part 27

147 4 0
                                    

Seperti pengakuan Devan, dia memang telah menyukai Raina. Berawal dari rasa penasarannya dan tidak suka jika diabaikan, maka timbul lah rasa itu. Rasa yang sama sekali tidak di minta Devan untuk hadir di hatinya.

Lalu Vita? Kenapa dia sangat mengingankan Devan bersama Niken? Alasannya Niken itu adalah sahabat pertamanya dan hingga saat ini hubungan mereka masih tetap baik, layaknya saudara sendiri, dan Niken telah menyukai Devan saat masih SMP. jika mengingat kembali awal pertemuan Devan dan Niken,  dimana waktu itu Devan bersama keluarganya mengunjungi rumah Vita, Devan juga menghabiskan liburannya disana. Sehingga membuat Niken dan Devan menjadi bertemu.

Niken dan Vita sering bermain bersama, wajar saja karena mereka sahabatan, dan itu membuat Devan juga ikut bergabung dengan mereka selama disana.

Sementara Raina yang awalnya tidak tahu apa-apa, saat ini dia mulai mengetahui alasan Vita kenapa menjadi berubah tidak seperti Vita biasanya. Seperti yang dia kenal dulu.

"Jadi gitu Ra, gue nggak tahan banget sih sebenarnya nutupin ini dari lo." Lanjut Vivi. Kakaknya itu telah mengungkapkan semua kepada adiknya Raina soal apa yang dia lihat dan dengar tempo lalu. Dimana tidak sengaja bertemu dengan Vita dan Niken di sebuah kafe.

Raina tampak berpikir. Begitu banyak hal yang tidak masuk akal menurutnya.

"Sekarang tergantung lo. Lo milih persahabatan lo dengan menjauhi Devan atau?" ucapan Vivi menggantung.

"Lo udah ada rasa sama Devan?" lanjut Vivi pelan.

"Apa sih?" balas Raina menatap kakaknya itu malas.

"Gini ya Ra, sebagai kakak yang udah banyak pengalaman. Gue rasa Devan itu ada rasa sama lo. Dan menurut gue, dia nggak seburuk yang lo bilang selama ini. Apa lagi mama juga keliahatannya suka," kata Vivi percaya diri dengan melipat tangannya di dada.

"Jangan sok tau deh," jawab Raina malas.

"Lo itu batu banget ya dibilangin. Terserah lo deh. Gue cuma kasih saran aja. Kalau lo punya rasa ke Devan mending lo jangan jauhin dia. Vita menurut gue bukan sahabat yang baik buat lo." Vivi menutup perbincangan itu, lalu beranjak dari duduknya. Meninggalkan Raina yang masih berpikir dengan semua ucapan kakaknya itu.

Tidak lama Raina pun pergi dari sana lalu menuju kamarnya.
Dia meraih ponselnya yang berada di kasur, disana terdapat chat masuk serta panggilan tak terjawab. Dia adalah Devan.
Walau hingga saat ini kontak itu tidak di simpannya, namun Raina hapal betul angka itu.

"Gue mau ketemu."

Raina menautkan alisnya, itu adalah chat dari Devan. Buat apa? Bukannya tadi siang mereka sudah ketemu? Bahkan pulang bareng.

Belum sempat Raina membalas. Panggilan masuk dari Devan pun muncul.

"Halo." Raina menyapa dengan suara rendah.

"Gue mau ketemu. Lo siap-siap, gue jemput," kata Devan to the point.

"Ha?! Buat apa?" tanya Raina bingung.

"Ini penting." singkat Devan dan langsung menutup telpon itu.

Raina menatap ponselnya, lalu mencibir "Aneh banget sih ini orang."

Tanpa berpikir panjang. Raina pun langsung bergegas ganti baju dan siap-siap karena Devan pasti akan segera datang. Raina memang sudah cukup mengenal Devan. Setelah berkutat membereskan dirinya, benar saja. Devan sudah tiba di rumah Raina.

Raina menemuinya, dan bermaksud untuk langsung pergi saja tanpa pamit. Raina bermaksud pamitan lewat chat saja.
Tapi Devan menolak. Dia tetap akan minta ijin. Bukan tanpa alasan Raina melakukan itu, dia hanya tidak ingin berlama-lama di tanya bahkan di goda-godain dengan Devan.

"Mama papa gue lagi nggak ada. Gue bakal telpon mereka nanti." Geram Raina.

"Gue nggak mau ya, dituduh cowok kurang ajar karna bawa anak cewek tanpa ijin dari orangtuanya," Balas Devan.

"Terus, kakak lo nggak ada juga?" tanya Devan memajukan wajahnya ke Raina, dengan tatapan mengintimidasi.

"Ada," jawab Raina menyerah.

"Yaudah panggilin gih." Perintah Devan dengan dagu sedikit di naikkan.

Raina masih diam.

"Panggilin Ra, lo nggak sopan kalau ada orang tua tapi lo nggak pamitan, bareng cowok lagi," lanjut Devan.

Raina mendengus sebal dan memajukan bibirnya beberapa senti.

"Dia bukan orang tua gue." Raina meralat omongan Devan yang mengatakan Vivi sebagai orang tua.

"Setidaknya dia lebih tua dari lo. Dan lo harus hargain itu," ucap Devan bijak.

Raina pun berbalik menuju kamar Vivi.

Saat setelah pamitan dan tentu diselingi basa basi antara Devan dan Vivi.
Keduanya pun pergi dari sana, menuju tempat wisata buatan yang baru saja di buka untuk umum. Tempat itu memiliki banyak spot foto yang bernuansa back to nature.

Setelah menempuh waktu sekitar 20 menit. Mereka pun sampai. Hari memang semakin gelap,  namun tidak membuat sepi pengunjung. Malahan semakin membuat orang yang datang semakin semangat karena terlihat semakin indah dengan hiasan lampu-lampu yang menyala. Apa lagi disana juga terdapat kafe-kafe minimalis yang menyuguhkan live music kepada pengunjung.

Namun Devan dan Raina tidak memilih berfoto seperti orang kebanyakan, ataupun menikmati live music yang di suguhkan, melainkan cowok itu memilih sebuah pondok yang tebuat dari kayu dengan desain seperti di pedesaan. Dari sana mereka dapat melihat kegiatan para pengunjung lainnya. Saat setelah duduk berdampingan. Tidak ada satu pun yang mengeluarkan suara. Hanya ada suara-suara dari orang lain yang sibuk dengan kegiatannya.

Raina mendadak canggung dengan situasi seperti ini. Seperti bukan Devan, pikirnya.
Devan terlihat lebih kalem dan dingin. Tapi dia juga terlihat dewasa.

"Lo kenapa bawa gue kesini?" Akhirnya Raina tidak tahan untuk tidak bertanya, dan keluar dari situasi awkward itu.

"Ada hal penting," jawab Devan tanpa menoleh Raina, yang sedang menatapnya.

"Apa?" Raina menautkan alisnya.

"Yang pertama, gue nggak yakin sih, hal ini penting buat lo atau nggak. Kalau menurut gue sih, ini penting," kata Devan lalu menghela nafas. Cowok itu pun menatap Raina yang juga sedang menatapnya. Dan di tengah banyaknya hiruk pikuk dan hari yang semakin gelap, tatapan mereka bertemu. Raina gelagapan ditatap oleh Devan.
Tatapan Devan sangat tajam dan dalam. Baru kali ini dia menyadari bahwa mata Devan ternyata sangat tajam jika berhadapan dengannya.

"Kalo gue bilang nggak penting, apa lo tetap ngomong?" tanya Raina berusaha tenang, namun jantungnya sudah berdetak tak menentu.

"Penting nggak penting buat lo, gue tetap ngomong karna itu sangat penting buat gue," balas Devan mantap dan masih menatap Raina yang sudah menunduk. Raina memilih menunduk karena dia merasa semakin grogi bertatapan dengan mata tajam yang dimiliki Devan.






Jangan lupa di vote yaaa 😄😚

RainaDevan (Completed)Where stories live. Discover now