part 2

472 33 76
                                    

"Ra. Maaf, ya, tadi agak lama," kata Vita di sebrang sana. Mereka sedang berbicara via telepon. Ya, Vita yang menghubungi Raina karena masih merasa tidak enak dengan sahabatnya. Sepulang dari sana Raina sudah sibuk menggerutu, wajah kesal sudah dia tunjukkan saat setelah keluar dari rumah itu.

Dan perkataan Vita selalu menggunakan kata, agak seolah itu tidaklah lama. Padahal itu sudah lebih dari apa yang sudah di janjikan sebelumnya.

"Ya, ampun, Vit, panas nih kuping gue dengar lo terus bahas itu. Udah ratusan kali lo ngomong gitu mulu." Raina geram dengan Vita yang terus-menerus minta maaf padahal kan Raina sudah tidak apa-apa walau tadinya sempat sangat kesal.

"Iya, tetap aja gue gak enak."

"Nggak usah di makan Vit. Buang aja," jawab Raina sekenanya.

"Ih, apa sih? Eh, tapi itu masih untung sih, Ra."

"Untung kenapa?"

"Iya. Karena tante Andin nggak nahan kita buat nunggu sepupu gue yang cowok," jelas Vita disebrang sana.

"Lalu?"

"Jadi, mereka itu tiga bersaudara. Yang paling besar itu kak Nara, yang kedua itu Devan, dia sebaya kita, sih. Terakhir, si jelek Della deh," jawabnya menjelaskan.

"Ooh," sahut Raina yang sebenarnya tidak peduli dengan silsilah keluarga itu, tetapi Vita harus direspon, agar tidak mengomel tidak jelas. Cukup sudah Raina sedari tadi mendengar permohonan maafnya yang katanya menjadi tidak enak dengan Raina. Padahal jelas itu hanya formalitas seorang Vita.

"Eh, yaudah, deh, Ra. Gue mau tidur nih, bye."

"Bye," balasnya malas dan langsung menutup ponselnya.

Lihat saja bagaimana Vita menutup sambungan itu setelah dia sudah merasa mengantuk dan tidak perlu lagi berbicara dengan Raina. Mereka memang sudah terbilang sangat dekat sehingga tidak ada rasa canggung dan jika berselisih paham mereka punya cara sendiri untuk baikan dan hal itu terjadi tidak berlangsung lama.

Saat Raina mulai menutup matanya dan ponselnya juga sudah mode offline. Tiba-tiba, suara panggilan dari Vivi berdengung ditelinga Raina. Kakaknya itu memang selalu berisik, bahkan dia tidak bisa membedakan mana siang, mana malam. Tetap saja berteriak dan berbicara dengan suara cemprengnya. Meneror Raina agar membuka pintu kamarnya sehingga Vivi dapat masuk. Tentu saja Raina mengalah.

Jika suara panggilan itu muncul maka di pastikan Raina akan sulit tidur karena akan terus ditodong oleh Vivi untuk mendengarkan kisahnya dalam satu harian ini. Mulai dari pembahasan soal cinta, teman, musuh dan lain-lainnya. Bahkan hal itu bisa membuat Vivi ketiduran di kamar Raina.

Malam yang harusnya menjadi tenang dan dapat tepat waktu untuk Raina beristirahat, malah terganggu oleh Vivi. Untung saja keesokan paginya, Raina bisa bangun dengan lebih cepat dan kali ini mama Rani tidak perlu mengomel padanya

Pada pagi hari ini, Raina ada kuliah dan dia pun berangkat seperti biasa menaiki angkutan umum ke kampus tercintanya. Berbeda jika pulang kuliah dia pasti nebeng Vita. Orangtua Raina selalu membiasakan anak-anaknya untuk mandiri, karena menurut orangtua Raina, jika mereka telah tiada nanti anak-anaknya sudah terbiasa melakukan segalanya sendiri dan tentu tidak manja. Dan lagi, orangtua Raina ingin anak-anaknya merasakan hidup sederhana agar kelak jika sudah sukses dan mapan tidak lupa daratan.

