18. Chocolate

278 38 0
                                    



Ketika Gia mengalihkan pandanganya menuju tempat dimana Jimin memarkirkan mobil sebelumnya, lelaki itu sedang berdiri disisi mobilnya sambil mengamati Gia. Gia menghembuskan nafas berat mencoba pasrah ketika disaat bersamaan Jey sudah berdiri gagah disampingnya. Pria itu menatap tajam pada sosok Jimin, kali ini gestur tubuhnya menampakkan bahwa Jey tidak terlalu menyukai keberadaan Jimin dirumahnya. Pria ini kesal.

"Gia! Masuk!" Titahnya bahkan tanpa melirik pada Gia.

"Manfred meminta Jimin—"

"Tidak mau menurut?!" Nada suaranya meninggi.

"Rendahkan nada suaramu padanya." Jimin menimpali.

"Jangan ikut campur!!" Raung Jey pada Jimin yang nampak tenang.

"Dan kau! Masuk!!" Bentakanya semakin keras dengan gestur tangan memerintahkan Gia untuk memasuki rumahnya.

Gia adalah gadis keras kepala, dia memang menuruti perintah Jey tapi diam-diam dia mengintip dari dalam rumah. Tidak tahu kenapa, akan tetapi Gia merasa bahwa kedua lelaki diluar sana bisa saja saling membunuh jika mereka mau.

"Kau sudah pulang, mana Araqiel."

Suara Rafael berhasil mengagetkan Gia yang sedang mengamati Jey dan Jimin diluar sana. Gia menatap Rafael penuh arti. Dan seperti biasa, Rafael sangat peka dengan tatapan penuh kekhawatiran dari mata Gia. Rafael mengalihkan pandang keluar rumah dan mendapati adiknya sudah diujung emosinya. Disisi lain ia mendapati sosok Jimin, sebelah alisnya terangkat mengamati seksama sosok tersebut.

"Araqiel meninggalkan pesan?" Tanya Rafael tanpa melirik.

"Darimana kau tau?" Telisik Gia.

"Aku kakaknya."

"Katanya dia tidak akan pulang malam ini."

"Hmm.. baiklah. Sekarang aku ingin lihat apa yang akan mereka berdua lakukan."

Bukanya mencoba menengahi apapun yang akan terjadi diantara Jimin dan Jey, Rafael malah ikut megintip bersama Gia. Beberapa detik hingga Jey berbalik dan memasuki rumah. Sebagai upaya pertahanan diri, Gia bersembunyi dibalik tubuh Rafael. Gia sendiri bingung kenapa dirinya harus bersembunyi seperti ini. Namun kemudian...

*Dorr! Dorr!*

Gia tersentak kemudian menoleh keluar rumah. Disana Jimin sedang terkekeh geli melihat ban mobilnya meletus dan kepulan asap keluar dari dalam kap mobilnya. Gia mengerutkan kening, heran kenapa Jimin malah terkekeh melihat mobilnya rusak.

"Aauch..! Sakit.." Gia meringis ketika tanganya dicekal kuat dan diseret oleh Jey.

Jey yang seperti ini jauh lebih menakutkan dari pada mendapati fakta bahwa pria ini telah melenyapkan dua nyawa.

Tubuh Gia dihempaskan kedalam kamar sebelum Jey menutup rapat pintunya. Pria ini diam, dan diamnya Jey menebarkan rasa ngeri yang tak terelakkan. Gia menelan salivanya mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjelaskan kejadian sebenarnya. Akan tetapi logikanya mengatakan bahwa tidak seharusnya Jey semarah ini padanya.

Jey masih diam meskipun pria itu sedang mengendorkan kancing kemejanya. Rahangnya belum juga melemas, dan wajahnya masih merah padam menahan amarah. Demi Tuhan, rasanya Gia ingin menjelaskan panjang lebar kepada prianya, tapi mulutnya dibungkam secara tidak langsung oleh kemarahan prianya. Sementara Jey, dia hanya mengambil ponselnya kemudian kembali keluar tanpa melirik pada Gia. Namun yang ditinggalkan justru masih berpikir keras mengenai apa yang akan ia katakan ataupun lakukan, ia duduk ditepian ranjang tanpa berpindah hingga memakan waktu beberapa menit.

Aksi bungkam Jey berlanjut hingga esok paginya. Sosoknya tidak Gia temui dimeja makan dan Gia tidur sendirian semalam. Gadis ini merasa bersalah tanpa sebab, tapi jika saja Jey mau sedikit mendengarkan penjelasan Gia, maka ini bukan sepenuhnya salah Gia.

Gia tidak menyadari jika dirinya hanya mengaduk-aduk isi piring dihadapanya, Rafael lah yang pertama kali menyadarinya. Pria ini diam mengamati Gia yang nampak tidak bersemangat.

