Dua Puluh Tiga

13.1K 1.3K 17
                                    

Am I in love or am I faded,
Apakah aku jatuh cinta atau aku memudar,
I don't know.
Aku tidak tahu.
I don't know what it is,
Aku tidak tahu apa itu,
What it is about,
Tentang apa itu,
But I can't seem to take my eyes off..
Tapi aku tampaknya tak bisa alihkan pandanganku..

(Bruno Mars_Faded)

•°•

Tama sudah berada di ruangan meeting setengah jam sebelum yang lain bergabung. Dia tidak disertakan sebagai peserta rapat, juga tidak ada yang tahu dia sudah pulang sejak kemarin. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan sebenarnya, ia hanya ingin berada ditempat dimana Bryna akan berada hari ini. Itu saja.

Dan kalaupun dia harus mempermalukan dirinya sendiri, disebut mengganggu kekasih orang, atau apapun, dia tidak peduli. Dia harus menyelesaikan masalah ini. Secepatnya.

Bryna jadi orang terakhir yang memasuki ruangan. Dia tampak cantik seperti biasanya, hanya saja dia kelihatan terkejut melihat Tama duduk di ujung meja panjang di hadapannya.

"Surprise, Bryna." Batinnya puas.

Bryna menengok kanan kirinya.
Tama tahu ia sedang mencari kursi kosong yang paling jauh untuk menghindarinya. Tapi Tama lebih cepat.
Dengan sigap, dia berdiri, membuat semua karyawan yang hadir menatapnya.

"Duduk disini, Bry." Ucapnya lembut. "Ada beberapa hal yang harus kita diskusikan tentang Malang sebelum kita mulai rapat hari ini."

Berhasil.
Pipi Bryna bersemu merah. Dan Tama menduga gadis itu mengasumsikan "Malang" dengan kenangan mereka.

Dengan seluruh mata memperhatikannya, sepertinya Bryna tidak dapat menolak permintaan Tama barusan. Ia duduk dengan kaku dan menatap Tama seakan siap untuk membunuhnya.

Tidak masalah. Bryna berada dalam jangkauannya sekarang. Dan itu cukup untuk saat ini.

"Baik-baik saja, Bry?" Tanyanya pelan dengan nada menggoda.

Bryna tidak menggubrisnya. Ia pura-pura memfokuskan pandangan saat presentasi sedang berlangsung, memperhatikan diskusi rekan-rekannya atau sekedar sibuk membolak-balik berkas dihadapannya.

Tapi Tama tahu lebih baik. Dia hanya berusaha menghindari kontak dengan Tama.

"Jadwal terakhir bu Bryna hanya tinggal serahterima dengan pihak GOR dan menghadiri grand reopeningnya malam ini bu. Tapi kalau ibu tidak berkenan, kami bisa mengusulkan nama lain pada mereka."

Tama memandang sekretarisnya dengan lebih seksama. Apa dia tidak salah dengar? Jadwal terakhir? Apa maksudnya?

"Nggak Mel, saya sudah mengiyakan permintaan mereka untuk datang sejak jauh-jauh hari. Jadi saya akan datang kesana."

"Apa maksudnya ini?" Tama bertanya dingin, menatap Bryna.

Tapi Bryna tidak menyahut. Dengan kesal, Tama memandang anak buahnya satu-persatu, meminta jawaban.

"Mela?"

Mela melirik takut-takut antara Bryna dan Tama sebelum menjawab.
"Bu Bryna memutuskan untuk meninggalkan Karya Utama pak."

Tama memutar kepalanya cepat. Ia memandang Bryna marah.

"Apa-apaan ini?"

"Saya rasa Karya Utama akan baik-baik saja tanpa saya. Ibu sudah mulai pulih sekarang, proyek juga sudah berjalan, jadi saya memutuskan untuk kembali ke Adelaide, pak Tama."

"Shit!" Tama mengumpat keras. Menyebabkan keheningan di seluruh ruangan. Tapi dia tidak peduli.

Jadi kekasihnya datang kesini untuk menjemputnya? Dia akan pergi? Begitu saja? Dan bagaimana bisa Bryna mengatakan semua itu dengan nada datar yang begitu menyebalkan?

Menahan segenap kemarahannya, Tama duduk di kursinya lagi. Menyilangkan tangan dan menatap Bryna -yang masih terus menghindari pandangannya- dengan tatapan bermusuhan.

Dia sadar bahwa rekan-rekannya mengawasinya dengan tertarik sekarang. Mungkin bertanya-tanya kenapa Tama tampak begitu emosional dan kenapa Bryna berusaha mati-matian untuk menghindarinya.

Mungkin sekarang mereka sedang menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi diantara ia dan Bryna. Atau sedang bersiap-siap menyebarkan apa yang mereka lihat barusan dan kecurigaan mereka. Terserah. Dia tidak peduli.

Bryna menjadi yang pertama berdiri begitu rapatnya selesai. Tapi Tama sudah menduga hal ini. Jadi dia sudah siap. Dengan gesit tangan Tama menyambar lengan Bryna, menahannya untuk tetap tinggal di tempat.

"Tolong lepaskan tangan saya." Katanya, mendesak.

Giliran Tama yang tidak menyahut. Ia menatap tajam pada rekan-rekannya, meminta mereka pergi tanpa kata.

Begitu ruangan sepi dan tinggal mereka di dalamnya, Tama melepaskan tangan Bryna dan melesat mengunci pintu.

"Menurutmu, apa yang sedang kamu lakukan?" Bryna bertanya, kaget.

"Ada yang perlu kita bicarakan."

"Nggak ada." Sahut Bryna dingin dan beringsut mendekati pintu, hendak membukanya.

"Berapa lama kamu akan menghindariku?"

"Aku nggak menghindarimu."

"Ya, kamu melakukannya." Bantahnya.

"Terserah." Bryna bergerak lagi, tapi kali ini Tama mencengkeram kedua bahunya, menariknya mendekat.

"Ada banyak hal yang perlu dikatakan tentang masalah ini."

"Sudah berapa kali harus kukatakan Tam? Aku nggak mau membicarakannya."

"Dengar." Tama mempererat cengkeramannya di bahu Bryna dan berkata dengan nada mengancam. "Kita akan membicarakan ini, dan kamu akan mendengarkan apa yang akan aku katakan sampai selesai. Mengerti?"

•°•

Bryna merasa tenggorokannya tercekat saat melihat Tama berada begitu dekat dengannya. Terlihat mengancam dan sangat berbahaya.

Bukan dalam artian jahat yang sebenarnya, hanya saja, dia begitu tertekan dan susah bernafas dengan jarak yang nyaris tidak ada diantara mereka.

Dalam perang kata-kata dengan Tama, dia yakin bahwa dia tidak akan menang. Jadi dia menarik nafas panjang, menguatkan dirinya untuk menatap mata tajam itu dan mengakhiri semua ini sesegera mungkin.

"Baiklah. Apa yang begitu penting untuk kudengarkan?" Katanya akhirnya.

"Kamu masih perawan."

Singkat dan jelas. Kata-kata itu menampar Bryna dengan keras dan seakan mengoloknya.

"Aku tahu itu lebih baik darimu." Sahutnya sinis.

"Well, kalau begitu sekarang aku harus bertanya. Apa kamu sedang menggunakan birth control atau nggak."

Bryna menarik nafas pendek dan sedikit memekik diluar kesadarannya.

Ia begitu terlarut malam itu. Tidak sempat memikirkan tentang alat kontrasepsi, jujur saja. Dan seingatnya, dia juga tidak mencegah Tama saat laki-laki itu mengeluarkan cairannya di dalam tubuhnya.

Terkejut dengan dirinya sendiri, pelan-pelan Bryna menggelengkan kepalanya.

"Shit!" Tama mengumpat. Memejamkan matanya lalu menggeleng dan berbisik pelan, "Astaga."

•°•

Happy Reading semuanyaaa.. 😁😁😁

Regrads, Ulphafa.

Nothing Last Forever (Hate-Love) ✔Where stories live. Discover now