part 29

214 8 2
                                    

Raina, dia kini menjalani hari-harinya dengan kegiatan kuliah. Fokus kuliah menjadi hal utama baginya saat ini. Banyak hal sebenarnya yang ia rasakan sejak saat itu, mengetahui Vita yang kini kian menjauh. Namun hal itu tidak membuat ia melupakan tugasnya sebagai seorang anak, yaitu menyelesaikan kuliah dengan baik dan menjadi kebanggaan keluarganya. 

Saat ini, Raina sedang bergelut dengan skripsinya. Dimana, ia berkeinginan untuk segera menyelesaikannya dalam waktu dekat ini, dan akan segera melaksanakan sidang skripsi. Ketika pikiran dan pandangannya fokus pada laptop, ia dikejutkan dengan suara Vivi.

"Ra," panggil Vivi dengan suara cemprengnya. Raina menghela nafas pendek, lalu bergumam sebagai respon. Tanpa perlu berlama-lama, Vivi masuk ke kamar adiknya itu.

"Ra, kamu sibuk nggak?" tanya Vivi dengan harapan Raina sedang tidak sibuk.

"Aku lagi ngerjain skripsi," jawab Raina seadanya. Terlihat Vivi menganggukkan kepalanya sambil melihat kearah laptop yang ada dihadapan Raina.

"Masih lama?" Raina menjawab dengan bergumam saja. Sangat cuek, dan itu terkadang membuat Vivi geram.

"Yah, yaudah deh. Padahal gue tadi mau tanya pendapat lo, tentang foto prewed gue sama Rayn," tukas Vivi, wajahnya sedikit memelas. Sementara Raina pura-pura menulikan pendengarannya.

Revina, atau yang biasa dipanggil Vivi itu memang sedang mempersiapkan pesta pernikahannya. Maka dari itu, ia meminta pendapat Raina tentang foto yang akan dicantumkan pada kartu undangannya nanti. Vivi berjodoh dengan teman semasa ia bersekolah dulu, tepatnya teman SMA. 

"Gue itu bingung kali, Ra. Mau nanya ke Mama, takut malah di omelin karna pake baju yang nggak sesuai kemauan Mama, waktu itu." Vivi malah melanjutkan omongannya. Raina pikir, kakaknya itu akan segera keluar dari kamarnya. Mendapati sikap Vivi yang seperti itu, Raina menghentikan kegiatannya dan menoleh penuh pada Vivi.

"Mana?" tanya Raina akhirnya. Vivi tersenyum lebar dan menimbulkan suara kekehan. "Akhirnya gue bisa ajak adek gue, ngomong,"batin Vivi.

Bukan tanpa alasan Vivi melakukan itu, ia merasa sudah lama tidak berbicara panjang dan serius dengan Raina. Ini adalah kesempatan Vivi untuk mengorek-ngorek isi hati seorang Raina, bukan hanya itu, mungkin Vivi juga akan memberi nasehat. Terutama soal cinta. Dia terlihat sudah seperti pakar cinta kali ini. 

Vivi tentu tahu, apa yang terjadi pada adiknya waktu itu.

"Nih, gue tuh sebenernya suka banget sama yang ini." Vivi mengulurkan ponselnya lalu menunjukkan foto yang dimaksud. Raina melihat dan memperhatikan foto itu.

"Bagus," jawab Raina.

"Iya, cuma Rayn tuh kurang suka, Ra." Wajah Vivi sedikit kecut.

"Kalau kak Rayn emang pengen yang mana?" Vivi dengan cepat menscroll ponselnya kearah atas. "Nih," ucapnya.

"Menurut gue hasil foto dan konsepnya bagus sih, tapi ini kan pernikahan lo. Jadi lebih baik, lo omongin lagi aja sama kak Rayn. Karna, kalau pun gue kasih pendapat, belum tentu, 'kan, kak Rayn suka?" terang Raina. Vivi terlihat berpikir lalu mengangguk.

"Oh iya, Ra."

"Lo sama Devan gimana?" tanya Vivi langsung.

"Gimana apanya?" Raina malah balik tanya.

"Ya, hubungan kalian lah." Raina hanya mengendikkan bahunya lalu mengalihkan pandangannya. Tanda ia malas membahas hal itu. Melihat itu, Vivi mencondongkan tubuhnya pada Raina, agar ia kembali menatap.

