Winged Being

614 50 31
                                    

Begitu besar wujudnya, napas apinya yang membara, tatapan tajamnya yang dapat menghancurkan apapun. Langit diselimuti kegelapan, tiada cahaya yang menerangi. Aku terpuruk dalam kesendirian dimana semua orang yang ku sayang telah pergi meninggalkan. Begitu hampa rasanya, begitu hampa hati ini, di dalamnya sudah tidak ada harapan. Tetapi orang tua itu datang menghampiri, dia elus tanganku seraya berkata,

"Alexius Nerva, kau adalah penggantiku. Kegelapan kini berubah menjadi kebencian dan ketakutan. Lawanlah mereka, serta bimbinglah para roh dalam mengarungi arus takdir dunia ini, jangan biarkan mereka berbelok menjadi kegelapan." kata orang tua itu.

"Biarkan aku sendiri, sudah tidak ada harapan lagi di dunia ini."

"Kau tak perlu berbohong dengan dirimu, hati manusia seperti pantulan di atas permukaan air, mulut mereka mengatakan hal yang berbeda dari apa yang sebenarnya mereka rasakan, tapi dalam hati mereka tersembunyi, mereka ingin semua orang saling menerima satu sama lain." Pria tua itu sedikit memberikan harapan. "Lawanlah rasa sepi mu, lawan rasa bencimu, belajarlah hidup di atas mereka! "

Tok...Tok...Tok....

"Alex bangun, sudah pagi ayo sarapan." samar tapi itu seperti suara ibu.

Hah, ternyata Cuma mimpi, tapi ini terasa begitu nyata.

"Alex ayo sarapan nanti telat sekolah." Suara ibu di balik pintu kamarku.

"Ya bu."

Berusaha sekuat tenaga aku melawan rasa kantuk ini agar segera enyah dariku. Dengan tak bertenaga ku berjalan menuju meja makan.

"Alex, kamu sakit nak?" tanya ibu.

"Tidak, hanya kurang bersemangat." jawabku

Sambil sarapan aku terus berpikir soal mimpi yang akhir-akhir ini sering menghantui tidur malamku. Siapa sebenarnya orang tua itu, ah, hanya bunga tidur saja tidak usah terlalu banyak dipikirkan.

Bis sekolah datang... dengan segera aku merapikan barang-barang dan lekas naik ke Bis. "Aku berangkat dulu ya bu." Teriakku sambil berlari menuju bis sekolah.

"Ya," sahut ibuku dari ruangan ritualnya.

Sihir mungkin sudah ketinggalan zaman, akan tetapi Ibuku masih mempercayainya. Dia menyimpan barang-barang kuno yang dia anggap memiliki kekuatan gaib. Memang hal itu tidak menggangguku, tetapi dia sering sekali melalaikan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Sehingga aku sering memasak dan menyiapkan bekal sendiri untuk sekolah. Memasak adalah hal yang sangat aku benci, karena begitu merepotkan. Hal itu menurutku wajar, karena aku laki-laki.

Aku memiliki tiga teman akrab di sekolah, mereka memiliki karakter yang dibilang unik. Pertama Daniel, dia adalah sesosok pahlawan bagiku karena pada saat guru bertanya kepada ku dia selalu membisikan jawaban kepadaku. Dia pintar, ceria dan begitu menyukai dongeng fantasi. Namun terkadang dia ceroboh dan selalu berpikir pendek.

Kedua Louis, dia adalah anak nelayan yang hidup dalam kemiskinan selama bertahun-tahun. Ayah dan ibunya meninggal setelah menyelamatkan sepasang suami istri yang akan dimakan hiu. Dia kemudian diadopsi oleh suami istri tersebut dan kini dia hidup dalam kewahan karena ayah angkatnya saudagar yang kaya raya. Sifatnya yang berjiwa sosial dan berpikiran terbuka itu membuatku yakin, bahwa suatu hari dia akan menjadi orang besar.

Teman akrabku berikutnya Violet. Dia memiliki sifat yang dingin tapi sebenarnya baik hati. Ketika marah, anak laki-laki manapun tidak akan dapat mengalahkannya. Dia anak pelatih bela diri sekeligus pelatih pedang. Ayahnya begitu baik kepada kami, ya walau terkadang ayahnya sering memperingatkan kami untuk tidak macam-macam terhadap Violet.

Sekolahku bisa dibilang sekolah yang elit, dimana banyak anak-anak pejabat bersekolah disini, anak Wali Kota, anak Gubernur dan banyak lainnya. Tapi aku tidak peduli, aku sekolah di sini dibiayai paman ku dan itupun hanya karena ambisinya yang ingin menjadikanku salah satu orang di jajaran pemerintahan. Sesampainya di kelas, aku langsung bergegas masuk kelas dan berbincang-bincang dengan teman-temanku di kelas.

A Song of Light and Dark: Archmage and the DarknessWhere stories live. Discover now