menampik rasa

14 4 2
                                    

Kutatap jendela ruangan itu. Jakarta rupanya sedang mendung.

"Tata hatimu," ujarnya yang kutahu setengah hati itu.

Aku berusaha tersenyum, menatapnya balik, "sedang mencoba."

Ia berbalik, bersandar di siku-siku cermin tinggi itu, "mencoba, hm? Sampai kapan?"

Tertegun, aku menundukkan kepala. Menggeleng.

Wajahnya tersenyum miris, "kau bahkan tidak tahu. Mengapa mencoba?"

"Mungkin..," aku berhenti sejenak, "mungkin untuk menjaga hatinya."
Sebenarnya aku sendiri pun ragu.

"Menjaga hati dia yang bahkan sudah mengambil hatimu? Begitu?"

Tangannya seakan mengusap pelan pipiku, "sadarlah. Kita sama saja. Aku, kau, adalah orang yang sama. Jujurlah pada dirimu sendiri, Ra."

Aku mengangkat kepalaku, menatap dia yang ada di depanku.

Menatap diriku yang kini tampak berbeda setelah ditinggalkan.
Menatap diriku yang..
    kacau.

"Mungkin benar. Mungkin aku bukan menjaga hatinya. Aku hanya merawat perasaan ini agar tidak hilang." Mataku memburam, terhalau sesuatu. Aku memejamkan mataku.

"Katakan aku munafik, tapi memang betul, aku bodoh masih mencintainya sampai saat ini."

Kutatap lagi jendela di sampingku.
Rupanya langit Jakarta pun merasakan hal yang sama.

30/11/2019

[2] Asa dalam Rasa | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang