpulkan semua keberanian yang ia miliki sebelum kembali ke kamar tidur. Dan dia langsung berhadapan dengan pandangan tajam Tama.

Bryna buru-buru menundukkan pandangannya. Kesalahan lain, tentu saja. Tama masih duduk di tepi tempat tidur, mengenakan celana jeansnya lagi, bertelanjang dada dengan rambut hitam yang acak-acakan.

Bryna merasa perutnya mengencang kaku. Laki-laki dihadapannya itu sialan seksi. Dan mengingat bagaimana tubuh mereka saling menyatu dan membelit beberapa saat yang lalu, membuat pipi Bryna memerah lagi.

Dan walaupun Bryna belum menghukum dirinya sendiri atas apa yang baru saja terjadi diantara mereka, jujur saja dia sudah menginginkan hal itu terjadi lagi.

Kamar bernuansa monokrom itu hening selama beberapa saat. Bryna diam-diam melirik ke arah seprai dan selimut yang kusut di atas ranjang, membayangkan betapa nyamannya bergelung disana setelah apa yang baru saja mereka lalui, dengan Tama disampingnya, mendekap dan memeluknya sampai pagi.

Bryna menggeleng sedih. Ia tidak bisa berada di bawah atap yang sama dengan Tama sekarang, ia tahu itu.

“Bryna..” Tama memulai, mendongak untuk memandang Bryna, dan menatapnya dengan isyarat ketidakberdayaan. “Aku nggak tahu harus berkata apa.”

Bryna bisa melihat bahwa Tama bingung, dan itu juga yang sedang dirasakan Bryna.

“Bagus. Karena aku nggak mau membicarakannya. Aku harus pergi.” Katanya, menyelinap melalui pintu dan bergegas menyusuri ruang tamu secepat yang mampu dilakukan dengan pangkal pahanya yang nyeri.

Ia sudah hampir mencapai pintu saat Tama berhasil menyusulnya. Ia menangkap lengannya dan membalik tubuhnya, menghadapnya.

“Kita harus membicarakannya.”

Dengan keras kepala Bryna menggelengkan kepalanya.

No.”

“Kenapa kamu tidak mengatakan sebelumnya kalau kamu.. Kamu tidak pernah.. Bahwa aku..”

Ia tidak pernah melihat Tama gugup dan gelisah seperti ini sebelumnya. Ia pasti akan sangat menikmatinya seandainya suasananya berbeda.

“Itu bukan urusanmu.”

“Mungkin tidak, sampai 40 menit yang lalu. Dan itu menjadi urusanku sekarang.”

“Tidak perlu. Sekarang sudah berakhir kan?”

“Astaga, aku bisa saja menyakitimu.” Katanya, khawatir.

Well, no.”

Did I hurt you? Apakah kamu..” Tama menelan ludah dengan susah payah. “Aku harus tahu apa kamu baik-baik saja Bry.”

“Ya!” Bryna berteriak. Ia tidak bisa menunjukkan betapa perasaannya campur aduk sekarang, jadi dia memilih marah sebagai penutupnya.

“Kamu sudah bisa mengoceh ke semua orang sekarang, Tam. Aku sudah memberimu sesuatu untuk disombongkan kan?”

"Apa maksud kamu?"

"Aku harus pergi."

Bryna menarik tangannya dari cengkeraman Tama, membuka pintu depan dengan kasar dan berlari menuju taksi yang -untungnya- masih menunggunya.

Ia sempat melihat bahwa Tama berdiri diambang pintu, mengawasi taksi yang membawanya pergi.

Air mata menggenang di pelupuk Bryna. Ia tidak menyesali apa yang baru saja terjadi, sungguh. Hanya saja, dia tidak mengerti apa yang ia rasakan sekarang.

Ia tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, atau apakah akan ada yang terjadi. Yang jelas dia tidak akan bisa melihat Tama dengan cara yang sama lagi sekarang.

Mengambil ponselnya, ia melihat ada 7 missed call dari Sean. Dan ia memanggilnya kembali.

“Bryna..”

“Sean..” Bryna tidak tahu kenapa, tapi ia langsung menangis terisak.

“Sayang, are you ok?”

"Tidak" adalah jawaban yang jujur. Tapi Bryna tidak mungkin mengatakannya pada Sean, apalagi menjelaskan alasan yang membuatnya tidak baik-baik saja.

Bryna menelan ludahnya dengan susah payah.

Sorry Sean. Aku tadi sudah mengatakan hal-hal yang menyakitimu. Aku hanya..”

“Bingung. I know.”

“Dan aku bahkan marah dan kasar pada om dan tante..”

It’s ok. Aku sudah bicara pada mama papa tadi. Mereka merasa bersalah juga. Yah, intinya, sudah berakhir sekarang kan?”

No, Sean. Aku masih tidak ingin bantuan itu.”

Sean menarik nafas panjang.
“Aku sudah menduga kamu akan mengatakan itu. Tapi untuk sekarang, bisakah kita lupakan dulu masalah ini? Aku harus tidur. Aku punya jadwal penerbangan dan harus siap-siap untuk besok.”

“Besok?"

"Ya."

"Kemana?” Tanyanya, tiba-tiba curiga.

“Jakarta.”

“Apa?”
Pekiknya, terkejut.

•°•

Note :

Terimakasih yg sudah mau bersabar dan nungguin lanjutan ceritanya..

Maaf kalau di bab ini aku gagal menjelaskan detail yang terjadi antara Tama dan Bryna malam itu..
🙏🙏🙏

(Cukup pahami bahwa itu benar-benar unforgetable, mengagumkan, dan luar biasaaa...
Selebihnya, silahkan bayangkan sendiri-sendiri..)

Terimakasih.. 😊😊😊

Regrads, ulphafa.

Nothing Last Forever (Hate-Love) ✔Where stories live. Discover now