28. Jimin

250 29 2
                                    




Jimin mengedarkan pandanganya kesetiap sudut caffee. Ia mendapati setiap pelangganya sedang menampakan raut wajah ketakutan dan panik, namun tidak bergerak seakan setiap sendinya membeku. Jimin yang sedang meracik latte, dengan sengaja meletakan cangkir latte nya cukup keras hingga menimbulkan bunyi dentingan nyaring, bersamaan dengan dentingan tersebut waktu seakan berhenti. Setiap orang membeku ditempatnya, jam dinding yang berdetik tidak lagi bersuara, hiasan caffee yang sebelumnya menggantung kini ikut berhenti membatu.

"Dimana Gia?!" Raung Jey yang siap menyerang.

Masih tidak bergeming ditempatnya, Jimin menatap Jey dengan tajam, tidak ada indikasi untuk melakukan perlawanan maupun pertahanan. Lelaki ini menyandarkan kedua tanganya diatas meja kasir dan hanya mengamati Jey sama tenangnya seakan ancaman kemarahan Jey bukanlah apa-apa baginya.

"Tenangkan dirimu, percuma melawanya!" Bujuk Rafael menahan pergerakan adiknya.

Jey menatap tajam kepada Rafael yang masih tetap membela Jimin. Pria ini tidak mengerti dengan jalan pikiran Rafael saat ini.

"Alih-alih mencarinya, kau malah mengamuk disini. Sungguh tindakan yang kurang bijaksana tuan Tobias." Jimin berpendapat kelewat santai.

"Aku sedang mencarinya!! Dimana kau menyembunyikanya?!" Jey mengancam.

"Tidak tau terimakasih." Lagi-lagi Jimin menimpali Jey dengan santai namun terasa sangat mengancam.

"Jika bukan karena campur tanganku, gadis itu bahkan tidak akan pernah sampai padamu." Lanjut Jimin.

Lelaki ini melirik pada Rafael kemudian melanjutkan perkataanya, "Kau mengajarinya banyak hal tapi lupa mengajarinya cara berterimakasih."

"Tutup mulutmu!!"

Jey meraung dan sanggup menghempaskan tubuh Rafael dengan hanya sekali hempas. Pria ini dengan cepat melesat mendekati Jimin hendak menyerangnya. Namun kejadian peluru sebelumnya kembali terulang pada Jey. Tangan yang sudah siap menghantam Jimin secara tiba-tiba terhenti, seakan terdapat tameng tak kasat mata yang sangat keras. Sekuat apapun Jey berusaha menghancurkanya tetap berakhir sia-sia. Jimin hanya memejam kemudian membuka mata untuk dapat memukul mundur Jey hingga tubuhnya menghantam dinding. Saking kerasnya Jey terpental, sampai mampu merusak dinding yang ia tabrak. Sepersekian detik kemudian Jimin sudah berada tepat dihadapan Jey dan memojokanya pada dinding bangunan didepan caffee.

"Aku bukan Rafael yang bisa sabar menghadapi iblis kelas rendah sepertimu. Selama ini aku memaklumimu yang tidak bisa membedakan antara aku dengan musuhmu itu. Tapi coba kau pikir baik-baik, jika aku adalah musuhmu maka tidak akan kubuat gadismu menyerahkan diri dengan suka rela padamu. Gunakan otakmu dengan baik tuan Tobias."

Jey terdiam.

Yang dikatakan Jimin terasa sangat masuk akal. Jey terlalu bodoh karena larut dalam rasa cemburunya yang tidak beralasan. Dia akan bisa mengenali siapa sosok yang sedang mencekiknya saat ini sebenarnya, jika saja Jey dapat berpikir sedikit rasional. Jey menatap penuh telisik pada Jimin, tidak ada lagi sorot kemarahan dimata Jey. Pria ini menyadari siapa sebenarnya sosok dihadapanya saat ini.

Menyadari perubahan emosi Jey, Jimin melepaskan cengkeraman tanganya dari leher Jey. Beberapa luka gores yang ada dikening dan lengan Jey secara perlahan mulai sembuh seperti sedia kala. Reaksi ini wajar dan selalu terjadi pada Jey, seberapa dalam luka menganga dikulit Jey, lukanya akan sembuh dan kembali mulus tanpa adanya tindakan medis apapun.

