XI

1.2K 66 2
                                    

Shafira menatap punggung Devano yang terus menjauh, matanya mulai panas hingga akhirnya air mata jatuh membasahi pipinya.

Hatinya sangat sakit, baru kali ini dirinya di perlakukan sekasar itu di tempat umum. Shafira mengelap air matanya lalu melajukan mobilnya menuju rumahnya.

Sesampainya di rumah Shafira menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang air matanya berlomba lomba keluar dari pelupuk matanya. Matanya terasa berat hingga Shafira terlelap masuk ke alam mimpi.

.
.
.

Beberapa waktu lalu

Shafira menunggu Devano yang sedang berganti pakaian sambil membaca majalah yang senang ramai di perbincangkan minggu ini.

"Shafira?"

Seseorang memanggil namanya dengan refleks Shafira menoleh ke arah orang itu.

"Gabriel?"

"Apa yang sedang kamu lakukan di sini?"

"Aku sedang menunggu seseorang"

"Boleh aku duduk?"

"Tentu saja"

"Maaf kemarin aku tidak bisa datang ke acara pernikahan."

"Tak apa, aku tahu kau sibuk."

"Tapi apa kamu senang dengan pernikahan ini?"

"Aku pikir pernikahan ini tidak buruk."

Saat mereka sedang asik berbincang nada dering ponsel membuat pembicaraan mereka terhenti.

"Sepertinya aku harus pergi"

"Panggilan mendesak?"

Lelaki jangkung itu beranjak dari tempat duduknya.

"Boleh aku memeluk mu untuk terakhir kalinya?"

"Tentu saja"

Sepertinya saat itu Gabriel sedang sial, Devano melihat istrinya di peluk olehnya.

Bisa di bilang Gabriel adalah orang terdekat Shafira saat ini, bahkan Shafira menganggapnya sebagai kakak sendiri. Gabriel meminta pelukan karena sebentar lagi ia akan pergi ke luar negeri untuk melanjutkan studi.

.
.
.

Shafira terbangun dengan setengah kaget. Dirinya menemukan Devano yang sedang menatapnya.

"Maaf"

Saat Devano mencoba untuk mengelus pipinya Shafira perlahan beringsut mundur menjauh dari Devano.

"Apa aku membuat mu takut?"

Shafira tidak menjawab, tangannya menarik selimut untuk menutupi tubuhnya matanya menatap ke bawah tidak berani menatap ke arah Devano.

Siapapun jika di perlakukan seperti itu akan takut, apalagi orang itu ada di hadapannya sekarang.

"Waktunya makan malam" tangan Devano terulur tapi Shafira menepisnya. Mata sipitnya menangkap pergelangan Shafira yang memerah

"Apa yang kau lakukan pada tangan mu? Kau gila?"

Shafira menatap heran ke arah Devano

"Ternyata benar, kau memiliki masalah pada otak mu"

"Aku yang buat tangan kamu merah seperti ini?"

"Kau benar benar tidak menyadari apa yang telah kamu perbuat?

Devano segera membawa Shafira ke dalam pelukannya, mengelus punggungnya lembut.

"Maaf, aku aku tidak bisa mengontrol emosi ku. Maaf membuatmu seperti ini,"

"Aku hanya tidak ingin milik ku di sentuh oleh orang lain."

Shafira mengigit bibir bawahnya, matanya kembali mengeluarkan air mata. Shafira membalas pelukan Devano, memeluknya erat sambil menangis tersedu sedu di dada bidang suaminya.

"Hiks. . . aku takut . . ."

Devano mengecup pucuk kepala Shafira, mulutnya tidak henti hentinya melontarkan kata maaf.

- To be continued -

PULCHRA (  TAHAP REVISI ) [ END ] ✓Where stories live. Discover now