"Katakan saja yang perlu kau katakan."

Gia mengangkat kepalanya untuk menatap pada Rafael.

"Aku takut..."

"Terlambat kalau kau merasa takut sekarang. Selesaikan segera, kau hanya cukup menjelaskan bahwa Araqiel lah yang memintamu pulang bersama Jimin. Percaya padaku, Tobi tidak akan menelanmu." Bujuk Rafael.

Mungkin yang dikatakan Rafael benar, yang harus Gia lakukan adalah memberikan sedikit penjelasan. Tapi prianya sudah pergi pagi-pagi buta. Damian yang mengatakanya kepada Gia, khawatir gadis ini akan mencari tuanya.


Ini sudah kesekian kalinya Gia tidak mengikuti perkuliahan, ia juga sedang tidak ingin bertemu dengan Jimin. Waktunya habis di cafetaria lalu beralih ke perpustakaan. Dia teringat akan ucapan Jey sebelumnya bahwa rekam sejarah tidak akan bisa dihapus.

Berbekal sebuah kalimat yaitu Tobias der teufel, Gia mulai melakukan pencarian dikatalog perpustakaan dan internet.

Nihil.

Tidak banyak yang bisa ia dapatkan. Hanya beberapa informasi ringan yang tidak cukup memuaskanya. Nick pun tidak banyak mengetahui perihal apa yang Gia tanyakan. Gadis ini pulang ketika jemputanya datang.

Damian dari balik kemudinya mendapati Gia yang sedang menghembuskan nafas berat. Pria paruh baya ini cukup mengerti kemudian mencoba menawarkan sesuatu kepada Gia,

"Nona mau mampir dulu ke toko coklat dipersimpangan jalan?"

Gia menggeleng dengan senyum yang nampak dipaksakan.

"Nona yakin?"

Mobil sedang berhenti mengikuti lampu merah yang menyala, Damian memperhatikan Gia melalui kaca spionya, tatapan keduanya bertemu saat Gia melihat Damian dari spion yang sama. Damian tersenyum penuh arti. Bagai melakukan telepati, Gia mengerti maksud tawaran Damian sebelumnya. Gadis ini tersenyum dan mengangguk pada akhirnya.

Sekotak coklat sebagai penghantar permintaan maaf akan sangat membantu, bukan.

Bersama dengan Damian, Gia memasuki gendung tinggi tempat Jey bekerja. Lift mengantarkan keduanya hingga sampai didepan ruangan sang boss besar. Didepanya ada meja sekretaris Jey. Seorang perempuan berumur tidak jauh darinya, namun jauh lebih cantik darinya. Perempuan tersebut memberikan hormat pada Damian kemudian memberikan akses masuk kepadanya, sementara Damian memberikan kepastian bahwa tuanya sedang berada didalam ruanganya.

Dan memang benar Jey sedang berkutat dengan kertas-kertas kerjaanya. Gia sudah berdiri tidak jauh dari meja kerja Jey. Gadis ini mengeratkan genggamanya pada kantong berisi sekotak coklat yang dipegangnya, lalu menarik nafas dalam.

"A-Aku—"

"Bawa pergi saja dan keluarlah."

Belum juga Gia menyampaikan maksud kedatanganya, dirinya sudah diusir dengan dingin. Gadis ini berbalik hendak keluar tapi dengan cepat ia urungkan niatnya, keberanianya tiba-tiba muncul secara mendadak entah dari mana asalnya.

"Manfred yang memintaku pulang bersama Jimin. Apa masuk akal kau bersikap seperti ini tanpa mendengar penjelasanku?"

Suara Gia keluar lebih tinggi dari yang ia harapkan. Jey nampak tidak memperdulikanya dan mengacuhkan Gia.

"Jey!!" Raung Gia kesal.

"Kau cukup menolaknya. Ponselmu tidak sedang rusak untuk sekedar menelponku atau Damian." Sanggah Jey tetap sibuk dengan kertas-kertasnya.

"Oke-oke aku salah, aku minta maaf. Lalu apa yang harus aku lakukan?"

"Pulang saja. Hari ini aku sibuk."

*Tok Tok Tok!*

Sekretaris sebelumnya kini telah memasuki ruangan dan menginterupsi percakapan keduanya.

"Permisi pak, rapat akan segera dimulai."

Jey beranjak dari meja kerjanya beberapa saat setelah sang sekretaris keluar ruangan. Gia ditinggalkan sendirian tanpa ucapan perpisahan. Gia diacuhkan dan itu membuat dadanya sesak.

.
.
.

♥ —————— To Be Continue ————— ♥

.
.
.




The Devil Obsession [ COMPLETE ✔️ ]Where stories live. Discover now