36. Ungkap [END]

5K 167 8
                                    

"Mengungkapkan jauh lebih baik daripada dipendam."

***

"Lo ... kenapa?" Revan bertanya sekali lagi. Namun, masih tidak ada jawaban.

"Rahel, jangan buat gue khawatir kayak gini. Gue gak suka lihat lo kayak gak punya semangat hidup lagi!" Nada bicara Revan mulai serius dan meninggi.

Gadis itu tertawa. Revan semakin bingung dibuatnya. "Ngapain lo khawatir? Karena gue guru privat lo?"

Revan menggeleng. "Lo kenapa, sih? Kenapa jadi aneh kayak gini?"

"Mau nyari kebebasan," jawab Rahel asal.

Revan bisa merasakan kalau Rahel sedang mengalami tekanan batin yang cukup kuat.

"Van, you know what? Gak ada gunanya hidup kalau hanya untuk dikekang! Gue capek. Gue capek hidup kayak gini." Gadis itu mulai menangis, mengeluarkan segejolak emosi yang sudah lama tersimpan di dadanya.

"Buat apa hidup kalau kesehariannya cuma gitu-gitu doang? Belajar, dikekang, dibatasi, bahkan ... ditampar?"

Revan fokus pada kata terakhir yang diucapkan Rahel. Siapa yang berani menampar Rahel? Ingin rasanya pemuda itu memberi pelajaran kepada orang yang menampar Rahel.

"Gue gak pengen hidup." Satu kalimat itu berhasil keluar begitu saja dari mulut Rahel.

Revan terkejut mendengar hal itu. Ia langsung memeluk tubuh Rahel, membiarkan gadis itu jatuh dalam pelukannya.

"Kalau gue jatuh cinta sama lo, gimana?" Revan bertanya saat Rahel masih berada dalam pelukannya.

Rahel berusaha melepaskan pelukan Revan, namun pemuda itu semakin kuat memeluknya.

"Lepasin, Van," lirih Rahel.

"Kenapa?"

Rahel berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh lagi. "Karena takdir kita bukan untuk bersama."

"Siapa yang bilang?"

Rahel diam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Pelukan Revan mampu membuat jantungnya memompa tak karuan.

"Gue salah karena selama ini gue masih terjebak masa lalu. Gue trauma, Hel. Sekarang gue sadar, gue harusnya belajar dari masa lalu, bukan justru trauma."

"Lepasin, Van!" bentak Rahel.

Tidak ingin memperpanjang masalah, Revan pun melepaskan pelukan itu.

"Biarin gue sendiri. Biarin gue pergi dan menjalani hidup dengan aturan gue sendiri," Rahel memohon, "jangan khawatir sama gue."

"Gimana gue gak khawatir sama lo di saat gue menginginkan lo ada di sini, di samping gue?"

Rahel menatap Revan dengan tatapan yang sulit diartikan. Pikirannya benar-benar kacau saat ini.

"Hel, pulang, ya." Revan menggenggam tangan Rahel. Setelah merasa situasi sudah mulai membaik, Revan mengajak Rahel untuk menaiki motornya.

***

Pak Andi mondar-mandir di teras rumahnya. Hari sudah larut malam, tetapi belum juga ada kabar dari Revan. Ia tidak henti-hentinya mempersalahkan dirinya sendiri. Kenapa ia sampai menampar Rahel waktu itu?

Matanya berbinar saat melihat motor masuk ke dalam pekarangan rumahnya. Ia melihat Rahel turun dari motor disusul oleh Revan.

"Rahel?" Pak Andi berlari menuju gadis itu dan memeluknya. Ia menangis.

"Maafin Papa, Sayang. Papa benar-benar gak sengaja. Papa ... egois," ucap Pak Andi sambil terisak.

He is RevanWhere stories live. Discover now