06. Question

561 49 6
                                    



Cemas dan gelisah. Seperti itulah yang Gia rasakan setelah menyelesaikan lembar demi lembar novel yang dipinjamnya dari Nick. Emosinya benar-benar dipermainkan oleh bacaan ini. Mungkin karena berasal dari sebuah legenda serta kepiawaian penulis dalam menarasikan cerita, maka pembaca akan merasa dibawa masuk kedalam cerita. Atau mungkin karena perasaan Gia yang terlalu sensitif, sehingga dirinya lebih mudah terbawa perasaan. Gadis ini melenggang memasuki kamar mandi untuk melakukan rutinitas paginya. Tidak bisa dibilang pagi juga karena waktu telah menunjukan pukul sembilan. Hari ini bukan akhir pekan, akan tetapi Gia tidak memiliki jam kuliah ataupun temu janji dengan siapapun.

Gia memiliki kebiasaan membawa serta ponselnya kekamar mandi. Dan ketika Gia baru menyelesaikan ritual membersihkan dirinya, ponselnya berdenting, sebuah pesan masuk muncul dilayarnya

Jimin. Lelaki ini meminta Gia untuk datang ke caffee. Pada mulanya Gia menolak namun Jimin cukup lihai sehingga gadis ini akhirnya setuju.

.
.

*Pesan*

• Hai.. Selamat pagi...

Ada apa? •

• Setidaknya balas salamku.
Baiklah.. Datanglah ke caffee Nick.

Kenapa? •

• Ayolah.. Aku tau kau akan bosan dirumah, lagi pula kau tidak ada kuliah hari ini.

Tau darimana? •

• Sudah, kau kesini saja. Ada Nick juga jadi jangan khawatir aku akan memanfaatkan kesempatan untuk merayumu.

Kepercayaan diri yang tidak pernah berubah.. •

• Bagaimana?

40 menit. Aku akan sampai disana kurang lebih 40 menit •

——————————————————————

.
.

Setelahnya Gia menyimpan kembali ponselnya dan bersiap untuk pergi ke caffee milik Nick.

Setelah siap, Gia berjalan santai keluar kamar, dia mengira bahwa sang pemilik rumah telah berangkat ke kantornya beberapa jam lalu. Akan tetapi dugaanya meleset, Jey masih duduk santai diruang tengah rumahnya dengan koran ditanganya, nampak beberapa kali pria ini menyeruput kopi dari dalam cangkirnya.

Menyadari keberadaan Jey, Gia sontak menghentikan langkahnya untuk mengamati pria yang nampak santai tersebut. Pria ini tidak bergeming dan seolah tidak memperdulikan eksistensi Gia yang sudah hampir mati terkejut dibuatnya.

"Aku mau keluar sebentar."

Gia memejam merutuki mulutnya, tidak ada gunanya dia bersuara karena yang diajak bicara pun nampak sibuk dengan koranya. Gadis ini menarik nafas sebelum kembali melangkahkan kakinya menjauh.

"Mau kemana?"

Akhirnya suara maskulin milik pria yang hingga saat ini masih fokus pada koran ditanganya membuat Gia menghentikan langkahnya. Gadis ini sedikit menoleh berharap Jey mau sedikit meliriknya, namun sia-sia.

"Ke caffee Nick. Ada janji dengan teman. Apa tidak apa-apa? Atau mungkin kau butuh Aku temani?" Tawar Gia.

"Tidak, kau pergi saja, enjoy your time." Gia tersenyum dan baru saja akan melangkahkan kakinya namun kembali terhenti oleh suara Jey,

"Tapi..." Pria ini memberikan penekanan pada kata 'tapi' yang dia ucapkan. Kemudian melanjutkan kalimatnya, "Kau harus kembali pukul sebelas siang. Mengerti?"

Gia melihat jam tangan yang ia kenakan kemudian membuang nafas jengah. Tanpa ragu gadis ini membalikan tubuhnya untuk kembali memasuki kamarnya.

"Tidak jadi pergi Gia?" Tanya Jey yang kali ini menatap gadis tersebut.

"Tidak jadi. Aku mau tidur saja."

"Kenapa? Kau bilang ada janji dengan temanmu."

"Seriously! Sekarang pukul sepuluh lebih empat puluh menit, dan kau memintaku pulang pukul sebelas. Kau sengaja ingin membatku berbalik arah sebelum sampai ditujuan."

Gia mendengus kesal dan buru-buru kembali kekamarnya. Sementara Jey sedang terkekeh geli karena sikapnya sendiri. Didalam kamarnya, gadis ini melepas jaketnya dan tas yang sebelumnya terselempang manis dipundaknya. Ponselnya berdering bersamaan dengan tasnya yang sudah teronggok menyedihkan diatas tempat tidur.

Jimin.

Seperti yang sudah Gia duga, Jimin akan menelponya. Sudah sejak lama lelaki ini memiliki intuisi yang tajam, apalagi jika menyangkut dirinya. Bukan atas nama cinta, karena jika intuisi Jimin padanya diakibatkan oleh rasa cinta, maka lelaki ini tidak akan meninggalkanya begitu saja. Ketika Gia sedang berbicara pada Jimin melalui ponselnya, ponsel Gia direbut oleh Jey. Suasana menjadi sedikit tegang dan kaku. Ponsel Gia masih menempel apik ditelinga Jey. Nampaknya kedua lelaki itu sedang saling menyindir atau apalah namanya, yang pasti percakapan mereka sedikit kurang baik.

"Yang perlu kau ingat adalah Gia sudah bersamaku sekarang, kau paham bukan?"

Itulah pembicaraan terakhir Jey sebelum pria ini mematikan panggilanya. Setelahnya Jey beralih menatap Gia yang masih berdiri kaku ditempatnya semula. Banyak sekali prasangka didalam kepalanya mengenai apa yang Jimin dan Jey bicarakan barusan. Bisa saja Gia bertanya kepada salah satu diantara mereka berdua, tapi masalahnya apakah mereka mau mengatakanya pada Gia?

"Kau bilang mantan kekasihmu sudah menghilang bersama dengan uangmu, lalu barusan apa?"

Tatapan pria ini begitu mengintimidasi Gia, sehingga gadis ini mendadak lupa bagaimana caranya berbicara. Gia tidak berani menatap langsung pada pria dihadapanya saat ini, kepalanya ia tundukan dan mengamati jemarinya yang sedang memilin ujung kaosnya.

"Kalian masih sering bertemu?"

Lagi-lagi Gia hanya bisa terdiam, gadis ini tidak tahu kenapa dia tidak dapat menjawab pertanyaan mudah tersebut. Diamanya ini malah membuatnya seperti seseorang yang tertangkap basah sedang berselingkuh.

"Gia.... Ada yang coba kau sembunyikan dariku?"

Kini Jey meraih dagu gadis dihadapanya untuk mensejajarkan tatapan keduanya. Akhirnya tatapan mereka bertemu. Keduanya mencoba mencari sebuah jawaban dari pertanyaan yang sebenarnya sama.

"Bukankah harusnya pertanyaan itu untukmu?"

Waktu seakan terhenti dan mereka terdiam dengan tatapan yang saling mengunci satu sama lain. Gia menunggu jawaban dari Jey, sementara lelaki ini tidak mengeluarkan komentar sedikitpun.

.
.
.

♥ —————— To Be Continue ————— ♥

.
.
.




The Devil Obsession [ COMPLETE ✔️ ]Where stories live. Discover now