part 28

172 6 0
                                    

"Lo kok aneh gini sih?" tanya Raina, dia tidak nyaman dengan sikap Devan yang seperti ini. Biasanya Devan yang di kenalnya bukan seperti sekarang ini. Malah sangat menyebalkan.

Devan tertawa renyah. "Iya gue memang mulai aneh, semenjak.." Devan menggantung ucapannya.

"Gue suka sama lo," sambung Devan dengan nada pelan dan lembut.

Kata-kata itu membuat Raina tercengang, dia sama sekali belum siap untuk mendengar hal itu dari Devan. Bagaimana tidak? Devan selama ini bersikap sangat menyebalkan, namun secara tiba-tiba mengungkapkan perasaannya langsung pada Raina.

Dan apa yang di katakan Vivi benar adanya.

"Lo. Lo ngerjain gue?" tanya Raina dengan menatap Devan lekat.

"Emang tampang gue menunjukkan hal itu?" tanya Devan membalas tatapan Raina yang belum terputus.

"Ya, lo kan iseng banget sama gue."

"Dan sekarang gue nggak lagi iseng, gue serius," terang Devan mantap. Lalu Devan mengalihkan pandangannya ke arah depan dimana banyak orang-orang yang sedang sibuk dengan kesenangan masing-masing.

"Gue nggak tau, kenapa harus elo yang gue suka," kata Devan lagi di akhiri tawa kecil yang keluar dari mulutnya.

"Gue nggak minta, tapi hati gue yang milih lo." Lanjutnya lagi sambil menatap Raina. Raina merasa tubuhnya tiba-tiba kaku lalu mengalihkan pandangannya agar tatapan mereka tidak bertemu.

"Sori Ra, kalau hati gue terlalu lancang memilih lo, gue nggak maksa lo buat balas perasaan gue. Karna gue sadar itu nggak mungkin. Dan kalaupun mungkin, pasti bakal sulit," ucapan terakhir Devan sedikit janggal, namun Raina belum terlalu memikirkannya karena saat ini dia masih sibuk memikirkan dia harus berbuat apa dan berkata apa pada Devan.

"Gu... Gue."

"Gue tau Ra, ini mendadak buat lo. Dan lo juga pasti belum percaya. Tapi itu yang gue rasain."

Lalu Devan tertawa, dia teringat bagaimana awal pertama kali bertemu Raina dan bagaimana dia sangat penasaran dengan gadis itu. Yang berawal dari rasa penasaran dan tidak suka diabaikan menjadi sebuah rasa yang sangat berarti bagi Devan.

Devan memang tidak menyangka hatinya bakal jatuh pada Raina sicewek jutek, cuek dan dingin.

"Lo ingat nggak awal kita ketemu dan dari sana gue seneng buat lo kesal, dan ngalir gitu aja. Hingga akhirnya gue benar-benar jatuh hati sama lo, rasa penasaran berubah menjadi rasa suka dan bahagia kalau ngeliat elo." Devan berbicara sangat tenang. Sementara Raina jantungnya berdetak semakin kencang, bahkan nafasnya seperti tercekat.

"Tapi gue juga masih mau bilang sesuatu ke lo. Gue minggu depan bakal balik ke Bali bareng nyokap,"ucap Devan.

"Kenapa?"

Devan pun berdehem.
"Ada satu hal lagi yang harus lo tau. Niken ngancem buat bunuh diri." Belum sempat Devan menyelesaikan ucapannya, Raina langsung menyela.

"Niken?? Niken temen..." Raina menggantung ucapannya.

"Iya Niken temen Vita, sahabat lo itu."

"Alasannya apa? Niken lagi kena masalah besar? Trus hubungan lo mau balik ke Bali sama Niken apa?" tanya Raina penasaran, dan masih sangat bingung.

"Jadi Vita bener-bener nggak ngomong apa-apa sama lo ya?"

"Emang ngomong apa?" tanya Raina cepat dengan rauta wajah bingung.

Devan pun menceritakan bagaimana awal pertemuannya dengan Niken sewaktu SMP. Hingga akhirnya dia mengetahui Niken sangat menyukainya, ditambah Vita yang selalu memberi dukungan dan berjanji akan membuat Devan juga membalas perasaan Niken. Dari sana semakin terjawab, mengapa Vita menjadi sangat berubah, dan selalu meminta Raina agar tidak jatuh hati pada Devan. Memang Vita sangat tahu sifat Devan yang sangat suka membuat cewek-cewek pada baper, namun semakin melihat tingkahnya pada Raina, Vita mulai khawatir. Takut jika Devan benar-benar menyukai Raina.