"Ngomongin apa sih, lo?" tanya Raina pura-pura tidak tahu.

"Ra, udah berapa kali sih, gue bilang. Lo jangan kerasin hati lo deh. Yang ada, lo bakal capek sendiri dan itu bisa buat lo nyesel seumur hidup." jelas Vivi geram pada Raina. Raina tidak bergeming sama sekali. Ntah apa yang ada dalam pikirannya.

"Gini ya, adik ku sayang, Raina Artabitha. Kuliah dan sukses itu emang penting banget. Tapi lo juga harus punya cinta dalam kehidupan lo nanti. Kaya gue sekarang, gue mau nikah dan bakal ngabisin hidup bareng Rayn," kata Vivi serius.

"Kenapa? Lo mau bilang benci sama Devan?" tanya Vivi kemudian setelah melihat ekspresi Raina berubah. Kali ini, Raina bakal banyak diam, namun banyak mendengarkan. Bukan cuma kali ini, bahkan biasanya juga begitu.

"Ra, benci itu bisa jadi cinta loh. Lo lihat aja, gue waktu SMA benci banget sama Rayn, eh malah tiba-tiba ketemu lagi, terus jadi cinta sama tuh anak, malah mau nikah lagi."

"Tapi gue yakin sih, lo itu udah nggak benci lagi sama Devan. Lo selama ini merasa kehilangan dia kan?" tanya Vivi tepat sasaran.

Raina menghembuskan napas kasar, lalu menatap Vivi sempurna.

"Gue tuh bingung sama perasaan gue sendiri. Gue sama Devan emang masih saling komunikasi, tapi Devan nggak pernah bahas itu," jelas Raina secara jujur. Raina memang memendam hal itu sendiri, kebingungannya.

"Lo tuh bukan bingung, tapi lo gengsi. Bukannya dulu, lo bilang kalau Devan udah ungkapin perasaannya sama lo?" Raina hanya mengangguk pelan.

"Yaudah, dia tuh cuma nunggu jawaban dari lo, Raina," geram Vivi pada adiknya.

"Masa sih?" tanya Raina tidak yakin.

"Gini deh, menurut lo? Kenapa Devan masih tetap mau berhubungan sama lo?" Pertanyaan itu membuat Raina berpikir namun tidak ketemu jawabannya. Akhirnya ia hanya bisa menggelengkan kepalanya.

"Makanya ya, lo jangan cuek-cuek lagi deh. Kasihan tuh, Devan nungguin lo. Walau dia nggak pernah bahas lagi soal perasaannya itu." Raina pun memajukan bibirnya mendengar ucapan Vivi.

"Gue bukannya cuek, cuma gue males aja dibuat ribet," belanya

"Iya, tapi itu bisa buat orang lain males sama lo," ucap Vivi menohok. Raina pun melemparkan bantal yang ada di dekatnnya pada Vivi yang langsung menangkisnya dengan cepat. Lalu mereka pun saling tertawa.

"Dengerin gue, Ra. Lo secepatnya deh bilang ke Devan, kalau lo punya perasaan yang sama kaya dia. Buang gengsi lo itu. Devan juga pasti bakal seneng banget, perasaannya bisa terbalas. Percaya sama gue," uangkap Vivi mantap.

"Lo yakin? Apa gue nggak malu-maluin?" tanya Raina polos.

"Nggak lah, malah itu bagus. Devan pasti seneng banget," jawab Vivi. Raina diam, dia menatap kakaknya itu penuh. Ada rasa yang tak bisa diungkap Raina lewat kata-kata pada Vivi. Betapa dia sangat senang memiliki kakak seperti Vivi, walau dia sangat cerewet dan sangat kepo.

"Yaudah, gue balik ke kamar gue dulu," pamit Vivi, Raina menjawab, "Iya, thanks ya."

Sebelum benar-benar pergi dari kamar Raina, Vivi kembali berteriak, "Inget! Jangan kelamaan."

"Iya. Cerewet," sahut Raina dengan suara tinggi. Lalu ia tersenyum penuh arti.

Malam harinya setelah ia selesai merevisi skripsinya, Raina pun mengetikkan sesuatu yang cukup panjang pada layar ponselnya.


RainaDevan (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang