part 7

315 23 56
                                    

Terlihat dua gadis itu, memasuki perumahan Raina. Tepat saat berbelok mereka berpapasan dengan Devan, yang tidak mereka ketahui tujuannya kemana. Karena terlalu kaget, Vita jadi oleng mengendarai motornya dan pada akhirnya, mereka pun terjatuh. Devan yang menyaksikan hal itu, memberhentikan motornya, lalu menoleh kebelakang terlihat Raina dan Vita sudah terjatuh. Mereka berdua terlihat akrab dengan jalanan mulus itu.
Devan tampak meringis menyaksikan itu.

"Duh, Vita! Lo gimana, sih?! Gak becus banget!" keluh Raina sambil memegang bokongnya.

Vita berdiri sambil memegang lututnya yang nyeri, sembari berkata, "Sori gue kaget," cicitnya, lalu menepis kotoran yang menempel pada celananya.

Devan datang menghampiri dan langsung membenarkan motor Vita, lalu memasang standart motor itu. Sementara, Raina mencoba bangkit, namun bokongnya terasa sakit. Melihat itu Devan langsung mengulurkan tangannya berniat membantu. Raina menatap tangan itu lalu beralih menatap wajah sang pemilik tangan, Devan.

Raina memutar mata malas, lalu memasang wajah cueknya.

"Gue lagi baik nih," kata Devan masih dengan tangan yang terulur. Raina menepisnya dan berusaha bangkit, namun lagi-lagi gagal, Raina membutuhkan pegangan untuk membantunya berdiri. Tapi bukan Devan.

"Udah, terima aja, tuh, tangan Devan. Gue nggak bisa bantu, lo. Kaki gue nyeri banget. Yang ada kita jatuh untuk kedua kalinya." Vita bersuara yang sedari diam menyaksikan itu.

Mendengar ucapan Vita, keduanya pun bersamaan menoleh pada sumber suara.

"Udah, cepetan sini. Pegel gue," kata Devan pada Raina sambil menggerak-gerakkan jari-jarinya.

"Ada syaratnya. Lo jangan pernah ganggu gue lagi. Ngerti?!"

Devan menghela nafas lambat. "Sekarang lo mau dibantu gak? Udah gue yang tolongin, malah kasih syarat! Aneh lo. Cepetan," perintahnya lagi.

Vita yang menyaksikan itu pun dibuat geram, dengan tidak sabar, "Cepetan kali, Ra. Lama, ya, lo. Van, kali ini gue bener-bener minta tolong sama, lo. Anterin Raina ke rumahnya, gue mau langsung pulang soalnya."

"Lo yakin mau pulang? Lo gak papa? Lagian kok bisa, sih, pake acara jatuh?" tanya Devan bertubi-tubi sesaat Raina diabaikan. Kali ini tidak ada wajah nan tengil terbit di wajahnya.

"Pake banyak tanya lagi lo. Gue itu jatuh karena ngeliat lo, kaget gue sumpah!" sahut Vita dengan nada tinggi.

"Soal gue gak perlu lo pikirin, gue gak apa-apa. Masih bisa bawa motor," sambungnya lagi cepat sebelum Devan memotong omongannya.

"Hahaha... kok lo kaget, sih? Muka gue terlalu ganteng buat lo lihat secara tiba-tiba?" Tingkat kepedean Devan kembali muncul dan terlihat memuakkan untuk Raina.

"Muka lo terlalu absurd. Makanya gue kaget. Yaudah gue pulang. Anterin sahabat gue, ya, Van. Awas jangan sampe lecet. Cukup gue yang buat lecet hehe," kekeh Vita tak berdosa lalu mengangkat tangannya membentuk tanda damai, Raina mendengus kesal, memajukan bibirnya beberapa senti.

"Maaf, ya, Ra, maaf banget. Salahin aja Devan yang buat kaget. Gue duluan. Bye..." Vita berlalu dengan kecepatan pelan. Devan kembali menoleh pada Raina yang masih duduk ditanah dengan wajah cemberutnya.

"Heh! Lo betah banget sama tanah. Mau gue tolongin atau nggak, nih? Gue hitung sampe satu," ancam Devan. Alis Raina menyatu mendengarkan itu. Apa? Satu? Gila!

"Sat..."

Dengan cepat Raina memotong ucapan Devan. "Iya, gue mau!" ucap Raina sedikit berteriak. Devan tertawa menang. "Dasar Gila!" gumam Raina pelan. Namun Devan masih mendengar.

"Kalau udah dibantuin, jangan ngatain," kata Devan sambil membantu Raina berdiri dan menuntunnya berjalan menuju motornya yang terparkir. Suara Devan tidak menunjukkan protes atau pun marah.

"Harusnya, lo itu bilang makasih, ya Devan ganteng. Terus lo senyum, deh, sambil meluk gue," kata Devan lembut dan menggoda. Cowok itu selalu saja berimajinasi tinggi.

"Mimpi lo," balas Raina sengit, sambil menyikut perut rata Devan.

"Aw, galak banget, sih, sayang," kata Devan sambil menggoda.

"Beneran sakit jiwa, ya, lo. Cepetan gue mau pulang. Bokong gue sakit nih," ucapnya masih galak, namun dia enggan menatap wajah Devan yang sangat tengil, menyebalkan dan sok ganteng itu.

Devan terkekeh, "Gue makin seneng lo galak gini. Artinya gue makin semangat buat gangguin, lo. Sampai lo berubah jadi ramah dan bersikap manis sama gue." Devan tersenyum simpul.

"Terserah." Raina sudah tidak peduli, dia hanya ini cepat sampai rumah. Dan segera menghilangkan nyeri pada bokongnya.

Saat sampai depan rumah Raina. Raina langsung turun dan berbalik tanpa mengucapkan apapun pada Devan.

"Elah... Bilang makasih kek, nawarin masuk kek, atau apa gitu." Suara Devan menghentikan langkah Raina yang ingin masuk ke dalam rumahnya. Raina memejamkan matanya lalu ia sedikit menekan bibirnya kedalam.

"Makasih," ucapnya singkat, Raina langsung berbalik lagi menuju rumahnya.

Mengucapkan hal itu sepertinya sungguh sangat sulit keluar dari mulut seorang Raina kepada Devan.

Devan melihatnya cengo. Bahkan sudah dengan baiknya, Devan memberi pertolongan, pun Raina masih saja cuek.

"Dosa apa aku, Tuhan?" ucapnya dengan wajah sedih, itu terlihat seperti dibuat-buat. Tak lama, ia pun akhirnya pergi dari sana.

RainaDevan (Completed)Where stories live. Discover now