part 9

273 23 32
                                    

Dalam perjalanan ke rumah Raina, Wandi menanyakan seseorang yang baru dia temui tadi.

"Ra.." panggil Wandi.

Raina hanya menggumam. "Apa?" tanya Raina sedikit mencondongkan wajahnya ke Wandi agar Wandi dapat mendengar.

"Yang tadi emang siapa?"

"Gak penting. Yang pasti orang gila." Ucap Raina asal dan bernada kesal.

"Kayak nya lo kesel banget sama dia." Balas Wandi.

"Gimana gak kesel coba?! Kerjaannya buat gangguin orang aja. Padahal gak kenal." Ucap Raina sedikit menggebu.

"Loh? Gak kenal tapi kok..." Ucapan Wandi terhenti kala Raina memotongnya cepat.

"Udah deh jangan bahas dia lagi, bisa?!" Potong Raina ketus. Dan Wandi hanya mengangguk patuh.

Raina akhir-akhir ini menjadi sangat pusing disaat tugas kuliah pun semakin banyak. Apalagi dengan munculnya seorang makhluk astral dalam kehidupannya belakangan ini.

Sebenarnya jika hanya memikirkan masalah kampus dia tidak harus sepusing ini tapi kehadiran Devan lah yang membuatnya semakin rumit.

"Ahh kenapa gue mesti ketemu sama makhluk absurd itu sih?!" Gerutu Raina dikamarnya yang sedang mengerjakan tugas kuliah.

"Udah lah pusing banget gue mikirin dia." lalu dia kembali fokus ke tugas yang sempat terhenti tadi.

Beberapa saat kemudian Raina kembali teringat dengan wajah tengil nan menyebalkan ala Devan.
Raina menggebrak meja belajarnya cukup kuat.

"Arrgg pusing gue. Kenapa jadi kebayang dan mikirin gini? Harusnya kan gue bisa cuek-cuek aja kayak biasanya." Geram Raina sendiri

Tidak lama Vivi, kakaknya Raina datang karena mendengar suara gebrakan meja yang dibuat oleh Raina tadi.

"Ra... Lo kenapa? Tadi gue kayak denger suara kejatuhan gitu dari kamar lo." Kata Vivi dengan wajah paniknya.
Vivi emang panikan anaknya. Sangat berbeda dengan Raina.

Vivi tidak seperti Raina yang cuek bebek kelindes truk. Haha gak deng.
Intinya mereka ini sifatnya bertolak belakang.

Berbeda lagi dengan abangnya yaitu anak pertama dari mama Rani dan papa Rikardo. Randy Antonio dia anaknya cool banget, ngomong saja jika ada yang penting-penting saja. Hampir mirip dengan Raina tetapi tidak separah Raina.

Saat ini Randy tidak tinggal bersama mereka lagi, setelah dia di terima bekerja di salah satu perkebunan di Kalimantan. Hal itu menyebabkan pertemuan mereka pun menjadi lebih sedikit.

"Gapapa" balas Raina acuh sambil kembali mengetik.

"Beneran gak papa?" Vivi memastikan adiknya itu.

"Iya gapapa kak Vivi. Udah sana balik ke kamar lo." Kata Raina masih acuh dia terlalu pusing dengan semua yang ada dikepalanya.

"Dih gue peduli juga sama lo. Malah di usir and bla bla bla bla...."
Jika sudah begitu maka Raina harus menyiapkan telinganya agar tidak berdengung hingga besok pagi.

Karena Vivi itu sangat cerewet. Maka jika kata-katanya digabungkan dalam satu jam saja, maka bisa menciptakan sebuah novel.

Raina hanya bisa mendengus kesal sambil menggelengkan kepala. Nasib baik sangat melekat padanya.

Pagi yang di nanti Raina pun tiba, beruntung telinganya sudah sangat kebal terhadap ocehan Vivi. Maka pagi ini dia bisa kuliah dengan keadaan baik-baik saja.

"Neng mau ngampus ya? Abang anterin yuk.." suara berat cowok itu sudah dapat membuat Raina paham siapa pemiliknya. Namun Raina memilih acuh dan terus berjalan.

