-1- Bimbang (1)

75.9K 4.8K 60
                                    

Mengapa sesuatu yang indah harus ditutup?
—Shofia Assyifa Zafran.

*****

Sudah menunjukkan shubuh suara adzan terdengar pada telinga. Bagi umat muslim harus bangun untuk menunaikan kewajiban. Gemericik air yang keluar dari kran mulai terdengar.

Clek..

"Nduk bangun ayo sudah subuh waktunya sholat habis ini sekolah toh," suara Bi Sumi dengan logat jawanya. Bi Sumi asisten rumah tangga dari Kota Solo.

"Apa sih Bi? Udah lah nanti aja! Aku masih ngantuk!" balasku ketus sambil menggaruk-garuk kepala.

Bi Sumi berjalan mendekat. "Ayo nduk ndakbaik kalau sholat ditunda-tunda." suara Bi Sumi dengan lembut sembari melipat selimut yang setiap hari ku pakai.

"Yaudah Bibi aja duluan sana! Ganggu banget." ketusku sembari beranjak menuju kamar mandi.

Setelah sholat aku langsung merapikan rambut, dengan satu ikal sedikit tinggi dan poni badai-miring kekanan yang tidak pernah lupa. Lekas menyambar tas dan menuju meja makan.

"Selamat pagi Dunia, selamat pagi Bunda, Ayah dan tidak lupa selamat pagi Bi Sum." sapaku dengan nada khas ceria sembari menuruni tangga menuju meja makan.

Aku melihat Bunda dan Ayah saling tatap dan melempar senyum kearahku, Bi sumi juga ikut tersenyum. Ah, bahagia sekali melihatnya.

Detingan sendok terdengar tanpa ucapan disela-sela sarapan. Memang, keluargaku tidak pernah membiasakan untuk bicara saat makan.

Setelah makan roti dengan balutan selai coklat dan susu. Aku beranjak mengambil tas dan memasang sepatu hendak menuju mobil-untuk menunggu Ayah disana.

"Ica, duduk dulu Nak," perintah Ayah. Suaranya selalu terdengar lembut saat memanggilku. 'Ica' Nama panggilan khusus yang diberikan oleh keluargaku.

Aku yang sudah berdiri hendak berjalan. Namun, kembali duduk lagi, tepatnya disamping ayah. "Ya Ayah?" Tanyaku dengan muka kebingunggan.

"Ayah sama Bunda sudah belikan kamu hijab banyak. kamu pakai ya sekarang?" nada Ayah lembut sekali sambil membelai rambutku. Bibirku keluh, nafas pun ikut tak beraturan dan yang bisa ku lakukan hanyalah diam.

Kemudian Ayah—Juna Ali Zafran kembali berkata,
"Nak rambutmu ini bagus lebih baik ditutup saja ya dijaga biar tidak ada lelaki lain yang melihat cuma Ayah dan mahrammu!"

Aku diam seribu bahasa melihat ayah yang dari kemarin terlihat mukanya lelah sekali. 'Aku belum siap' hanya itu yang memenuhi pikiran. "Aku pikirkan dulu Yah." jawabku masih dengan posisi menunduk.

"Ayah, Syifa kenapa belum berangkat? Ada yang kurang?" tanya Bunda dari dapur terdengar hingga meja makan. Aku menghela nafas lega, syukurlah. Suara Bunda mampu membuat Ayah beranjak menggengam tanganku berjalan menuju mobil.

Lani Dewi—Bundaku. Seseorang dengan penuh kasih sayang mendidik diriku sebagai anak tunggal namun, tidak dimanja.

*****

Aku mengira akan menjadi suasana canggung lagi karena ucapan Ayah sewaktu di Rumah. Namun, tidak, Ayahku tetaplah menjadi pribadi yang menyenangkan. Meskipun ucapannya tadi belum sempat ku jawab. Tapi didalam mobil ini, ia selalu menanyakan kabar baik pada ku— seperti "How are you at school?" dan bertanya "Gimana kabar teman-temanku.."

Tanganku terulur mengambil tangan kanan Ayah dan menyalami. "Ayah aku berangkat ya.. Assalamualaikum." pamitku sembari membuka pintu mobil.

Senja Assyifa [COMPLETED]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt