26

4.1K 465 17
                                    


Cantika memasuki kamar anaknya dengan wajah sedikit raut kecewa. Adinata melihat sang Bunda yang masuk ke kamarnya seperti akan marah kepadanya.

"Ada apa Bun?"

"Apa kamu ngomong gak pernah di pikir dulu?!"

Adinata menghela nafasnya berat. "Emang ada apa Bun?"

Cantika tersenyum miris, namun air mata menetes dari kedua matanya. "Apa yang kamu bicarain sama Ayah kamu sebelum kamu pulang? Apa?! Kasih tau Bunda!"

Tangan kurus Adinata menggenggam tangan Bundanya, namun sang Bunda langsung menepisnya. "Jangan berani pegang Bunda sebelum kamu kasih tau Bunda, apa yang kamu bicarain sama Ayah kamu sebelum kamu pulang kesini? Kasih tau Bunda!"

Adinata terdiam, merasa bingung. Apa Bundanya akan menerima semua perkataan yang ia katakan dengan sang Ayah.

"Apa kamu bener bilang sama Ayah kamu, kalo kamu rela tinggal di Panti Sosial?! Iya?"

"Bun dengerin penjelasan aku dulu."

"Apa?! Sekarang jelasin ke Bunda, kenapa kamu bisa ngomong kaya gitu ke Ayah kamu."

"Bun, cuma itu yang aku bisa lakuin buat ngembaliin kebahagian sama keharmonisan keluarga kita. Bun, aku gak mau Adit sama Kak Shanin sedih terus. Aku bukan anak kecil yang bisa dibohongi, Bun aku tau Ayah emang udah cape sama aku, aku bilang ke Ayah, Ayah boleh titipin aku di Panti Sosial asalkan Ayah enggak jadi cerai dan tinggal dirumah ini dengan bahagia sama Kak Shanin dan Adit."

"Kamu gak bisa ngomong gitu Nat, kamu jangan kaya gini. Bunda gak mau kamu tinggal disana. Kamu anggap apa Bunda selama ini? Apa kamu gak mau dirawat sama Bunda?"

Adinata langsung menggeleng. "Enggak Bun, bukan kaya gitu. Aku lakuin ini semua cuma buat kalian semua. Bun, aku pernah bilang sama Bunda kan sebelum aku sakit, kalo aku pengen punya keluarga yang harmonis dan bahagia, dan ini salah satu cara yang harus aku lakuin, meski pada akhirnya aku harus tinggal di luar."

Cantika langsung memeluk tubuh kurus anaknya. "Bunda gak akan pernah ijinin kamu tinggal disana, Bunda rela pisah sama Ayah kamu, asalkan kamu tinggal sama Bunda."

"Terus Bunda ngebiarin Kak Shanin enggak pulang ke rumah gitu?"

"Bunda akan coba hubungin semua teman kakak kamu, dan suruh Kak Shanin buat pulang dan kita bisa omongin baik-baik."

Adinata menggeleng. "Enggak akan bisa Bun, Kak Shanin enggak akan pulang sebelum keluarga kita baik-baik aja Bun."

Cantika kembali memeluk Adinata dengan sangat erat. "Pokoknya Bunda enggak akan ijinin kamu tinggal disana, Bunda enggak peduli kalo misalkan nanti Bunda sama Ayah pisah, yang penting kamu ada disini sama Bunda."

Adinata harus kembali mengangguk untuk meng-iyakan semua perkataan sang Bunda.

Sementara itu Aditya yang sedari tadi berbaring di salah satu ranjang lain di kamar tersebut hanya bisa mendengar semua perkataan Bunda dan saudaranya. Ia sungguh tidak tega dengan semua penderitaan saudaranya, tidak cukup kah Tuhan memberikan cobaan yang berat untuk Adinata? Disaat penyakit yang di derita saudaranya semakin parah, ia harus kembali menelan luka yang cukup menyayat hati.

Adinata tersenyum ketika melihat sang Bunda sudah keluar dari kamar mereka. "Gue tau lu gak tidur Dit.."

Tanpa mengubah posisi Aditya masih tetap dengan posisinya. "Apa semua yang dibilang Bunda bener? Lu bakalan ninggalin gue disini?"

"Gue juga gak tau Dit, gue bingung. Apa yang harus gue lakuin buat balikin Ayah kaya dulu lagi, lagi pula Kak Shanin udah gak tinggal disini lagi, terus Ayah sama Bunda juga lagi renggang. Jadi gue gak tau apa yang harus gue lakuin, gue bingung. Gue sendiri juga gak mau keluar dari sini dan tinggal di Panti Sosial, gue gak akan pernah siap."

Aditya terisak. "Terus lu bakalan pilih mana? Tetep milih keinginan lu? Atau ikutin semua permintaan Bunda?"

"Gak tau."

"Gue bakalan ikut lu tinggal di Panti Sosial. Titik, gue gak terima penolakan."

"Terserah lu.."

Sudah lebih dari seminggu kediaman Keluarga Naufal sepi. Disana hanya ada Cantika, Adinata dan Aditya jangan ditanya kemana perginya Naufal. Sejak bertemu di rumah sakit, Adinata sudah tidak pernah melihat ayahnya.

"Bunda..."

Cantika tersenyum setelah menyimpan semangkuk bubur yang menurut Adinata hambar. "Ada apa sayang?"

"Aku boleh sekolah?"

Cantika mengangguk sambil tersenyum. "Boleh sayang, lagipula keadaan kamu keliatannya udah baik-baik aja.."

"Beneran Bunda?"

"Iya.."

"Tapi, apa Bunda tau kalo Ayah pernah kasih tau aku kalo aku bakalan homeschooling? Apa Ayah udah ngurus semuanya?"

"Bunda rasa belum. Kamu masih jadi siswa di sekolah kamu. Tenang aja, biar nanti Bunda yang bilang sama guru kamu."

"Makasih Bunda, aku sayang Bunda.."

"Giliran kemauannya dikabulin baru aja kamu bilang sayang sama Bunda.."

Adinata terkekeh. "Kalo gitu, aku siap-siap dulu ya Bun.."

"Makan dulu aja, nanti biar Aditya nunggu kamu siap-siap."

"Iya deh.."

Adinata memakan sarapannya dengan perasaan senang, ia melupakan sejenak semua keputusannya. Aditya yang sedari tadi melihat wajah berbinar saudaranya langsung ikut tersenyum.

"Semoga lu bisa terus senyum kaya gitu, gue seneng liat lu kaya gitu.."




























TBC

Bagi yang minta cepet UP, ini udah aku kasih..

Tau kok chapter ini enggak terlalu greget. Maaf yaa, waktu ngetik ini feel-nya sedikit menghilang..

Selamat membaca..

Satu lagi..
Aku mau ngucapin makasih banyak sama yang udah nyempetin buat mampir di cerita aku yang ini. dan mohon maafkan kalo bahasanya berantakan. Karena ini work lokal pertama akuu..

Terima Kasih Banyak..❤

Unik

ADINATA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang