Dua puluh Empat

13.2K 1.3K 24
                                    

Guess I need a watch to tell the time,
Kurasa aku butuh arloji agar aku tahu waktu,
Guess I need the sun to help me shine,
Kurasa aku butuh mentari untuk membantuku bersinar,
And I really need you in my life.
Dan sungguh aku membutuhkanmu dalam hidupku.
Now I know,
Kini aku tahu,
That you give me this crazy feeling..
Bahwa kau memberiku perasaan gila ini..

(Shawn Mendes_Crazy)


°•

Seluruh tubuh Bryna mendadak terasa dingin membayangkan hal apa yang bisa saja terjadi dan mengancam dihadapan mereka. Ia sadar dengan konsekuensinya, tapi dia tidak siap.

Terlebih lagi, dia tidak ingin Tama terlibat. Lagipula, apa yang bisa diharapkannya pada laki-laki yang tega membiarkan anak seperti Cessa tumbuh dalam keluarga yang tidak terikat status pernikahan?
Tidak ada.

“Nggak perlu khawatir, Tam. Malam itu kita mendapatkan apa yang kita mau. Itu saja. Hanya sampai disitu. Kita tidak terkait setelahnya, jadi kamu tidak perlu merasa harus ikut mengurusi masalahku. Apapun itu.” Ucapnya datar.

Tama menggertakkan giginya, mengumpat marah dan mengeluarkan makian beserta sumpah serapahnya.

“Lalu apa? Kamu akan melarikan diri seperti biasanya? Pulang ke pelukan Sean, dan berpura-pura bahwa semua ini tidak pernah terjadi?”

Tama lalu menurunkan kepalanya, sejajar dengan Bryna.

“Kenyataannya, ini sudah terjadi Bry. Kamu nggak bisa menghindar dari itu begitu saja. Akui saja kalau kamu mengingat semua yang terjadi sejelas aku mengingatnya.” Ucap Tama pelan.

Jarak mereka yang begitu dekat dan kata-kata Tama membawa Bryna kembali pada semua sensasi yang menyerangnya malam itu, membuat pipinya memerah dan panas.

“Aku nggak mau ada hal buruk yang terjadi padamu, Bry. Kamu harus percaya itu.” Pandangan mata mereka bertabrakan. “Apakah kamu menyesal?” Tanyanya lagi, kali ini lebih lembut.

Tidak seharusnya mereka melakukan itu sebelum menikah, tentu saja, apalagi tanpa menggunakan pengaman. Tapi apakah ia menyesal?

Perlahan Bryna menggelengkan kepalanya.
No, aku nggak menyesal.” Jawabnya jujur.

“Katakan padaku kalau kamu baik-baik saja.”

“Aku baik-baik saja.”

“Aku menyakitimu?”

“Tidak.”

“Kamu menikmatinya?”

Bryna tercengang mendengar pertanyaan vulgar itu, tapi lalu mengangguk.

“Hanya sedikit?”

“Banyak." Jawabnya, menahan nafas. "Sangat banyak. Puas sekarang?”

Sambil mendesah pelan, Tama bergumam, “Bagus.” Lalu menarik kepala Bryna ke belakang dan menciumnya tanpa tergesa-gesa.

Satu ciuman, dan Bryna bisa merasakan lagi betapa kuat tubuh Tama melawannya.

"Aku menginginkanmu, Bry." Bisik Tama di sela-sela ciuman mereka.

Bryna tahu. Ia bisa merasakannya dari ciuman Tama.
AC ruangan yang dingin membuat ciuman itu terasa lebih panas, kuat dan dalam. Dan Bryna ingat bagaimana rasanya saat kulit mereka bersentuhan satu sama lain, jadi bohong kalau dia juga tidak menginginkan laki-laki ini.

Bryna meletakkan kedua tangannya di dada Tama, ingat bahwa terakhir kali ia melakukannya, ia menelusuri tato Tama dan menanyakan jenis burung dalam tatonya. Dan Tama membisikkan "Phoenix" dengan begitu hangat di lehernya.

Tapi kali ini, tangan Bryna mendorong Tama menjauh dengan sekuat tenaga.
Ia tidak mau membiarkan Tama menguasainya lagi. Karena kalau itu terjadi lagi, Bryna yakin dia tidak akan bisa meloloskan diri darinya.

Melawan Tama dan keinginannya sendiri, Bryna bertanya, "Apa hanya itu yang mau kamu bicarakan?”

No.” Tama diam sebentar, sebelum mengatakan hal yang membuat Bryna luar biasa marah.

