part 26

171 5 0
                                    

Devan tengah berada dirumah Raina, wajar saja mereka pulangnya bareng dan mama Rani mengetahui itu. Jadilah Devan tertahan dirumah Raina.

Devan tentu merasa senang.
Sementara Raina mendengus sebal.

"Kapan-kapan ajak main Rara ke rumah kamu." Ide brilian mama Rani muncul.

Seketika itu tawa kecil Devan terdengar.

"Raina udah tau rumahnya." Raina menyahut cuek.

"Mama nggak ngomong sama kamu. Lagian, kamu belum pernah kan main kerumahnya Devan. Kali aja mamanya Devan suka sama kamu. Kan jadi makin seru," ucap mama Rani semangat sambil membayangkan sesuatu dengan senyum-senyum tidak jelas.

"Kalau Raina-nya udah siap, kapan aja Devan mau kok bawa Raina main ke rumah," kata Devan kalem. Namun matanya melirik Raina sambil memainkan sebelah alisnya. Raina memandang jijik.

"Cukup sekali gue kesana," kata Raina spontan.

"Kamu judes banget sih Ra. Nggak baik tau. Kurang baik apa Devan ngadapin kamu. Duh, nak Devan maaf ya, Rara emang gitu orang nya," ucap mama Rani.

"Nggak papa tante, udah biasa," jawab Devan, lalu tersenyum mengejek Raina yang sudah ingin muntah.

Cukup lama Devan berada dirumah Raina, sampai-sampai cowok itu menikmati hidangan mama Rani yaitu sebuah brownis kukus.

Hingga akhirnya Devan berpamitan pulang, dan saat Devan melaju ke arah rumahnya dia memelankan laju motor besarnya itu. Dia melihat sesuatu disana, yaitu sebuah mobil. Dia kenal mobil itu. Ya, itu adalah mobil papanya Vita yaitu omnya sendiri. Itu artinya papa Vita tidak ada pekerjaan di luar kota.

Devan melangkah memasuki kedalam rumahnya seperti biasa, ke rumah yang cukup besar itu. Pemandangan yang ia temukan disana, mereka sedang berkumpul, bahkan ada satu orang yang semakin melengkapi suasana itu. Disana ada Niken, memang cewek itu sudah sangat dekat dengan keluarga Vita.
Devan tidak heran jika Niken ada disana. Dan orang tuanya juga terlihat dengan senang hati menjamu Niken.

Reaksi Devan mendapati itu hanya mendengus.

"Kamu kemana aja sih bang?" tanya mamanya Devan dan semua mata tertuju pada Devan.

"Ada urusan tadi," jawab Devan.

"Penting banget ya sampai nggak angkat telfon mama?"

"Eh, duduk dulu yuk. Dari tadi kita udah ngumpul dan nungguin kamu tau." Sambung mama Devan lagi.

"Bukan gitu. Abang nggak denger ma." Devan pun telah duduk diantara mereka.

"Bukan karna lagi pacaran kan?" Papanya Vita berceletuk dengan nada bercanda.

Devan hanya tertawa hambar.
"Pengennya sih, gitu om," balas Devan.

Mendengar jawaban Devan membuat Vita mengalihkan pandangannya seolah tidak peduli. Dan Niken sedikit menundukan pandangannya.

"Ah, kamu ini ternyata udah gede," kata papanya Vita. Dan semua ikut tertawa, kecuali Vita dan Niken.

Devan melihat itu namun dia tidak peduli.

Tak lama hal itu berlangsung, mamanya Devan pun mengintrupsi untuk makan malam bersama. Karena jam sudah menunjukkan pukul 19.15 wib.

"Ma, abang nggak ikut makan ya, mau mandi dulu," kata Devan ke mamanya, sementara yang lain telah menuju ruang makan.

"Kenapa? Makan aja dulu abis itu baru mandi. Om sama tante kamu udah dateng loh. Tuh, Niken juga udah dateng."

"Udah kenyang juga, ntar malah muntah." Alasan Devan. Benar memang, Devan juga masih merasa kenyang akibat banyak memakan brownis buatan mamanya Raina.

Mamanya pun mengangguk tanda mengerti. Namun dengan tatapan yang menyimpan pertanyaan lain.

Devan berbalik menuju kamarnya yang berada diatas. Mamanya juga menuju ruang makan.

Saat berjalan, tangan Devan dicekal oleh Vita dari belakang. Sehingga Devan berhenti berjalan dan berbalik badan.

"Gue mau ngomong sama lo," kata Vita dingin.

Devan memutar mata malas. Lalu melepaskan tangan Vita.

"Lo kenapa sih kaya gini?" tanya Vita dengan mata menyipit.

"Emang gue gimana? Bukannya semua udah jelas?" Devan bertanya sambil mencondongkan wajahnya tepat di hadapan Vita dengan alis dinaikkan.

"Lo hargain dong Niken. Gue dari awal udah ngomong sama lo, ya. Dan Niken juga udah gue yakinin banget." Kata Vita.

"Itu salah lo Vit. Gue nggak ada janjiin apa-apa tentang ini sebelumnya. Dan ini pilihan gue. Hati gue yang memilih. Lo bisa apa?" Tanya Devan menantang.

"Lo jahat banget Van," kata Vita menggelengkan kepalanya dengan bibir yang dirapatkan karena tidak menyangka akan jadi seperti ini.

Lalu sedetik kemudian. Vita tersenyum remeh.

"Raina Nggak Bakal Nerima Lo," kata Vita lagi dengan penekanan.

Senyum remeh itu pun dibalas oleh Devan.
"Gue nggak tau sih, Niken kasih apa sama lo. Sampai lo bisa jadi Vita yang sama sekali yang nggak gue kenal," kata Devan.

"Lo nggak perlu nyalahin Niken. Gue begini karna dia Sahabat Gue, dan jauh sebelum gue kenal Raina." balas Vita.

Devan tertawa hambar. "Mana yang kemarin marah-marah waktu Raina nggak ada di acara ulang tahun lo? Oh gue tau, waktu itu Niken nggak ada juga ya. Coba kalau Niken ada nggak bakal lo cariin Raina dimana." kata-kata Devan sangat menohok sehingga Vita semakin emosi.

"Gue nggak tau apa yang terjadi sama Niken setelah ini," Kata Vita lalu berbalik. Perkataan itu mengisyaratkan sebuah ancaman yang tentu Devan tidak tahu apa.

"Gue nggak peduli, karena gue lebih peduliin Raina." suara Devan terdengar lantang. Sesaat Vita berhenti dan tak lama dia kembali berjalan meninggalkan Devan yang masih melihatnya.
Hingga mereka selesai dengan makan malam, Devan tidak keluar kamar. Namun ia sempat berpamitan keluar sebentar.

"Ra, gue emang belum bisa mastiin gimana perasaan lo sama gue. Yang jelas, gue sadar selama ini gue sayang sama lo." lalu ia pun meninggalkan tempat itu.

RainaDevan (Completed)Where stories live. Discover now