21

4.4K 414 1
                                    


"Dit, mana Nata? Katanya dia bakalan masuk hari ini?" Tanya Naressa ketika dia melihat Aditya di koridor sekolah.

Aditya tersenyum. "Ternyata dia belum diijinin Bunda buat sekolah, biasalah dia demam tadi malem."

"Lagi?! Perasaan dia sering banget sakitnya."

"Ya mungkin memang waktunya dia sakit kali, udah ya Ress, gue harua ke perpus."

Naressa mengangguk kaku.

Aditya sebenarnya sedang tidak ingin masuk sekolah hari ini, dia ingin menemani Adinata di rumah sakit, namun apa boleh buat, dia harus masuk sekolah jika tidak ingin ketinggalan pelajaran dan membuat Adinata marah kepadanya.

"Bun aku gak sekolah ya besok.."

"Loh kenapa? Kan besok bukan weekend Dit.."

"Pengen nemenin Nata."

"Dit, sekolah aja. Nanti pulang sekolah baru disini."

"Bunda, please."

"Enggak Aditya."

"Bun.."

"Lu gak denger Bunda ya Dit? Bunda bilang kan sekolah besok, jangan ngebantah dong." Kata Adinata yang ternyata sudah bangun dari tidurnya.

"Nat, gue pengen disini temenin lu. Ijinin ya?"

"Enggak, makasih. Disini juga ada Bunda, Om Adi sama perawat yang lain. Udah deh Dit, lu gak usah minta yang aneh-aneh."

"Nat gue gak minta yang aneh-aneh, gue cuma minta ijin ke Bunda buat besok gue gak sekolah."

"Yaudah Bun ijinin aja, terus bilangin aku gak mau ketemu dia kalo dia gak masuk sekolah."

Aditya tersenyum ketika mengingat pertengkaran kecilnya dengan Adinata. Jika dipikir-pikir kembali, Aditya merasa jika ancaman Adinata terlalu ampuh untuknya, bagaimana tidak bisa ampuh, Adinata mengancamnya tidak ingin bertemu dengannya jika dia tidak masuk sekolah.

"Lu emang paling bisa buat gue nurutin semua keinginan lu Nat, tapi gue enggak akan siap kalo lu ninggalin gue." Ucap Aditya lirih.

Rahman dan Arkan menghampiri Aditya yang terlihat melamun di dalam perpustakaan.

"Jangan ngelamun lu, disini gue denger angker." Kata Arkan yang langsung duduk di samping Aditya.

Aditya tersadar dari lamunannya dan menatap kedua sahabatnya. "Sipa yang ngelamun?"

"Itu tuh anak kelas sebelah." Ucap Arkan sedikit kesal.

Aditya terkekeh. "Iya, maafin gue. Gue cuma lagi kepikiran aja sama keadaannya Nata."

"Emang Nata gimana? Bukannya lu bilang dia baik-baik aja?"

"Kemaren emang keadaannya baik-baik aja, cuma kata Kak Shanin keadaan Nata memburuk pas dia lagi kemo. Gue cuma enggak mau ditinggal sama dia."

Arkan menatap Aditya sendu. "Gue juga udah tau keadaan Nata dari Om Yudha, semalem Om Yudha nelfon Ibu gue, Om Yudha bilang keadaan Nata memburuk. Dan gue gak bisa tidur semaleman."

Aditya mengangguk. "Sama, tapi tadi pagi dia bangun dan nyuruh gue sekolah. Tuh anak emang enggak ada takut-takutnya ya."

Arkan terkekeh, begitupun Rahman. "Lu kaya gak tau Nata aja, dia kan emang kaya gitu, seenak jidat nyuruh kita ngelakuin semua yang dia pengen tapi dia sendiri gak pernah mau nurut kalo kita bilangin."

"Tau tuh Dit, Nata keturunan siapa sih? Kok kalian berdua bisa beda kelakuan gini?"

Aditya menggeleng. "Kalo masalah itu, mendingan lu tanya Bunda sama Ayah deh, gue juga gak tau kenapa kelakuan kita berdua bisa beda jauh."


Sore ini Cantika tengah duduk di samping ranjang pesakitan Adinata, perempuan berumur itu mengusap pelan rambut Adinata sambil sesekali mengajak anak bungsunya mengobrol.

"Mau makan sekarang?"

Adinata menggeleng. "Enggak Bun, belum mau makan. Masih mual."

"Kalo kamu gak makan, perut kamu bakalan sakit. Mau Bunda mintain susu aja?"

Gelengan kembali di berikan kepada sang Bunda oleh Adinata. "Enggak Bun, nanti aja ya? Aku masih mual."

"Yaudah, nanti kalo udah laper kasih tau Bunda ya."

"Iya Bun, oh iya Bun aku boleh nanya sesuatu?"

"Tanya apa sayang?"

"Kenapa Oma sama Opa benci aku sama Adit? Apa kita berdua pernah punya salah sebelumnya?"

Cantika terdiam dan memikirkan jawaban yang pas untuk anak bungsunya. "Kamu mau denger cerita?"

"Loh Bun, kan aku tanya sama Bunda, kenapa Bunda jadi pengen cerita?"

"Ini cerita bakalan nyambung sama pertanyaan kamu, mau denger?"

Adinata mengangguk.

"Jadi ada sebuah keluarga kecil yang sudah memiliki anak perempuan yang cantik banget, terus waktu anak perempuan itu umur tiga tahun sang Bunda kembali mengandung lagi, tapi harus disayangkan karena kandungannya sangat lemah dan hal itu membuat orang tua dari pihak laki-laki merasa khawatir akan keselamatan sang menantu perempuan. Sang istri terus saja keluar masuk rumah sakit, selalu mengkonsumsi obat-obatan, hingga pada akhirnya kandungannya mengalami masalah, sang istri harus melahirkan pada usia kandungan tujuh bulan, dan pada saat itu pihak laki-laki harus memutuskan sebuah keputusan yang sangat berat yaitu menyelamatkan kedua bayinya atau sang istri."

"Terus mereka pilih mana Bun?"

Cantika tersenyum. "Sang suami memilih untuk menyelamatkan kedua putranya, namun kedua orang tua pihak laki-laki marah akan keputusan sang anak, hingga akhirnya sebuah keajaiban menghampiri mereka, kedua putra dan juga sang istrinya kembali selamat dan tidak ada yang perlu dikorbankan."

"Jadi Oma sama Opa benci aku sama Adit karena udah buat Bunda kesusahan ya? Maafin aku Bun, bukannya mau kita buat Bunda kesakitan."

Cantika meneteskan air matanya. "Enggak sayang, denger Bunda. Bunda bahagia punya kamu, Adit sama Shanin. Bunda bahagia."

"Bun, apa selama ini aku selalu nyusahin Bunda? Maafin aku ya Bun.."

Cantika menggeleng. "Kamu gak salah sayang, kamu, Adit sama Shanin adalah anugerah yang diberi Tuhan buat Bunda dan Ayah. Jadi, Bunda minta sama kamu. Stop buat nyalahin diri kamu sendiri, Bunda gak mau denger itu lagi."

Adinata menangis. "Maafin aku Bun.."

"Udah Bunda maafin, kamu enggak salah apa-apa. Udah cukup."

































TBC

ADINATA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang