part 25

155 7 0
                                    

"Vita," Sapa Raina ke Vita yang sedang duduk dikelas sambil memainkan ponselnya.

"Eh, Ra." Sahut Vita.

"Lo gak papa kan?" tanya Raina penuh selidik.
Vita terkekeh. "Emang gue kenapa?" Tanyanya balik.

Raina diam memandang Vita penuh tanya.

"Eh, lo udah baikan sama Wandi?" Tanya Vita mengalihkan.

"Apaan sih lo. Malah bahas dia. Males gue." Jawab Raina lalu duduk di samping Vita.

"Nggak boleh gitu Ra. Dia kan udah minta maaf dan ngaku salah. Maafin aja kali." Nasehat Vita.

Raina mengendikkan bahunya.

"Lo kenapa sih?" Tanya Raina, dia menyipitkan matanya.

"Apanya?" Tanya Vita pura-pura.

"Lo aneh tau nggak Vit, belakangan ini."

"Aneh? Dibagian mananya?" Tanya Vita masih belum mengalah.

"Lo itu aneh menurut gue dari Vita sebelumnya. Pertama, lo kenapa kaya jaga jarak gitu ke gue? Terus, kenapa lo kaya pengen banget gue deket lagi sama Wandi. Ya, yang secara lo tau gimana cerita gue sama Wandi waktu itu." Jelas Raina.

Vita terkesiap. Namun dia menormalkan situasi yang sudah dia duga bakal terjadi.

"Gue gak jarak sama lo. Bukannya lo yang lebih seneng ngabisin waktu bareng Devan selama liburan kemarin? Dan soal Wandi, apa salah kalau gue pengen temen gue maafin seseorang yang udah buat dia sakit hati?" Vita berbicara seolah menunjukkan kalau Raina lah yang terlalu lebay menanggapi sikap Vita.

"Bukan Vit. Gue rasa bukan itu alasannya. Kalau soal Devan lo tau sendiri, gimana ceritanya. Gue harap lo maklum itu." Kata Raina.

"Ya, Devan memang selalu berhasil buat kita jadi perang dingin gini." sahut Vita.

Setelah itu dosen mereka pun datang. Dan pembicaraan itu masih belum menemukan titik terangnya.

Kelas mereka pun berakhir. Raina berjalan beriringan dengan Vita termasuk dengan teman-teman mereka yang lain, sesekali diantara mereka, berbincang dan saling menyahut. Walau suasana rame namun mereka berdua pikirannya tidak sepenuhnya disana.

Pandangan Raina sempat bertabrakan dengan Wandi, namun cewek itu tidak berekspresi sama sekali dan dengan cepat mengalihkan pandangannya. Saat mendekati parkiran motor dan sudah mulai terpisah dengan teman mereka yang lain. Raina kembali membuka suara.

"Vit, gue gak biasa kaya gini. Gue bareng lo ya, kaya biasa." Kata Raina tersenyum seolah ingin mencairkan suasana.

Belum sempat Vita menjawab.

"Bareng gue aja. Dia gak bakal mau lagi kasih tebengan sama lo." Suara itu mengintrupsi kedua cewek itu.

Devan. Ya, dia Devan, ntah kenapa dia nyasar ke fakultas orang lain saat ini.

Raina memicingkan wajahnya. Vita menatap Devan tidak suka.

"Ayo, bareng gue sebelum lo ditolak Vita." Kata Devan dengan senyum smirk.

Raina menatap keduanya heran. Begitu banyak pertanyaan yang muncul dalam kepalanya. Tapi dia bingung harus berkata apa.

Devan dan Vita terlihat seperti sedang musuhan dan terlihat ada sesuatu yang tidak beres dengan keduanya.

Tanpa menunggu lama Devan langsung menarik Raina menjauh dari Vita lalu menuju motornya dimana berada.

Raina menolak tapi percuma. Banyak pasang mata melihat mereka, Raina hanya pasrah karena sangat tidak suka menjadi pusat perhatian.
Sepanjang perjalanan pulang, Raina masih bertanya-tanya dengan sikap Vita dan Devan. Mereka itu saudara sepupu tetapi seperti sedang bermusuhan. Ingin sekali Raina menanyakan pada Devan, namun egonya masih saja sulit di turunkan.

Devan juga hanya berdiam, tidak seperti biasanya.
Dengan menghela nafas sejenak Raina pun memutuskan bertanya pada Devan yang sedikit aneh itu.

"Eh, gue mau tanya dong, lo kenapa bilang kalau Vita, nggak mau lagi kasih gue tebengan?" Rasa kepo yang terpendam itu pun berhasil Raina tuangkan.

Devan, terkekeh kecil mendengar itu.
"Gue cuma feeling aja, soalnya kalian kaya lagi gak akur gitu." jawabnya.

Sejenak Raina diam, dia merasa sama sekali tidak menemukan jawaban.
"Terus, lo sama Vita, kenapa kaya beda gitu?" dan Raina diam untuk beberapa detik sebelum melanjutkan keinginannya untuk bertanya lagi.
"Lo, sama Vita lagi ada sembunyiin sesuatu ya?"

Setelah pertanyaan itu, tidak ada suara yang keluar dari Devan, dia seolah hanya berfokus pada jalanan yang lumayan macet itu.

"Woi! Jawab dong. Jarang-jarang nih gue, yang mulai ngajak ngobrol." geram Raina karena, Devan yang tak kunjung berbicara walau masih beberapa detik. Namun Raina sudah tidak sabaran, seperti di kacangin. Padahal biasanya, dia yang suka mengabaikan Devan.

"Iya... Iya.... Gue nggak budek."

"Kalau lo tanya gue, gue belum bisa jawab sekarang. Ntar juga lo bakal tau." jawab Devan dan kembali diam.

"Yaudah, lo nggak perlu kepo-kepo lagi. Yang pasti gue nggak bakal biarin ada orang yang nyakitin lo, Ra. Termasuk gue sendiri." sambung Devan lagi.

Dan perkataan terakhir itu, hampir membuat Raina tersedak oleh liurnya sendiri. Bagaimana tidak? Devan seolah menjadi sesosok yang tidak akan membiarkan Raina tersakiti. Walau Raina masih bingung dengan semua jawaban yang di berikan Devan.

RainaDevan (Completed)Where stories live. Discover now