"Niken suka sama gue sejak SMP. Tapi gue nggak bisa bohongin perasaan gue Ra, gue nggak suka Niken sama sekali. Gue cuma anggap dia sebagai sahabatnya Vita, nggak lebih," terang Devan.

"Dan kenapa gue memilih buat balik ke Bali, itu supaya gue jauh dari lo. Dan supaya Niken nggak melakukan hal konyol itu."

"Tapi gue nggak percaya Niken segila itu." sahut Raina masih dengan wajah tidak percayanya, segala yang di ucapkan Devan sangat sulit untuk ia percaya sekarang ini.

"Niken memang terlihat lemah lembut, tapi dia sangat keras kepala dan nekat. Dia mau segala apa yang dia mau terpenuhi," jawab Devan.

Kini suasana diantara keduanya mencair. Raina sedikit merasa lega.
Tidak seperti saat Devan menyatakan perasaannya. Untung saja masih ada pembahasan lain yang mereka bicarakan selain tentang perasaan Devan.

"Gue nggak nyangka Niken segitunya," balas Raina tidak habis pikir.

"Dan sekarang, gue cuma mau bilang yang sejujurnya sama lo tentang perasaan gue, dan gue juga pamit ke lo karna gue nggak bakal disini lagi."

"Lo berdua sama nyokap lo?" tanya Raina. Devan menjawab dengan mengangguk kecil disertai senyum tipisnya. "Bareng adek gue juga, Della." gumam Devan hampir tak terdengar. Raina merespon dengan mimik wajah yang menunjukkan keingintahuan.

"Mungkin ini kebutulan, tapi sekarang hubungan orangtua gue lagi nggak baik, mereka kemarin bertengkar hebat, dan nyokap mutusin buat pisah sementara dari bokap gue. Dan kebetulan gue juga lagi ngadapin masalah, yang buat gue harus pergi. Itu jalan terbaik menurut kami saat ini," jelas Devan tegar. Raina terdiam mendengar curhatan itu, ternyata Devan saat ini sedang tidak baik-baik saja, banyak hal yang ia simpan sendiri. Kekaguman Raina bertambah pada Devan yang selama ini hanya terlihat menyebalkan di matanya.

"Tapi kenapa lo harus pergi? Lo bisa kan jauhin gue aja, atau lo coba buka hati ke Niken?" Riana sengaja bertanya seperti itu, hanya untuk mengalihkan Devan dari pembahasan keluarganya saat ini. Dia tidak ingin bertanya terlalu jauh tentang masalah keluarga Devan. Ia tidak memiliki hak atas itu.

Devan menghela nafas lambat, lalu tersenyum hambar.
"Kalau gue mampu, gue udah lakuin itu. Tapi nggak bisa Ra, itu terlalu nyiksa gue dengan ngelihat lo tiap hari, tapi harus gue anggap nggak ada. Demi Niken supaya nggak ngelakuin hal bodoh itu."

Raina menundukkan kepalanya sedikit.

"Perasaan nggak bisa dibuat-buat, dan gue nggak suka bohongin perasaan gue. Udah lo nggak usah pikirin gue, atau Niken juga. Gue udah siap sama semua ini," jelas Devan menghibur lalu mengacak-acak rambut Raina.

Raina menganggkat wajahnya lalu tersenyum tipis. Lagi-lagi Raina membenarkan ucapan kakaknya, Vivi.
Devan memang orang baik, tidak seburuk yang dia pikir selama ini. Dugaannya salah tentang Devan.

"Satu lagi, kalau gue udah pergi nanti dan ngerasa kehilangan. Bilang ke gue ya," kata Devan tersenyum dengan jahil.

"Kenapa?" tanya Raina menautkan alisnya.

"Itu artinya lo juga punya rasa yang sama kayak gue," jawab Devan dengan super percaya diri. Terlihat sudah tingkat kepedean Devan yang sejak tadi di sembunyikannya.

Raina menahan senyum lalu mendorong bahu Devan yang sedang tertawa puas.

"Pede lo!" kata Raina namun senyumnya masih terpancar disana.

"Itu bakal terjadi," balas Devan yakin. Lalu mengusap lembut pipi Raina yang kini sudah memerah. Raina tidak bisa menolak perbuatan Devan itu.

Raina juga tidak mengerti mengapa saat itu, dia merasa nyaman  berada di dekat Devan, dan rasa takut kehilangan seperti muncul begitu saja.







Haiiii
Jangan lupa vote yaaa 😊😚😍
makasihh...

RainaDevan (Completed)Where stories live. Discover now