part 8

299 22 95
                                    

Raina harus pasrah saat Wandi mengantarkannya pulang ke rumah. Itu semua berkat Vita yang tiba-tiba tidak bisa pulang dengan Raina seperti biasa, dia beralasan ingin menemani mamanya ke suatu tempat dan buru-buru. Ntah, itu benar atau tidak.

Wandi menawarkan Raina untuk mencari tempat makan. Karena dia tahu jika Raina tidak sempat makan siang tadi, begitu juga dengan Wandi. Wajar saja, mereka memang satu kelas dan jadwal sama. Memang semenjak kuliah jam makan Raina menjadi tidak teratur. Mungkin mahasiswa yang lain juga merasakannya.

Raina mengiyakan ajakan Wandi. Dia juga sudah sangat kelaparan. Jadi tidak ada salahnya.

Akhirnya, mereka memilih tempat dimana yang cukup ramai dikunjungi, yaitu tempat bakso yang sering dikunjungi oleh anak-anak kampus mereka. Dan tentu tempat itu juga tidak jauh dari kampus mereka. Jika mengendarai motor maka hanya memakan waktu antara 3 sampai 5 menit saja.

Untungnya tempat itu tidak terlalu ramai seperti saat makan siang, jadi Raina sedikit lega tidak perlu menunggu makanan dengan lama.

Wandi sudah memesan dua porsi bakso dan dua ice lemon tea. Dan tidak lama makanan yang mereka pesan pun datang.

Raina hampir sedari tadi tidak mengeluarkan suara, pikirannya hanya ingin menyelesaikan makanan itu saja. Tentu alasannya, karena merasa malas berduaan dengan Wandi, apalagi di tempat umum seperti ini karena bisa saja anak-anak lain melihat mereka. Sementara Wandi sedari tadi sesekali melirik pada Raina yang cuek.

"Ra," panggil Wandi lembut. Raina menghentikan makannya dan menoleh pada Wandi yang sedang menatapnya.

"Ya," jawab Raina.

"Lo, beneran gak papa kan, kalau gue antar pulang?" tanya Wandi.

"Ya, gak pa-pa. Emang kenapa?" tanya Raina balik.

"Ya, kali aja ada yang marah, gitu," jawab Wandi dengan suara merendah.

Raina tertawa. Tertawa? Jarang-jarang Raina melakukan itu dihadapan seorang cowok.

Wandi terkagum melihat tawa Raina, jauh terlihat lebih cantik. Wandi senang bisa melihat tawa itu.

"Ya, nggak, lah. Emang siapa yang mau marah?"

"Gue!"

Raut wajah Raina seketika berubah. Alisnya bertautan. Dan Wandi juga sama kagetnya. Yang ngomong siapa?!

Dengan cepat Raina menoleh ke belakang tepat pada sumber suara yang didengarnya tadi. Raina langsung menghela nafas panjang.

Wandi masih bingung dan melihat kearah Raina seolah ingin meminta penjelasan.

Raina mengacuhkan keduanya. Dia memilih untuk menyelesaikan makanan itu. Percuma saja jika orang gila sudah muncul. Apapun yang Raina katakan dan lakukan tetap saja tidak bisa mengubah si gila itu menjadi waras.

"Giliran gue lo cuekin!" ketus cowok itu. Wandi hanya diam menyaksikan Raina yang makan dan si cowok yang berbicara sambil menarik kursi disamping Raina lalu duduk disana.

"Wan, Lo udah selesaikan? Gue juga nih. Balik aja yuk," ajak Raina tanpa peduli dengan seorang yang menatapnya tepat disampingnya.

Wandi hanya mengangguk walau wajahnya penuh dengan kebingungan, lalu segera beranjak dari duduknya.

Saat akan berdiri Devan menahan tangan Raina. Sementara Wandi lagi-lagi hanya memperhatikan dalam diam.

"Mau lo itu, apasih?!" Raina mulai jengah. Tanda peperangan pun mulai muncul.

"Mau gue? Gue mau lo bisa bersikap gimana tadi lo bersikap ke cowok itu. Gak asik lo. Pilih kasih. Tadi lo bisa ngomong baik ke cowok itu, pake acara ketawa lagi. Gue juga mau kali. Jangan Cuma digalakin mulu. Eh, by the way senyum lo cantik tadi," curhat Devan tanpa beban.
Ciri khas dari seorang Devan jika diberi kesempatan untuk berbicara maka seluruh uneg-uneg akan dikeluarkan.

"Lo emang pantes digalakin! Lepas tangan gue. Gue mau pulang. Dia udah nunggu," balas Raina.

"Eh, lo ..." tunjuk Devan kearah Wandi yang masih bingung dan hanya bisa berdiam saja. "Siapapun elo. Lo pulang aja. Dia pulang bareng gue," sambung Devan masih sambil menunjuk Wandi yang masih diam, dia terlihat bingung dengan situasi yang mendadak ini.

"Enak aja! Siapa lo?!" Raina berang dan berusaha melepaskan genggaman Devan. Namun gagal. Karena Devan terlalu kuat.

"Gue juga gak mau tau lo siapa. Tapi, bisa lo lepas tangan lo? Raina gak mau pulang bareng lo. Dia bareng gue." Pada akhirnya Wandi bersuara dengan nada tegasnya.

"Wah, berani lo ya," sahut Devan tidak terima.

"Kenapa harus takut?!" balas Wandi menantang.

"Duh, udah deh. Gue pulang sendiri aja. Ribet banget lo semua," ucap Raina ketus. Dia pun langsung pergi menjauhi kedua cowok itu. Dengan cepat Wandi memanggil dan menyusul Raina. Sementara Devan menghela nafas lalu memilih untuk tetap disana.

"Udah, deh, kali ini gue ngalah. Laper berat coy," ucap Devan pada diri sendiri. Dan tidak lama teman-teman Devan yang sedari tadi mencarinya pun muncul.

RainaDevan (Completed)Where stories live. Discover now