06

7.3K 616 10
                                    


"Seneng ga lu udah bisa pulang ke rumah?" Tanya Aditya kepada saudaranya yang kini duduk di kursi roda yang didorong oleh Aditya.

Adinata mengangguk. "Seneng lah, gue kangen kasur gue."

Aditya tersenyum. "Tadi di sekolah, si Naressa nitipin buku catatan punya dia buat lu."

"Seriusan? Si Nares ngasih buku catatannya buat gue?"

"Bukan ngasih, tapi minjemin. Kan lu tau, kalo si Naressa deket banget sama lu dibanding sama gue."

Adinata mengangguk.

"Istirahat gih.." Kata Cantika yang baru saja menyimpan tas yang berisi perlengkapan anak bungsunya.

"Nanti Bun, aku masih harus mindahin catatan dari buku ini."

Cantika menggeleng. "Besok aja lagi, kamu harus istirahat, Bunda ga mau keadaan kamu drop lagi."

"Iya Bunda ku yang cantik."

Adinata langsung berbaring di ranjangnya. Dengan Cantika yang ikut berbaring di sampingnya. "Sayang, boleh Bunda tau gimana perasaan kamu waktu kemoterapi?"

Adinata mengangguk. "Ga tau deh Bun, badan aku semuanya kerasa sakit banget. Dada aku juga sakit banget, terus perut aku kaya di pelintirin apa gitu, pokoknya sakit banget."

"Tapi kamu harus bisa ngelewatin semuanya ya, kata Om Adi kamu harus kemoterapi tujuh nyampe sembilan kali lagi."

"Bunda, itu kebanyakan. Itu sakit."

Cantika mengusap pelan kepala anaknya. "Bunda tau sayang, tapi itu semua demi kesehatan kamu. Supaya kamu sembuh."

"Tapi Bun, bukannya kemoterapi engga nentuin kanker bisa sembuh?"

Cantika menatap anaknya sendu. "Kok kamu jadi pesimis gini sih? Bunda ga suka liat kamu yang pesimis kaya gini."

"Aku ga pesimis Bun, cuma aku ngebayangin aja, aku harus kemoterapi sebanyak tujuh atau sembilan kali lagi, belum lagi kata Om Adi aku harus jalanin radioterapi. Bun, apa lebih baik aku ga usah berobat? Semua biaya pengobatan aku kan biayanya mahal Bun."

"Kamu ngomong apa sih Nat? Denger Bunda, kamu harus jalanin semua pengobatan ini, kamu ga usah pikirin masalah biaya, kamu harus sembuh. Untuk saat ini prioritas Ayah dan Bunda itu cuma kamu, kesembuhan kamu."

"Tapi Bun, biaya kuliah Kak Shanin sama biaya sekolah aku dan Aditya gimana? Kasian Ayah, Ayah harus kerja lembur cuma buat cari uang biaya aku berobat. Apa aku harus berhenti sekolah aja? Lagipula, sekarang aku udah ga bisa ngelanjutin turnamen badminton lagi."

Cantika meneteskan air matanya. "Nanti kita bicarain lagi ya, kamu tidur aja. Jangan mikirin yang macem-macem. Bunda ga suka. Buat masalah biaya, biar Ayah sama Bunda yang pikirin. Kamu harus fokus ke penyembuhan kamu aja."

Adinata mengangguk, namun dapat Cantika lihat, jika sorot kedua mata anaknya terlihat sedih dan bersalah. Dan perasaan bersalah itulah yang tidak disukai oleh Cantika.

"Tidur sayang, Bunda sayang sama kamu."

Cantika mencium kening anaknya dengan lembut.

Sedangkan Naufal, Shanin dan Aditya kini sedang duduk di salah satu sofa di ruang keluarga.

"Kenapa kamu nangis?" Tanya Naufal kepada istrinya.

Cantika tidak menjawab, seakan mengerti dengan apa yang ingin istrinya bicarakan. Naufal menyuruh kedua anaknya untuk masuk ke dalam kamar mereka masing-masing. Kini di ruang keluarga hanya ada Naufal dan Cantika.

"Sekarang kamu bisa cerita, kenapa kamu nangis?"

Cantika mengusap air matanya. "Nata bilang dia pengen berhenti buat berobat, karena dia tau biaya yang dikeluarin buat pengobatannya engga sedikit, dia ga mau liat kamu kecapean Mas.."

ADINATA ✔Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