Immortal : The End of Everything

2.2K 110 0
                                    

"Ada tindakan tidak?" Edward menatap sang adik yang terdiam sambil menatap sebuah kertas yang sedikit kusam.

"Tidak," jawab Xervie datar. "HK berikan ini kepada Marian."

"Xervie! Kertas itu bukan kertas yang aku minta! Fokus!" Edward membentak kesal. Xervie tersentak pelan lalu mendengus kesal. HK hanya diam dan memutar bola mata malas. Ini sudah sering terjadi selama hampir sebulan HK di sini.

"Ah... maaf kalau begitu," balas Xervie datar man malas. Ia menghela napas lalu berdiri sebentar dan mengambil beberapa amplop coklat yang ada di meja, lebih tepatnya meja yang terletak di depannya.

Ia mengambil salah satu lalu memberikan kertas itu pada HK. "Yang ini bukan?" Xervie menatap ke arah sang kakak.

"Iya," jawab Edward pelan, "aku ingin kau fokus Xervie, jangan membuatku kesal oke?"

"Terserah," desis Xervie malas sambil berdiri kembali dan keluar dari ruangan Edward yang bernuansa hitam putih itu. Ia harus keluar atau dia tidak akan mendapatkan emosi yang tepat.

Itu tentu saja, sebab saat ini dia merindukan gadis. Gadis dengan sifat polos dan sejuta pesona, seorang gadis manusia yang bisa membuat Xervie kehilangan akalnya. Membuat dirinya seakan-akan tidak bisa apa-apa.

"Menyebalkan." Xervie mendesis kesal lalu berteleportasi dengan cepat lalu berpindah ke atap istana yang membuat laki-laki dengan ranbut perak itu bisa menatap ke arah langit. Langit yang amat biru dan jujur saja, dia sudah lama tak melihatnya. Bukan berarti sekarang para vampir bisa keluar dengan sinar matahari menerpa kulit mereka.

Semua cuaca yang ada di sini sekarang adalah rekayasa milik Roxzya alias Lisse. Ini semua adalah perbuatan gadis itu.

"Apakah dia telah melupakanku... selamanya?"

*

"Apa yang sedang kau lakukan di sini?" Vorze menaikkan salah satu alisnya. Setelah khas seorang Raja miliknya sama sekali tidak membuat Vorze menjadi sosok yang pantas dihormati.

"Terserah diriku mau di melalukan apa." Si lawan bicara membalas dengan sengit dan tidak suka.

"Oh... lalu mengapa kamu membuat catatan tak jelas itu?" Vorze membalas dengan nada sengit juga sambil duduk melipat kakinya di hadapan lawan bicaranya yang memiliki jenis kelamin laki-laki.

Laki-laki yang ada di hadapan Vorze itu menghela napas lalu mendongak dan menatap Vorze kesal. "Apa maumu Vorze?"

"Mauku? Aku sama sekali tidak berniat meminta apapun kok, aku hanya bertanya apa yang sedang kau lakukan. Itu saja," Vorze membenahi letak mahkota Rajanya sambil menggurutu kesal.

"Oh... kalau begitu sama dengan ucapanmu sebelumnya." Laki-laki itu menjawab datar.

"Oh... jadi benar kau lagi menulis tulisan aneh di buku aneh itu juga?" Vorze bertanya sambil melirik ke arah laki-laki yang masih saja menatap buku dengan pena hitam di tangannya.

"Ini bukan buku aneh kalau aku boleh bilang," ujar laki-laki itu kesal, "dan lagi aku memang membuat tulisan di mana aku ingin membuatnya."

"Jangan marah dong, aku hanya bertanya." Vorze membalas pelan, "omong-omong jatahku mana?"

Laki-laki yang menjadi lawan bicaranya itu menghela napas pelan lalu menutup buku yang ada di genggamannya lalu meletakkannya di sampingnya. Setelah itu laki-laki itu hendak melepaskan kancing teratas saat Vorze menyela dengan wajah kesal.

"OH AYOLAH! Aku tidak mungkin meminum darahmu regenerasimu dari leher? Memang kau kira aku wanita?!" Vorze membentak kesal.

"Tidak," balas laki-laki itu datar. "Lalu kau maunya minta di mana? Padahal lebih kuat jika kau meminumnya di leher."

Vorze mendengus. "Xervie Sakamoto, aku bukan Lisse Akira. Jadi dari tanganmu saja dan berhenti memasang wajah sok datar anehmu itu, bikin geli saja."

"Hmm? Benarkah?" Xervie memiringkan kepalanya yang membuatnya terlihat tampan, "tetapi aku kira itu biasa saja, dan lagi mungkin Lisse juga tak ingat aku."

"Terserah!" Vorze membentak kesal, "yang jelas ubah saja wajah datar tak jelas milikmu itu! Menggelikan serta menyebalkan!"

Vorze menarik lengan Xervie lalu menggulung lengan pakaian milik Xervie. Vorze mulai mendekatkan taringnya lalu mulai meminum darah laki-laki berambut perak itu.

"Selama kontrak kita masih ada, rasanya menyebalkan." Vorze berkata kesal, "rasanya aku ingin mati saja. Enak jadi dirimu dan Edward, masih mendapatkan sisa yang cukup banyak. Syukur jika kau bisa hidup selamanya."

"Aku tidak suka abadi," ujar Xervie kesal.

"Heh? Kenapa?"

"Immortal is Death."

"Hohh? Tapi ada sebuah kabar-kabar bahwa ada mahluk yang paling abadi di dunia, dia tidak pernah mati, juga dia tidak pernah terluka."

"Oh?"

"Dia adalah Rezorver, Rezorver de Glomerus."

Xervie mendongak dan menatap ke arah Vorze dengan sorot horor. Vorze hanya menatap datar. "Kau harusnya tahu itu," ujar Vorze pelan, "sebab Edward dan adikmu pasti tahu--HEI MAU KE MANA?!"

"Aku mau ke perpustakaan kota!" Xervie berteriak keras sambil mengembangkan sayapnya lalu menghilang dari hadpaan Vorze.

Vorze mendengus dan segera mengejar dengan sayap apinya. Segera jika ia tidak mau kehilangan sosok ceroboh itu, sungguh saat ini yang paling dekat dengan Xervie hanya Vorze dan HK. Tidak ada orang lain yang membantu Xervie selain kedua orang itu.

"Dasar menyebalkan!"

*

A/N

Aku memutuskan untuk melanjutkan cerita ini di lapak ini pula. Supaya gak susah aja sih. Wkwkwkwkkwkwk

Jadi silahkan dinikmati.

Muah

Immortal (SEASON 1 TAMAT + SEASON 2 DIBERHENTIKAN)Where stories live. Discover now