• PROLOGUE •

2K 210 9
                                    


Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



December, 2020.


Malam itu, Lucas membuntut Mark karena merasa heran sekaligus penasaran akan apa yang dilakukan Mark pada setiap malamnya. Alis Lucas tertaut kala maniknya terpicing menatapi Mark tepat di sebelah. Tak lagi tahan atas kebisuan yang sudah bersemayam sejak hampir setengah jam mereka di sana. Di pesisir sungai Thames yang cukup ramai orang berlalu-lalang.

"Apa yang kau cari sebenarnya di sini?"

Mark memilih memaparkan senyum sebelum menjawab. Pasang kelopaknya terpejam. Membiarkan deru angin malam menerpa wajahnya.

"Tidak ada." Ia mendesah.

"Tidak ada?" Lucas mulai mengoceh. "Hampir di setiap malam masuk penanggalan bulan Desember kau datang ke sini dan tidak ada yang kau cari?"

Hiruk-pikuk dan suara kerumunan insan yang berseru mengusik gendang telinga. Membuat kalimat Lucas tenggelam. Terdengar samar-samar.

Dari tempat mereka, sebuah kincir raksasa berdiri tegak dengan cahaya yang berkilau. Gemerlap warna-warni bak lembayung aurora.


Ferris Wheel, London Eye.


Satu dari sekian tempat yang membekas bagi Mark.

"Mark Ledger, kau mau di sini semalaman?"

Mark tertawa samar. Pasang kelopak itu terbuka saat kepalanya menoleh. Menatap Lucas kilas. "Baiklah kita pulang."

Lucas mencebik. Langkahnya menapak teratur berdampingan dengan pasang kaki Mark. Kedua lengannya ia selipkan pada saku celana. Masih penasaran dengan apa yang ada di pikiran laki-laki bersurai hitam pekat di sebelahnya itu.

"Sungguh. Jangan katakan kalau kau begini karena perempuan bernama Fla –siapa 'sih? Sangat asing namanya di telingaku."

"Flamina. Namanya Flamina Gwyneth, Lucas."

Jemari Lucas terjentik. Membenarkan maksudnya yang dikoreksi oleh Mark. "Jadi tebakanku benar?"

Namun, seutas senyum samarlah yang terlayang menjadi tanggapan. Kepalanya tertunduk sesaat –menatap pasang sepatunya yang menapak langkah. Lalu, kini ia tertoleh pada landmark bundar yang terpampang nyata beberapa puluh meter dari sana. Lengkung bibir itu menurun seketika. Mengulang kembali ingatan lama.








"Mark Ledger. Benda besar apa yang berputar di dalam benda kotak itu?"

Jemari mungil itu menunjuk lurus pada layar televisi yang menampilkan sosok pewara, tengah menyampaikan persoalan wisata. Pasang maniknya berkedip cepat. Pun gurat bingung tak lepas menatap lawan bicara di sebelah –menunggu jawaban.

"Maksudmu, London Eye?"

"Namanya London Eye?"

Mark mengangguk ragu. Alisnya terus tertaut karena cukup terkejut. "Kau tak tahu?"

Surai cokelat gelap itu tergeriak saat kepalanya tergerak, menggeleng pelan. Bibirnya mengerucut. Gurat herannya belum juga meluntur.

"Apa itu berfungsi sebagai roda putar penerus aliran sungai seperti kebanyakan bendungan? Kenapa besar sekali?"

Bibir Mark ternganga. Bahkan layar televisi yang sedari tadi menarik perhatian sudah kalah dengan sosok di sebelahnya. Tubuhnya menyamping cepat.

"Flamina, kita berada di London tapi kau tidak tahu London Eye?"


Dan,

Gurat itu kembali tercengang kala kepala di sebelah menggeleng –untuk kedua kalinya.

"Aku tidak pernah menapak langkah lebih jauh dari tempat ini, Mark Ledger. Dan, sudah aku katakan, cukup memanggilku Mina," titah Mina.

"Dan sudah kukatakan pula padamu, cukup memanggilku Mark," laki-laki itu tak mau kalah.

"Baiklah."

Atensi Mina kembali tertoleh pada layar televisi. Pasang maniknya menatap lurus dan serius. Berbanding terbalik dengan sosok di sebelah. Justru terus menatapnya penuh keraguan –serta kebingungan.

"Kau ... masih saja lupa kalau benda yang sedang kau lihat itu namanya televisi?" Mark memicing. Tak lagi perhatiannya tertuju pada apa yang disebut barusan. Karena perempuan berbalut dress putih berenda di sebelahnya itu, lebih menarik atensinya.

"Aku tidak pernah melihat benda persegi itu, pun benda besar yang berputar di dalamnya. Berapa banyak perwira yang menyentak tenaga untuk membuatnya berputar?"







Saat itu, semua yang didengar Mark cukup membingungkan.

Flamina Gwyneth.

Dari rupa, tingkah, hingga tutur katanya.

Semua hal yang ada pada perempuan itu membubuhkan pertanyaan.


Lalu,

Langkahnya yang menapak tiba-tiba berhenti. Mengulur detik seiring dengan pasang manik yang terkunci. Pada kilas balik dimensi yang tereka dalam diri.

"Lucas,





Apa ... kau percaya bahwa seseorang yang sudah pergi sekalipun jauh sekali suatu saat akan kembali meski harus menunggu lebih lama lagi?"





Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



Don't forget to touch the star button and leave your comment below if you like this story  

EVERGLOWWhere stories live. Discover now