Chapter 3

72 5 0
                                    

Suasana kantin Flover tidak jauh beda dari sekolah lain. Suara nyanyian sumbang, gosip tentang artis yang tengah naik daun sampai cara ngerjain guru supaya tidak jadi mengajar. Salah satu meja bundar itu dihuni oleh cowok jenius yang selalu dielu-elukan guru, Romeo. Bukan rahasia lagi kalau dia sering mewakili sekolah dalam acara lomba atau acara debat. Tetap aktif meski sudah memasuki awal semeter lima.

"Kita harus rayain ini!" ujar Romeo dengan semangat membara. Dia dapat komisi karena sekali lagi, memenangkan lomba fotografi mewakili sekolah. Kegiatan terakhirnya sebelum sibuk dengan tryout, simulasi dan kawan-kawannya.

Angga melirik malas-malasan. "Ogah! Mending gue main basket," jawabnya hendak bangkit. Untung saja Romeo sigap menahan.

"Kakak lo menang lho, Dek. Masa lo nggak senang, gitu?" tanya Romeo berlebihan. Ekspresi terluka itu tidak membuatnya kehilangan pamor.

Angga menghempaskan punggung ke kursi. Kakak sialannya ini menyeret dia ke kantin. Bukan hal baru lagi jika Angga menolak. Apalagi suasana di meja ini tidak karuan rasanya.

"Gue pasti dibeliin tab baru dong," pekik Kirana dengan mata berkilat-kilat. Tatapannya memuja, tanpa ditahan-tahan. Hal itu membuat Angga muak berada di antara mereka.

Perasaan marah itu kembali menyeruak. "Selamat, deh. Gue pergi," sinisnya berniat pergi setelah itu.

"Tunggu dulu," tahan Kirana memegang lengan Angga yang segera saja ditepis kasar. Gadis itu mendesah panjang. "Jarang banget kita kumpul kayak gini."

Jarang sekali. Angga pasti alasan latihan basket, latihan gitar dan latihan-latihan lain apa pun itu. Bersama mereka, Angga merasa — Ah, menjelaskan lagi sudah membuatnya muak.

Angga duduk kembali. Sampai gebrakan meja membuatnya melotot. Pelakunya adalah cewek berambut cokelat yang kemarin tercepol. Mata bulan sabitnya terlihat lucu saat melotot. Bibirnya mengerucut. Ia tersenyum tipis. "Eh, pacar. Udah kangen aja," ujar Angga dengan senyum mautnya.

Romeo sampai geleng-geleng kepala. "Wah. Lo bisa bikin jinak ini singa?" tanyanya pada Cila.

Cila menghiraukan Romeo. Fokusnya pada cowok bermata hazel yang tengah menatapnya jahil. "Ikut gue. Sekarang!"

Angga langsung berdiri tanpa penolakan. "Gue mau pacaran," ujarnya lantang. Tatapannya terhenti pada Kirana yang syok setengah mati.

Tanpa diduga, Angga menarik tangan Cila. Melewati mata-mata yang kelaparan melihat adegan itu. Bunyi cekrek-cekrek terdengar silih berganti. Pekikan tertahan, suara tepuk tangan dan umpatan menusuk telinga Cila.

Cila melepas genggaman Angga setelah sampai di taman. "Oke. Jelasin maksud lo menghancurkan hidup gue," tegas Cila melipat tangan.

"Nama lo Cila?" tanya Angga seolah baru mengingatnya.

Tak habis pikir. Siapa yang tadi malem kirim pesan, coba? "Whatever, deh. Gue harap lo bisa bersihin nama gue."

Angga berjalan menuju bangku, duduk dengan santai. Banyak pasang mata menatap mereka terang-terangan. "Nggak bisa."

"Itu hak gue. Terserah lo setuju apa enggak," ancam Cila lagi.

Angga tersenyum miring. "Silakan, aja. Lo pikir ada yang percaya sama lo?"

"Oke. Tunggu aja!"

Angga menatap punggung mungil itu. Rambutnya disapu angin seiring dengan langkahnya. Cowok itu mendesah panjang.

***

"Angga terjelek sedunia. Omongan sama tampang dusta dua-duanya," gerutuan Cila terdengar nyaring. Teman-temannya langsung memberikan tatapan sinis. Bukan hanya siang ini, bahkan sejak tadi pagi banyak orang yang menatapnya terang-terangan.

MY BAD DAY ✔Where stories live. Discover now