Chapter 16 - Chance

2.5K 209 2
                                    

"Na, dari tadi kok si Kris ngintilin kita mulu?" Hanna berbisik pelan padaku ketika kami sedang mengantri di stan cilok kantin kampus.

Aku menoleh ke belakang. Benar saja. Kudapati Kris sedang berdiri tepat di belakangku sambil membaca list menu yang ada di stan ini. Ada segerombolan mahasiswi ikut antri di belakangnya. Stan cilok ini tiba - tiba jadi ramai peminat.

Sejak awal datang ke kantin, Kris memang tampak mengikutiku dan Hanna. Kami memesan ayam geprek, Kris ikut memesan. Meskipun lelaki itu masih cemen memilih level satu alias level paling rendah untuk tingkat kepedasan sambal. Ketika kami beralih ke stan minuman, ia pun ikut membeli. Hingga kami ke stan cilok ini, dia juga masih ikut.

"Dia mau pesen juga kali," Jawabku kembali fokus pada antrian di depan.

"Masa sih? Emang dia mau makan cilok?" Hanna mengerutkan kening.

"Ya mungkin dia pengen nyobain. Di US kali gak ada yang jual cilok," Aku menjawab asal.

"Coba lo tanyain deh. Biar belinya sekalian," Hanna mendorongku ke arah Kris.

"Lo mau cilok juga gak?" Kris masih mematung memperhatikan tulisan di display menu ketika aku berbalik untuk bertanya padanya.

"Apa?!" Saat ini suasana kantin memang sedang ramai karena sudah masuk jam makan siang. Akibatnya suaraku jadi tenggelam. Kris sedikit mencondongkan tubuhnya ke arahku dan menundukkan kepalanya supaya jarak kami jadi dekat.

"Mau beli cilok juga gak?" Ku ulangi pertanyaan tadi tepat di telinga Kris.

"Cilok itu apa?" Kris balik bertanya tepat di telingaku juga.

Ya salam. Cilok aja dia gak tahu. Aku bingung bagaimana mesti menjelaskan. "Cilok itu makanan. Rasanya enak deh. Mau coba gak?"

"Boleh deh. Berapa harganya?" Kris mengeluarkan dompetnya dan mengambil selembar uang seratus ribuan dari sana.

"Pake uang gue dulu aja. Harganya cuma goceng kok. Gue beliin cilok kuah kacang aja ya," Kris mengangguk menerima tawaranku. Aku berbalik ke Hanna yang sudah hampir gilirannya untuk memesan. "Han, beli tiga jadinya yang kuah kacang gocengan," Aku memberi uang sepuluh ribu pada Hanna.

Hanna mengangguk. "Oke siap! Sana lo temenin si tuan muda aja. Ajak balik duluan ke meja. Nanti gue nyusul sama ciloknya. Kasian dia cengok sendirian gitu. Gak cocok sama image," Hanna mendorongku lagi ke arah Kris.

Aku pun menurut. Kucolek lengan Kris untuk menarik perhatiannya yang masih membaca papan menu. "Ada lagi gak yang mau lo beli?"

Kris tampak berpikir sejenak. "Kamu gimana?" Ia malah balik bertanya.

"Udah selesai. Kalau nggak ada yang mau dibeli lagi, kita balik duluan ke meja yuk. Nanti si Hanna nyusul bawa cilok kita," Aku mengajak Kris menjauh dari stan cilok yang ramai dari biasanya itu. Decakan kecewa terdengar ketika Kris pergi mengikutiku.

Dalam perjalanan kembali ke meja, Kris mengajakku ngobrol. "Wendy bilang pengen hang out bareng kamu. Kakak – kakaknya gak asyik. Gak ada yang bisa nemenin shopping atau diajak nyalon,"

Wendy akhir – akhir ini memang sering mengirimiku pesan di WhatsApp. Kami bertukar nomor sejak kejadian cupcake itu. Bahkan kami sudah saling follow akun Instagram. Ia sering mengomentari Insta story atau postinganku.

GEORGINAWhere stories live. Discover now