23

4.2K 432 17
                                    


"Kak, lu tau kemana Ayah sama Bunda? Dari kemaren gue gak liat mereka kesini, apa ada masalah?" Tanya Adinata kepada sang Kakak.

Shanin menggeleng. "Gue gak tau Nat, gue juga udah coba buat nelfonin Ayah sama Bunda tapi gak mereka angkat, mungkin mereka lagi sibuk."

"Tapi Kak ini gak kaya biasanya mereka kaya gini."

"Paling nanti siang Bunda sama Ayah kesini, kayanya kemaren mereka sibuk deh di kantor, jadi aja gak ada waktu buat kesini. Ya, lu harus bisa maklumin Nat, mereka pasti cape."

Adinata mengangguk. "Iya Kak, gue tau mereka jadi harus kerja lebih keras karena biaya pengobatan gue mahal. Coba aja gue enggak jalanin pengobatan, mereka gak perlu kerja keras kaya gini, gue cuma khawatir Bunda sama Ayah sakit Kak, cukup gue aja yang sakit. Mereka jangan."

Shanin menatap adiknya dengan tatapan sendu. "Bukan salah lu, mereka juga pasti rela kok kerja keras demi anaknya, orang tua mana sih yang enggak rela kerja keras demi anaknya."

"Kak, apa gue gak usah berobat aja ya? Gue bisa kok, cuma bergantung sama obat, asalkan Ayah sama Bunda enggak kerja terlalu keras."

Kedua mata Shanin berkaca-kaca. "Lu gak mau sembuh?"

"Gue mau Kak, gue mau sembuh. Tapi kalo gini caranya gue gak bisa Kak, lu harusnya tau, sebenernya gue percuma jalanin pengobatan yang sekali pengobatan ngeluarin banyak duit, buktinya tubuh gue yang lemah ini ga pernah bisa nerima obat-obatan yang Dokter kasih, jadi percuma Ayah sama Bunda ngeluarin duit banyak buat gue, lebih baik duitnya di pake buat biaya sekolah lu sama Adit. Apalagi, katanya sekarang gue harus homeschooling, pengeluarannya bertambah Kak. Gue gak mau, pengorbanan Ayah sama Bunda sia-sia karena biayain pengobatan gue, gue gak mau."

Shanin langsung memeluk tubuh kurus adiknya. "Enggak gitu Nata, Bunda sama Ayah kerja itu buat kita semua, bukan cuma buat lu aja, mereka juga pasti mikirin gue sama Adit."

"Ya karena itu Kak, Ayah sama Bunda jadi harus kerja keras buat ngebiayain kita bertiga. Lu sama Adit masih lebih baik cuma uang sekolah, uang bimbel atau pun uang saku. Sementara gue? Gue harus minta secara tidak langsung ke Ayah sama Bunda belasan nyampe puluhan juta buat biaya pengobatan gue."

"Nat gue mohon, lu jangan punya pikiran kaya gitu, gue udah bilang sama lu, enggak ada orang tua yang ngerasa dibebanin sama anaknya, enggak ada."

Adinata terdiam, ia membalas pelukan Kakaknya. Hingga kedua matanya menatap pintu ruang rawatnya yang terbuka, menampilkan orang yang sangat tidak ingin Adinata lihat dan temui.

"O..Opa?"

Shanin melepas pelukannya, ketika mendengar bisikan adiknya. Ia ikut menolehkan kepalanya ke arah pintu ruang rawat adiknya, reaksi Shanin sama seperti Adinata, terkejut ketika melihat kedatangan Kakeknya.

Opa Dani tersenyum dan berjalan mendekat menghampiri kedua cucunya.

"O..Opa ada apa kesini? Ayah sama Bunda enggak ada disini." Kata Adinata pelan bahkan suaranya mirip seperti bisikan.

Opa Dani datang bersama dengan Yudha, Yudha tersenyum kecil dibelakang tubuh Ayahnya. "Nata, Opa kesini mau ketemu sama kamu."

"Aku?"

Opa Dani mengangguk, dengan tiba-tiba Opa Dani memeluk tubuh kurus Adinata. Adinata langsung memegang tangan sang Kakak saking terkejutnya.

"Maafin Opa sayang, seharusnya Opa enggak bersikap kasar sama kamu, Opa baru sadar ternyata kamu sama Aditya sama-sama berharganya buat Opa. maafin Opa ya sekali lagi, maafin."

Adinata menatap Kakaknya dengan tatapan meminta tolong. "I..iya O...Opa aku maafin Opa."

"Makasih sayang, Opa sayang sama kamu." Opa Dani mencium puncak kepala Adinata dengan lembut.

"Pak, kasian Adinata, liat dia saking gugupnya megang tangan Shanin nyampe segitunya." Kata Yudha sambil tersenyum melihat tingkah Adinata.

Opa Dani melepaskan pelukannya dan menatap tangan cucunya. "Kamu takut sama Opa?"

Adinata langsung menggeleng. "Enggak."