"Elah sombong banget sih."

"Bisa diam gak lo?!" balas Raina galak.

"Lo tuh ya jangan galak-galak bisa nggak? Kasian tuh muka udah jelek nambah jelek. Beda sama gue kalau mau gimana pun juga, gak papa. Secara gue kan ganteng." balasnya dengan super percaya diri.

Raina memutar bola mata malas.

"Sakit jiwa beneran lo."

Devan tertawa ntah kenapa dia suka melihat wajah Raina yang seperti itu. Dan Raina berhenti sejenak lalu melihat tawa itu. "Ehh kok ganteng sih?" batin Raina. Namun segera dia mengenyahkan pikiran itu.

"Terpesona kan lo sama senyum gue." katanya lagi.

"Gak usah kepedean jadi orang." kesal Raina.

"Biar gue gak kepedean. Mending lo naik ke motor gue. Biar kita barengan ke kampusnya." nada bicara Devan kali ini terdengar tulus di telinga Raina.

"Itu gak ada hubungannya Devan." ucapan Raina tadi mampu membuat Devan semakin besar kepala. Dia pun senyum-senyum sendiri.

"Ngpain lo senyum-senyum." tanya Raina penuh selidik.

"Seinget gue ya, kita belum kenalan dari pertama ketemu sampai sekarang. Tapi lo bisa tau nama gue ya, wahh seneng deh gue dapat kenyataan kaya gini." ucapnya.

Raina pun yang menyadari hal itu, terdiam dan sedikit salah tingkah.
Namun dengan cepat Raina mengubah keadaan itu, dan kembali tidak peduli.
Saat seperti itu tiba-tiba Raina tersadar sesuatu. Dia pun melirik jam di pergelangan tangannya.

"Duh.. Telat nih gue." gumam Raina panik.

Raina sudah tidak memperdulikan Devan, dia pun langsung berjalan lebih cepat. Devan masih setia mengikutinya. Devan tahu pasti Raina panik karena takut terlambat.

Saat sampai dipersimpangan dimana Raina biasa ia menunggu angkutan umum, Devan memposisikan motor besarnya di hadapan Raina.

"Mending lo bareng gue deh. Ntar lo makin telat kalo nunggu angkot." tawar Devan.

Raina mengacuhkan Devan dan matanya sibuk ke jalanan kalau-kalau angkot jurusan ke kampusnya lewat.

Dia juga meruntuki dirinya yang mau-maunya meladeni makhluk tidak jelas seperti Devan.

Angkot Raina tak kunjung muncul. "Kenapa saat di butuhin begini suka gak keliatan sih?!" batin Raina.

Sementara Devan yang selalu merasa tertolak jika sudah bersangkutan dengan Raina, dia pun kehabisan kesabaran. Lalu menarik tangan Raina paksa. Raina berontak berusaha melepaskan tangannya.

"Gak usah sok jual mahal. Naik gak lo? Atau mau gue cium di sini?" acam Devan dengan senyum smirknya. Raina melotot.

"Apaan lo ngancem gue!"

"Gue tau lo pasti uda telat. Nurut aja susah amat. Ohh atau jangan-jangan lo emang mau banget ya gue cium disini." katanya dengan tampang mengejek.

Raina mengakui jika dia memang sudah sangat terlambat. Apa lagi hari ini kelompoknya maju buat presentasi dikelas.

"Gila lo! Gak sudi gue dicium sama manusia kaya lo. Udah lepasin nih tangan gue. Gue naik. Terpaksa." jawabnya, sedari tadi nada bicara Raina itu ketus dan galak banget.

Akhirnya mereka pun pergi ke kampus bersama. Selama di perjalanan Raina hanya diam saja. Kalau pun menyahut itu hanya sebuah gumaman saja. Sementara Devan seolah tidak ada habisnya memancing Raina untuk ngobrol sembari menggoda-goda Raina, walaupun diabaikan. Devan memang sesosok pekerja keras dan pantang menyerah, pikir Raina.

RainaDevan (Completed)Where stories live. Discover now