Saat berjalan menuju tempat biasa Raina menunggu angkot, tiba-tiba seseorang yang mengendarai motor besar menghampirinya. Jelas Raina tidak mengenalnya dan dia bersikap cuek saja.

"Mau ke simpang, ya?" tanyanya ramah.

Raina sama sekali tidak menoleh namun sedikit waspada. "Sok akrab banget sih," pikir Raina.

"Sombong banget, sih. Kalau, iya, bisa nebeng kok sama gue," katanya lagi, masih dengan sikap ramahnya.

"Makasih," sahut Raina singkat tanpa menoleh dan tetap berjalan.

"Oke. Duluan ya." Cowok itu pun melajukan motornya dengan kecepatan lumayan kencang.

Raina telah sampai di kelas yang sudah diberitahu sebelumnya. Dia sama sekali tidak memikirkan kejadian seorang laki-laki yang sok akrab itu, karena dia seorang yang memang cuek. Bodo amat.

"Ra, lihat, tuh, si Wandi dari tadi liatin elo," kata Vita tanpa aba-aba.

Raina hanya terkekeh kecil sesaat. Dan itu terdengar hambar.
"Terus, kalau dia liatin emang kenapa? Dia, kan, punya mata Vita," jawabnya malas.

"Ih, Rara, bisa nggak sih jangan terlalu masa bodo gitu?" Raina hanya diam meletakkan tasnya dan mengambil tempat duduk disamping Vita.

"Rara!" geram Vita.

Terkadang Raina bingung kenapa Vita yang lebih heboh jika dirinya dilirik ataupun didekati cowok-cowok. Padahal dia sendiri biasa saja. Raina pikir Vita memang salah makan susu sejak bayi. Eh, minum maksudnya.

"Yaudah, sih, kalau emang dia lihat, biarin, aja. Selagi gue nggak merasa terganggu. Lagian fungsi mata, kan, emang untuk melihat," jawabnya.

"Tapi, dia kayanya suka, deh, sama lo. Soalnya gue sering ngeliat dia merhatiin lo gitu, Ra. Lo tau kan? Senior kita banyak yang suka sama Wandi. Yah, wajar aja lah, secara dia ganteng terus bawaannya cool nggak pecicilan, gue aja sempet, tuh, suka sama dia. Hal yang gue takutin nanti lo diserang lagi sama senior kita. Tau sendiri senior kita gimana rada stress," jelas Vita panjang lebar dan tak lupa memainkan ekspresi wajahnya dalam setiap perkataannya itu.

"Emang lo nggak suka sama dia, ya? Atau sekedar kagum gitu sama kegantengan nya?" lanjut Vita lagi dan sudah menghadap Raina. Dasar Vita ngomong terus berasa lagi presentasi.

"Iya, gue akui, dia emang ganteng Vit, tapi gue nggak suka sama dia, kayak senior-senior kita itu," balasnya acuh. Sejujurnya Raina tidak begitu heboh dan bersemangat jika berbicara tentang cowok-cowok yang menurut mereka populer dan ganteng. Menurut Raina membicarakan mereka hanya buang waktu dan tenaga. Lain hal jika memang suka dan benar-benar suka maka tidak masalah untuk diperbincangkan.

"Kalau dia nembak gimana, Ra?"

"Ya, ditolak, lah," jawabnya enteng.

"Sok jual mahal. Lagian gue yakin si Wandi juga nggak bakal tahan sama sikap cuek lo itu," balas Vita tepat sasaran.

"Kampret." Raina mengumpat. Vita tertawa merasa menang.

Mereka pun saling melempar hujatan yang bersifat candaan. Hal itu sudah terbiasa mereka lakukan satu sama lain mengingat adanya slogan "Kalau belum saling ngatain satu sama lain berarti belum bisa disebut teman dekat." Raina dan Vita hampir selalu melakukan hal itu jika sudah merasa temannya sok jual mahal ataupun sok merasa paling oke.


Semoga sukaaaa
Kalo suka divote dong
Komen juga boleh 😁😊😆

RainaDevan (Completed)Where stories live. Discover now