14

5.6K 457 8
                                    


"Keadaan Nata cukup membuat kita semua khawatir, dan sesuai dugaan gue Fal, Kankernya udah nyebar ke organ tubuhnya yang lain. Seperti Hati nya, gue juga enggak bisa prediksi ini semua. Sel kankernya nyebar terlalu cepat, kita harus mempercepat pengobatannya, tapi dengan keadaan Nata yang kaya gini, kita ga bisa ngambil langkah kemoterapi secepatnya. Gue bakalan nge jadwalin lagi kemoterapinya Nata, kita tunggu keadaan Nata membaik dan siap untuk kemoterapi."

Naufal mengembuskan nafasnya berat. "Gue ngerasa gagal jadi seorang Ayah, Di."

Dokter Adi menggeleng. "Lu ga boleh kaya gini, gue yakin Nata pasti sembuh. Kalo boleh tau, apa Nata pernah kehilangan kontrol motorik nya?"

Naufal mengangguk. "Dia pernah bilang, dia jatoh di toilet karena kakinya ga bisa dia gerakin, terus juga tangannya yang kadang-kadang emang ga bisa digerakin."

"Fal sebenernya berat buat ngasih tau lu ini, tapi lu emang harus tau. Lu tau kan keadaan Nata yang sekarang? Lu liat kan semua apa yang dialami Nata? Gue bukannya mau buat lu takut atau apa, tapi gue harus ngasih tau lu. Kalo suatu saat nanti Nata bakalan lumpuh total akibat sel kanker itu, dia bakalan kehilangan motorik geraknya, terus dan maaf mungkin aja suatu saat nanti dia akan kehilangan penglihatannya."

Naufal menangis. Dia belum siap jika harus melihat anaknya menderita. Sudah cukup, semuanya seperti ini. Mengapa Tuhan memberikan cobaan yang berat kepada anaknya.

Cantika yang duduk disampingnya juga sudah ikut menangis. "Mas.."

"Gue gak mau liat dia menderita, udah cukup gue liat dia terus kesakitan setiap harinya. Terus sekarang lu bilang, anak gue bakalan lumpuh dan buta? Gitu?!"

Dokter Adi sudah dapat memprediksikan reaksi Naufal yang akan seperti ini. "Gue minta maaf Fal, ini memang kasusnya seperti itu."

"Gue mohon Di, jangan buat penyakit sialan itu ngerebut kebahagiaan anak gue. Gue belum siap kalo harus liat dia duduk di kursi roda. Gue gak mau."

Dokter Adi menghampiri Naufal dan menepuk bahunya pelan. "Gue bakalan usahain semuanya semampu gue."

Naufal mengangguk. "Makasih Di.."

Naufal dan Cantika berjalan keluar dari ruangan Dokter Adi. Mereka duduk di kursi panjang yang ada di depan ruangan Dokter Adi.

"Mas, aku ga mau liat Nata kaya gitu. Itu semua bohong kan? Nata pasti sehat, dia gak akan lumpuh."

"Siapa yang lumpuh Bun?" Tanya Aditya ketika melihat kedua orang tuanya tengah menangis di depan ruangan Dokter Adi.

Cantika dan Naufal menolehkan kepalanya dan memeluk anak tengahnya itu. "Kemana kakak kamu?"

"Kak Shanin nemenin Nata. Bun aku tanya siapa yang bakalan lumpuh? Bukan Nata kan?"

Cantika semakin mengeratkan pelukannya. "Nata, sayang. saudara kembar kamu yang bakalan lumpuh. Kata Om Adi, keadaan Nata memburuk. Bunda mohon doain Nata, semangatin Nata."

Aditya menangis keras dalam pelukan ibunya. "Enggak Bun...hiks..hiks Nata ga boleh lumpuh..hiks.."

Cantika mengangguk. Sedangkan Naufal dia sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Dia harus menyiapkan diri dengan semua yang dikatakan oleh Adi-Dokter yang merawat anaknya-.

Berbeda dengan Ayah, Bunda dan adiknya yang tengah menangis di depan ruangan Dokter Adi, Shanin kini duduk disamping ranjang adiknya, perempuan itu sudah menggunakan pakaian khusus.

Tangan milik Shanin terus menggenggam tangan adiknya yang terbebas dari infus. "Maafin gue Nat, gue bukan kakak yang baik buat lu, gue ga bisa berbuat apa-apa buat bantu keadaan lu. Maafin gue..hiks..hiks.." Shanin menjeda kalimatnya dan menatap dengan lekat wajah sang adik yang pucat. "Gue mohon lu bangun, jangan tidur terlalu lama. Gue pengen liat lu bangun, gue mohon bangun Nat..hiks..hiks.."

Keadaan sang adik yang seperti inilah yang ditakutkan oleh Shanin, ka belum siap atau bahkan belum pernah siap untuk menerima dan melihat keadaan adiknya seperti ini. Terbaring lemah di ranjang pesakian, dengan alat bantu kehidupan adiknya yang Shanin tidak ketahui apa saja kegunannya. Sebelumnya ia tidak pernah membayangkan jika adik bungsunya akan seperti ini.

"Bangun Nat..hiks...hiks.."

Di luar ruangan Adinata sudah ada Naufal yang melihat interaksi kedua anaknya yang membuat hatinya terasa tercubit. Sedangkan Cantika dan Aditya, mereka berdua pulang ke rumah untuk membawa beberapa keperluan mereka, diantar oleh supir pribadi Naufal, yang sebelumnya telah dihubungi oleh Naufal.

"Maafin Ayah sayang, Ayah harusnya bisa jagain kamu. Harusnya Ayah jadi Ayah yang baik buat kamu. Maaf Ayah bukan Ayah yang baik, maaf Ayah enggak bisa gantiin kamu buat ngerasain sakitnya."

•••••••••••••••••

Sudah lebih dari tiga hari keadaan Adinata  sudah sedikit membaik, tetapi Dokter Adi sudah memberitahukan keadaan Adinata kepada Naufal. Jika keadaan Adinata sudah melewati masa kritisnya, kini Adinata sudah berada di ruang rawatnya, bukan di ruang ICU lagi seperti hari-hari sebelumnya.

Dan sudah tiga hari pula Aditya tidak masuk sekolah, meski sang Ayah dan sang Bunda memaksanya untuk masuk sekolah, Aditya tetap menolak. Saudara kembar Adinata itu berasalasan ingin menunggu Adinata sadar, sedangkan Shanin dengan berat hati harus pergi ke kampusnya untuk belajar, sebenarnya ia tidak ingin masuk. Namun apa boleh buat, dia harus masuk ke kampus, jika tidak, dia tidak ingin semua usahanya sia-sia.

"Bun kapan Nata bangun? Aku kangen sama Nata." Tanya Adit kepada sang Bunda yang tengah mengelap pelan tangan kurus anaknya dengan sebuah wash lap.

"Kita berdoa aja, kata Om Adi, Nata udah sedikit membaik. Semoga nanti malem Nata bangun. Bunda juga sama, kangen banget sama Nata."

Aditya mengangguk dan berpamitan menuju kantin untuk membeli beberapa makanan untuknya dan juga sang Bunda.

"Loh Adit?"




















TBC

ADINATA ✔Where stories live. Discover now