Jimin mundur beberapa langkah sebelum kembali berucap,

"Akhirnya otakmu bekerja dengan benar. Carilah gadismu ditempat lain. Kekacauan yang kau buat malam ini akan memakan banyak waktu untuk ku bereskan."

Rafael keluar dari dalam caffee dengan gagah dan tanpa ada goresan sedikitpun diatas kulit mulusnya. Ia menghampiri sang adik yang tampak masih mengamati sosok Jimin. Jey tidak melepaskan tatapanya pada Jimin bahkan hingga lelaki ini kembali kedalam caffee.

"Jangan mengeluh aku tidak memperingatkanmu sebelumnya." Rafael sengaja menyindir Jey yang masih nampak tercengang.

"Araqiel tidak mengatakan apapun?" Tanya Rafael kemudian, Jey menggeleng lemah.

"Dia tau tapi tidak akan memberikan informasi apapun. Itu artinya nyawa Gia masih belum diujung tanduk." Jelas Rafael sembari memperhatikan sosok Jimin yang mulai memasuki caffee. Jey menatap tajam seakan siap menerkam kakaknya tersebut.

"Dia menunggu Gia sekarat baru turun tangan?! Lalu apa gunanya dia muncul?!" Jey meraung.

Jimin yang entah sibuk apa didalam caffee kini menatap penuh ancaman kearah Jey dan Rafael. Seakan lelaki ini tahu bahwa dirinya sedang menjadi topik obrolan dua kakak beradik tersebut.

"Aku tidak mau ikut campur." Rafael mengangkat kedua tanganya kemudian melangkah menjauh untuk membuka pintu caffee, Jey mengikuti dari belakang memasuki pintu yang telah dibuka Rafael.

Sampailah mereka disebuah apartmen bergaya modern. Disana sudah berdiri Araqiel, ruang tengah apartmen tersebut berantakan, Rafael dan Jey dapat memperkirakan bahwa Araqiel lah yang sudah mengobrak-abrik ruangan ini. Diantara ketiganya hanya Jey yang tidak mengetahui pemilik apartmen tersebut, tapi aromanya sangat familiar bagi Jey.

"Tobi sudah seperti orang bodoh, dia masih tidak tau apapun." Protes Araqiel kelewat jujur.

Jey tidak memperdulikan ucapan Araqiel dan sibuk mengamati setiap sudut ruangan. Kemudian ia mengangkat salah satu cangkir kopi yang tertata rapi dari dalam lemari pajangan.

"Aku tidak ingin berprasangka buruk mengingat aku belum pernah bertemu langsung dengan pemilik rumah." Ucap Jey meyakinkan diri sendiri.

"Tapi prasangkamu itu benar, kakak ipar kabur bersama pria ini. Aku sudah bertemu denganya, dan memang pria ini yang harusnya kau waspadai bukanya Jimin." Jelas Araqiel.

Tidak lama kemudian Rafael menerima telepon. Raut wajahnya menegang beberapa saat lalu ia menatap Jey penuh arti. Setelah mengucapkan terimakasih kepada sang penelpon, Rafael mengantongi ponselnya kembali, kemudian memasang wajah seriusnya,

"Gunakan kekuasaanmu untuk mencari keberadaan Nick, dia sudah keluar dari negara ini."

Sementara itu di caffee milik Nick, Jimin sedang menutup caffee dan bersiap untuk pulang. Jimin menghentikan pergerakan tanganya yang sedang menutup gerbang caffee. Ia mendongak keatas, langit malam yang seharusnya gelap justru nampak dihiasi oleh sesuatu yang sangat ia kenal. Seekor burung phoenix besar diselimuti api sedang terbang semakin naik keatas langit. Jimin memincingkan matanya dan saat itu juga tatapanya beradu dengan sang phoenix yang tengah memperhatikanya dari kejauhan.

"Kau lihat itu Tobias, *Abraxas muncul, itu berarti kutukanmu akan segera berakhir." Gumamnya sembari terus mengamati sosok phoenix tersebut diatas langit.

.
.
.

♥ —————— To Be Continue ————— ♥

.
.
.

Note :
* Abraxas sebenarnya adalah makhluk kosmik perwujudan dari kehancuran.
Tapi disini author menggambarkan Abraxas sebagai entitas yang sedikit berbeda ya😊

.
.




The Devil Obsession [ COMPLETE ✔️ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang