35. Hati Yang Terluka

3.5K 134 0
                                    

"Menahan sesuatu untuk diungkapkan sama saja menyimpan sebuah penyesalan di masa depan."

***

Setelah Pak Andi mengajak Revan untuk masuk ke dalam rumahnya dan menceritakan alasan kenapa ia sangat mendesak Rahel untuk belajar, alasan kenapa ia melarang Rahel untuk berpacaran, sampai alasan kenapa ia mendidik Rahel dengan tegas, Revan mengambil keputusan kalau ternyata Pak Andi bukanlah orang yang egois.

Pak Andi hanya menjalankan amanat almarhum kakek Rahel supaya Rahel yang adalah satu-satunya cucu dari Suhardi--kakek Rahel, bisa menjadi penerus beberapa perusahaan milik keluarganya. Rahel memang adalah cucu satu-satunya dari Suhardi. Oleh karena itu, sebelum meninggal Suhardi berpesan agar Pak Andi bisa mendidik Rahel seperti beliau mendidik Pak Andi dulu, hingga akhirnya bisa menjadi pengusaha sukses seperti sekarang.

Revan menenangkan Pak Andi dengan berjanji kalau ia akan membawa Rahel pulang. Oleh karena itu, Revan sengaja mengambil motornya secara diam-diam, agar Pak Ardi tidak melarangnya untuk keluar rumah. Ia memulai usahanya untuk mencari Rahel di tempat-tempat yang biasa dikunjungi oleh gadis itu.

Waktu menunjukkan pukul delapan. Hal itu berarti hampir dua jam Revan mencari Rahel, namun ia tidak juga menemukan gadis itu.

"Hel, lo di mana, sih?" Revan berusaha menghubungi Rahel, namun tidak diangkat oleh gadis itu.

Revan memutuskan untuk mengirimi Rahel pesan singkat.

Guru Privat

Lo di mana?

Rahel, please. Pulang, ya?

Kasih tahu lo di mana sekarang. Biar gue jemput.

Rahel, gue tahu lo buka hp. Bales dong.

Jangan buat kita khawatir. Om Andi nyariin lo.

Usaha Revan dapat dibilang sia-sia. Apapun yang akan dikatakannya lewat pesan singkat pasti tidak akan direspon oleh Rahel. Revan tidak peduli keadaan yang saat ini sedang hujan, ditambah lagi Revan belum sempat pulang ke rumahnya.

Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pulang ke rumah sebelum ia bertemu dengan Rahel dan membawanya pulang dengan selamat.

Baru saja ia berniat menjalankan motornya, Pak Ardi sudah meneleponnya.

"Iya, halo, Pa?"

"Kamu di mana? Kenapa belum pulang?" Dari suaranya sangat jelas terdengar kalau ayahnya itu sedang khawatir.

"Aku keluar sebentar. Nanti balik kalau urusannya udah selesai," jawab Revan.

"Urusannya penting?"

"Iya. Ini menyangkut masa depan aku," Revan melirik jam tangannya, "udah dulu, ya, Pa. Doain aja semoga masa depan aku gak diambil orang."

"Ada-ada saja kamu ini. Ya sudah, kalau udah selesai, cepet pulang."

"Iya." Revan menutup teleponnya.

Sementara ia fokus menjalankan motornya, Revan mencoba untuk berpikir tempat yang mungkin Rahel kunjungi saat ini. Siapa tahu masih ada tempat yang tidak sempat terpikirkan oleh Revan.

Revan berpikir lagi. Tadi di sekolah Rahel emang agak aneh, sih. Bahkan saat Mira ngobrol, dia gak respon. Oh ya, tadi kan Rahel pulang bareng Mira? Tapi, kenapa Mira bilang kalau dia gak ngelihat Rahel? Apa Mira bohong? Beberapa pertanyaan itu berhasil membuat Revan memantapkan niatnya untuk kembali ke rumah Mira.

He is RevanWhere stories live. Discover now