“Kita bisa menikah.”

3 kalimat singkat. Bukan pertanyaan, bukan permintaan, ajakan atau permohonan. Hanya kalimat bernada datar. Seperti yang biasa dia gunakan saat memecahkan masalah pekerjaan.

"Kenapa?"

Tama diam, sepertinya masih terkejut sendiri dengan kalimat aneh yang ia katakan pada Bryna tadi.

"Kenapa menikah, Tam?" Bryna mengulangi. Entah kenapa ia memburu Tama untuk segera menjawab pertanyaannya.

Dan kalau Tama benar-benar menjawab sesuai dengan apa yang ia harapkan, lalu, apa?

"Status sosial, mungkin." Tama mengangkat bahu. "Untuk menjaga nama baik keluargamu yang susah payah coba kamu selamatkan. Entahlah."

Meleset.
Bukan itu yang ingin di dengar Bryna. Dan Bryna tidak bisa menyembunyikan nada tersinggungnya sekarang.

“Tidak perlu repot-repot. Aku bisa mengurusi diriku sendiri. Terimakasih.”

"Dengarkan aku,"

"Mungkin kamu sudah lupa, Artama Ganendra. Aku tidak memerlukan status pernikahan untuk menjaga reputasiku. Kalau itu saja yang kubutuhkan, aku tidak akan meninggalkan Nicko demi cemoohan dan caci maki dari semua orang waktu itu."

"Kalau kamu hamil," Tama memulai.

"Aku tidak hamil." Bryna menyelanya lagi.

"Belum pasti." Kata Tama keras kepala.

"Kalaupun ya, itu sudah bukan urusanmu lagi."

"Apa maksudmu bukan urusanku?" Tama mendekat lagi, tampak lebih marah dari sebelumnya.

"Seperti yang tadi sudah kukatakan, kita mendapatkan apa yang kita mau malam itu. Aku tidak menyesal, dan kamu tidak perlu merasa bertanggung jawab atas apa yang sudah terjadi. Semua sudah selesai, Tama."

Dengan sigap, Bryna berbalik. Bergegas membuka pintu ruang meetingnya untuk menghindari amukan Tama, dan kemudian membeku di tempat.

Sean sedang berjalan kearahnya sekarang.
Mengenakan hoodie putih, jeans balel dan sneaker hitam. Dan dia tampak lebih muda dari usianya yang sebenarnya. Dan juga keren.

Laki-laki itu berhenti di hadapan Bryna dan tersenyum manis.
“Hai, Brynard bear. Sudah selesai?”

Bryna mengangguk cepat, dan mengamit lengan Sean, hendak mengajaknya menjauh sebelum Sean menyadari bahwa ia hanya berdua saja dengan Tama, apalagi setelah apa yang baru saja mereka lakukan.

Tapi Bryna tidak cukup cepat. Tama sudah menyusulnya.

Ia berdiri diambang pintu dan memandang Sean dengan tatapan merendahkan.
“Kenapa terburu-buru Bry?” Tanyanya sinis.

Bryna memejamkan matanya, berdo’a meminta kesabaran ekstra sebelum melepas tangan Sean dan mau tak mau memperkenalkan mereka.

“Sean, ini Tama. Tama, ini Sean.”

Keduanya menganguk kecil, sama-sama menolak berslaman. Mereka berpandangan, seolah saling menilai satu sama lain, dan baik Sean ataupun Tama tidak menyembunyikan aura bermusuhan yang begitu kentara diantara keduanya.

Bryna mengamati keduanya.
Mereka terlihat seimbang. Dengan tinggi dan postur tubuh yang tidak jauh berbeda dan sama-sama tampan, meskipun dalam deskripsi yang berbeda. Sama-sama keras kepala dan tidak mudah digertak. Dan berdiri diantara mereka berdua dalam keadaan seperti ini membuatnya tidak nyaman.

Well, ayo Sean.” Bryna menarik lengan Sean dan melirik Tama, “Bye Tam.” Ucapnya singkat, yang tidak dibalas oleh Tama, kecuali dengan tatapan, apa? Mungkinkah, cemburu?

•°•

Note :
Maaf, updatenya lama.
Lagi butuh piknik bgt kayanya, recharge mood.. 😁

Btw, thanks yang udah setia nungguin lanjutan ceritanya.
Daaan, vote jg pleaseee, jgn cm jd secret reader.. 😀😀😀
Tingkiyuuu..

Regrads, ulphafa.

Nothing Last Forever (Hate-Love) ✔Where stories live. Discover now