"Terus kenapa kamu kaya gitu? Nyampe pegang tangan Kakak kamu?"

"A..aku k..kaget. Iya aku kaget, jadi aku reflek pegang tangannya Kak Shanin." Kata Adinata sambil melepas tangannya di tangan Shanin.

Yudha, Opa Dani dan Shanin tersenyum melihat tingkah Adinata. Opa Dani menyesal karena sudah membenci anak polos seperti Adinata.

"Ayah sama Bunda kamu kemana? Kok gak keliatan?"

Shanin dan Adinata menggeleng. "Enggak tau Opa, dari kemarin Bunda sama Ayah enggak kesini."

Opa Dani menyeritkan keningnya. "Enggak kesini?"

"Iya Opa, apa ada masalah di kantor Ayah?"

Yudha pun sama seperti sang Ayah merasa bingung dengan sikap kedua orang tua Shanin dan Adinata. "Perasaan enggak ada masalah apa-apa, kantor baik-baik aja. Kan Om sekarang ikut bantuin kantor Ayah kalian. Udah coba kalian telfon?"

Shanin mengangguk. "Udah Om, dari kemaren udah aku coba, Adit juga udah coba. Cuma enggak aktif."

Adinata menatap Kakaknya gelisah. "Kak.."

Shanin mengusap punggung adiknya pelan. "Jangan khawatir, Ayah sama Bunda pasti baik-baik aja. Nanti Kakak coba telfon lagi."

"Jangan terlalu dipikirin, nanti biar anak buah Opa yang cari tahu dimana kedua orang tua kalian. Jangan khawatir."

Aditya tengah berjalan di halaman rumahnya, ia memutuskan untuk pulang ke rumahnya terlebih dahulu dan pergi ke rumah sakit nanti malam. Namun langkah Aditya terhenti ketika melihat kedua orang tua mereka yang baru saja memasuki rumah megah mereka.

"Ayah! Bunda!" Panggil Aditya.

Cantika dan Naufal langsung menolehkan kepalanya dan dapat Aditya lihat jika kedua orang tuanya nampak terkejut.

"Bunda sama Ayah habis darimana?" Tanya Aditya penuh selidik.

"Kita..kita berdua habis dari kantor, iya, kita berdua habis dari kantor." Kata Naufal sedikit gugup.

"Kalian enggak bohong kan?"

Cantika tersenyum. "Enggak mungkin kita bohong sayang, kamu tau kan kalo akhir-akhir ini perusahaan lagi ada sedikit masalah, jadi aja Ayah sama Bunda enggak bisa pulang."

"Tapi seenggaknya handphone kalian jangan dimatiin, kita semua khawatir, seenggaknya kasih kabar ke aku kalo enggak ke Kak Shanin."

Cantika berjalan menghampiri anaknya dan memeluknya. "Maafin Bunda sama Ayah ya, maaf banget. Kita kelupaan enggak ngabarin kalian."

Aditya terkekeh namun kedua matanya memerah. "Lupa? Bun, aku enggak masalah kalo kalian enggak ngasih kabar, cuma Bunda sama Ayah harus inget Nata, dia sakit. Bunda sama Ayah kan yang bilang ke aku kalo Nata gak boleh banyak pikiran. Tapi kalian kaya gini, aku sebenernya kecewa sama Bunda sama Ayah."

Aditya melepaskan pelukan Cantika dan berjalan ke dalam rumah.

Cantika dan Naufal menatap kepergian anaknya dengan tatapan bersalah.

"Mas, apa gak bisa dipikirin lagi? Kita bisa kan cari cara yang lain, jangan pesimis gitu. Kalo nanti kita pisah, anak-anak sama siapa? Kasian mereka." Kata Cantika.

Naufal menggeleng. "Aku udah mutusin semuanya Can, bener kata Ibu, seharusnya kamu enggak usah punya anak lagi, cukup Shanin aja."

"MAS! Kamu tuh ngomong apaan?! Kamu sekarang ngerasa nyesel udah punya anak Adit sama Nata?!"

"Aku enggak bilang gitu, cuma..."

"Cuma apa?! Aku kecewa sama kamu Mas, Mas kita bisa minta bantuan ke Bapak atau enggak Yudha buat masalah biaya, tapi kita enggak harus pisah kan?!"

"KAMU TUH ENGGAK BISA NGERTIIN AKU?! KAMU TAHU GIMANA CAPENYA JADI AKU, KERJA SETIAP HARI DARI PAGI SAMPE PAGI LAGI CUMA BUAT BIAYAIN PENGOBATANNYA NATA! BUKAN CUMA ITU AJA, AKU JUGA HARUS MIKIRIN MASALAH BIAYA SEKOLAH ADIT SAMA SHANIN! KAMU MIKIR ENGGAK SIH?!"

Tanpa mereka sadari ternyata sedari tadi Aditya mendengar semua pembicaraan kedua orang tuanya.






























TBC

ADINATA ✔Where stories live. Discover now