Chapter 21 - Signal

2.5K 204 1
                                    

Hari ini adalah hari kedua kami di Pulau Tidung. Bertepatan dengan tanggal 31 Desember yang berarti hari terakhir di tahun ini. Seharian kemarin kami puas menghabiskan waktu di laut. Mulai dari snorkeling, main jet ski, naik banana boat atau cuma sekedar berenang. Hari ini kami ingin menghabiskan waktu di sekitar resort saja. Melakukan kegiatan yang lebih santai dan mencoba fasilitas lain. Selain itu juga untuk menyimpan energi buat begadang malam nanti. Resort menyelenggarakan acara barbecue party untuk menyambut tahun baru.

Aku baru saja kembali dari joging pagi ketika menemukan Wendy sedang duduk di depan meja rias. Ia tampak baru selesai mandi dilihat dari rambutnya yang masih masah. Dari pantulan cermin, kulihat ekpresi Wendy yang sedang cemberut. Kerepotan menggunakan hairdryer.

"Mau dibantu?" Tawarku pada Wendy.

Wendy menoleh. "Mau banget, Mbak! Rambutku kalau pagi selalu liar gini. Susah banget dirapihin. Bad hair morning day," Celoteh Wendy.

Aku terkekeh pelan dan mengambil alih hairdryer dari Wendy. "Kamu jangan sering – sering warnain rambut lagi deh. Apalagi kalo di-bleaching. Bikin rambut kamu rusak," Aku berkata sambil menyisiri rambut Wendy terlebih dahulu sebelum mengeringkannya.

"Iya nih, Mbak. Aku suka banget ngewarnain. Apalagi kalau blonde. Keliatan lebih kece," Wendy meletakkan jari telunjuk dan jempolnya di bawah dagu dengan centil.

"Warna apa aja kamu selalu oke kok, Wen," Pujiku dengan tulus. Gen The Martin sudah kualitas super. Apalagi yang harus di-insecure-in. "Rambutnya mau dikeringin aja apa di-blow sekalian?" Tanyaku memberi pilihan untuk Wendy.

"Mau di-blow juga, Mbak!" Sahut Wendy antusias.

"Siap." Aku mulai nge-blow rambut Wendy.

Ngomong – ngomong sejak kami sekamar selama liburan ini, panggilan Wendy padaku berubah. Awalnya kami ber-gue-elo. Nah sekarang berganti jadi aku-kamu atau Wendy menyebutku dengan panggilan 'Mbak'. Sempat kutanya alasan perubahan ini, Wendy hanya menjawab supaya terbiasa. Well, jadilah aku juga ikut mengganti sebutan sama dengan Wendy.

Selama beberapa waktu, hanya suara hairdryer yang terdengar. Tak ada suara lain. Aku fokus nge-blow. Wendy pun hanya duduk diam. Hingga akhirnya aku mendongak dan menangkap basah Wendy sedang menatapku dengan sendu melalui cermin.

"Kok ngeliatinnya gitu banget? Kenapa?" Aku memandang balik Wendy melalui cermin juga.

Wendy tersenyum kecil. "Mbak ngingetin aku sama seseorang. Dari kecil, aku suka banget kalau orang mainin rambutku. Terus aku juga jadi inget Mommy. Biasanya tiap hari Mommy yang bantuin rapiin rambut aku, Mbak,"

Aku balas tersenyum pada Wendy. "Hari ini Mbak yang gantiin styling rambut kamu ya,"

Wendy mengangguk. "Tapi Mbak lebih pro dari Mommy,"

Aku terkekeh pelan. "Gak pro banget kok. Ini gara – gara sering styling rambut sendiri, Bunda dan Mbak Vina," Kami masih berpandangan melalui cermin.

Wendy menghela nafas. "Pasti enak banget jadi saudaranya Mbak Nana. Jadi adik perempuannya Bang Kris dan Mark kadang nyebelin. Mereka over-protective dan suka banget jahilin aku," Wendy mengerucutkan bibirnya.

"Mereka gitu karena care dan sayang sama kamu, sweety," Aku terkekeh lagi mendengar curhatan Wendy tentang kakak – kakaknya. "Mbak juga kadang sering cerewet sama Gio,"

"Aku mau deh jadi adiknya Mbak Nana. Pasti seru! Kita bisa shopping, nyalon atau curhat bareng. Kalo kita gak bisa jadi saudara kandung, kita bisa kok jadi saudara ipar," Wendy menatap dengan senyum miring melalui cermin.

GEORGINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang