BAB 46

2.1K 146 2
                                    

Bab (46)
          Adit membuka mata pelan lalu berusaha berdiri tetapi gagal. Ia melirik ke arah kakinya yang telah hilang. Astaga! Sebentar lagi ia pasti mati? Pikirnya.

Dia menoleh ke arah Jodie yang sekarang sudah lagi tak berbentuk. Wajahnya penuh darah, bencana! Semua monster itu tiba-tiba meraung marah dan semuanya hancur sudah. Adit menghembuskan napasnya pelan.

Dia tersenyum dalam hati.

Aku gagal Lisse.

☀️


Sudah hampir tiga hari Xervie dan yang lain terus saja ikut dalam acara festival bunga sakura. Mereka cemas juga karena sepertinya akan ada situasi amat buruk.

Marian menatap ke atas langit yang gelap lalu menghembuskan napasnya pelan. Dia mengerjap saat teringat kembali dengan wajah Gaston. Astaga, ia merindukan wajah polos yang tersiksa saat hendak memasuki tubuhnya itu. Rasanya ia ingin memeluk, dicium, melihat, dan mengatakan bahwa ia rindu. Ia rindu dengan segalanya tentang lelaki itu.

Saat Marian sedang terdiam, secara tiba-tiba Xervie masuk ke dalam tenda dan tersenyum lembut. Kakak laki-lakinya yang memiliki poni setengah itu mengusap puncak kepala Marian secara pelan. Marian tersenyum kecil.

"Kau rindu?" Tanya Xervie.

"Iya, aku rindu. Apalagi aku tahu jika namanya telah hilang." Marian bergumam pelan, "sekarang namanya berubah, bukan lagi Steve ataupun Gaston. Tapi ia--"

"Jangan sebutkan karena itu hanya akan membuat sakit," potong Xervie pelan. "Sesungguhnya aku juga sangat rindu, aku rindu kepolosannya, senyumnya, kulitnya yang putih tanpa bekas luka itu aku peluk erat. Rasanya ia hilang sekarang, walau aku tak pernah memanggilnya dengan nama Xelia, rasanya hampa. Dadaku terasa amat sesak, ya, sesak, sangat sesak hingga rasanya aku bukan seorang vampir."

"Dunia sungguh tidak adil, kenapa kita harus mencintai seorang berdarah renkarnasi Glomerus? Apa kita tak bisa bahagia? Sesaat kita memang bahagia, tetapi itu semua seakan-akan hanyalah bohongan belaka. Bohongan yang membuat siapapun merasa ingin meraung, menangis, mengamuk. Aku ingin seperti itu kak, tapi terkadang aku berpikir. Bahkan aku tak diharapkan oleh ayah dan ibu. Tak akan pernah!"

"Marian Lavian Sakamoto, nama lengkapmu yang benar bukan? Nama yang indah menurutku. Seorang memberimu nama yang sungguh indah--"

"Dan ia bukan ibuku kak, dia hanya seorang vampir pembantu murahan. Dia dia teramat baik padaku, rasanya amat pedih," lirih Marian pelan.

"Yah... yang jelas namamu itu apik, apa namaku juga bagus?" Xervie menatap sang adik.

"Ya, namamu sungguh bagus kak... Xervie Loxafinoel Sakamoto, nama yang bagus kak. Tapi tidak semua orang tua mau memberi nama yang sungguh-sungguh seperti itu. Namaku sederhana kak, bukan nama seorang Bangsawan."

"Kalau begitu aku akan memberikan nama Bangsawan padamu Marian, kamu seorang putri dan nama Bangsawan pantas untukmu," ujar Xervie lembut.

"Kalaupun aku tak menginginkannya kau akan tetap memberikan kak?" Marian menatap sang kakak.

"Iya."

"Nama seperti apa kak?"

"Glazzia Laskolita Sakamoto, nama yang apik bukan? Nama Bangsawan bukan?" Xervie tersenyum.

"Panggilan?"

"Glazi? Zia? Azia? Azil? Alize? Atau... emm... Glazkolita? Terlalu panjang?" Xervie tampak bingung sendiri.

"Glazkolita? Nama yang bagus kak, aku suka. Glazzia Laskolita. Nama yang bagus, tapi tak masalah jika aku terus menggunakan Marian Lavian Sakamoto?"

"Ya, tak masalah."

Sesaat mereka tampak bahagia dengan apa yang terjadi. Hidup mereka lumayan tenang. Tapi mereka tak tahu bahwa sesungguhnya kehidupan mereka sama sekali tidak tenang. Semua itu karena secara tiba-tiba semuanya hancur.

Suara ledakan, raungan, tangisan, serta kemarahan bercampur jadi satu. Xervie dan Marian menatap ke arah sumber ledakan. Bunga sakura yang habis terbakar bertebangan. Entah apa yang sebenarnya terjadi tapi mereka yakin, ini semua buruk.

"Ledakan apa itu?"

Xervie dan Edward terdiam menatap seorang yang sedang terbang di atas. Mereka terdiam bungkam. Sosok laki-laki dengan rambut hitam gelap bermata merah darah berdiri di sana. Perlahan tapi pasti! Rambut lelaki itu berubah putih keperakan.

"Bencana," gumam kedua kakak beradik itu.

"Siapa dia?"

"Alexiz... Alexiz Selvero Likalous, semua orang tak pernah tahu dia siapa. Tapi aku tahu pasti dia siapa! Dia adalah orang yang pernah menghancurkan segalanya. Dia biang masalah dalam seluruh masalah yang pernah ada! Tuan Muda Likalous!"

"Ap-apa? Ale-xiz?"

☀️


Xervie menatap tepat ke arah Tuan Muda yang terus saja di atas dengan wajah kian lebar. Lelaki itu berwajah tampan, rambutnya yang sekarang bewarna putih keperakan memberikan kesan aneh.

"Lama tidak bertemu, Edward Locaxion Sakamoto, Xervie Loxafinoel Sakamoto, dan Marian Lavian Sakamoto? Astaga itu bukan nama seorang Bangsawan, PUTRI SAKAMOTO."

Marian mendesis tak suka, ia tahu siapa orang yang ada di depannya. Amat tahu hingga rasanya ingin mengamuk.

"Apa yang sebenarnya ingin kau lakukan!?" Xervie membentak keras. Semua yang ada di kota Saverx-Qia hancur sudah. Tidak ada sisa di sana. Hanya tersisa puing-puing.

Xervie membuat sebuah pedang lalu melukai punggungnya sendiri. Tercipta sebuah sayap merah darah keperakan dan bewarna gelap. Xervie terbang ke atas menatap tajam. Diikuti Edward yang rambutnya sudah berubah warna hitam gelap dengan sayap berbulu hitam gelap. Hawa panas muncul dan sebuah sayap dengan kobaran api di sebelah Edward ikut terbang. Tentu saja itu Izumi. Lalu seseorang ikut lagi terbang, bukan dengan sayap tapi seperti cambuk yang bisa melingkar dan menjadi sebuah alat untuk bisa terbang. Itu Marian.

"Lagi-lagi, kalian... lama-lama aku bosan jika harus bertarung dengan kalian, bagaimana kita melihat sebuah permainan." Alexiz tersenyum smirik.

"Permainan?"

"Iya, permainan."

"Apa maksudmu Alexiz?" Tajam Xervie.

"Ayo! Semua renkarnasi akan bangkit, jadi kalian akan disambut senang oleh mereka! Disambut dengan sebuah KEMATIAN!"

☀️


To Be Continued


Immortal (SEASON 1 TAMAT + SEASON 2 DIBERHENTIKAN)Where stories live. Discover now