chapter 17

29 3 0
                                    

Cila terkejut melihat siapa yang berada di depan kelas. Mungkin terdengar pede sekali. Tetapi, Rio tidak pernah ke kelasnya untuk urusan lain. Apalagi ada novel yang pernah Cila bicarakan sebelum mereka putus komunikasi.

Cila hendak berbalik. Matanya melebar karena hampir menabrak Fena yang berjalan di belakang, kakinya langsung mundur dua langkah.

"Mau ke mana lagi?" tanya Fena seraya membenahi letak kacamata. Matanya menyipit karena Cila gelagapan, ciri khas kalau lagi gugup. Fena hapal sekali.

"Sopir gue ketinggalan," jawab Cila asal.

Fena tersenyum melihat kebohongan di mata Cila. "Lo, naik bus tadi," ujarnya seraya menundingkan telunjuk pada Cila.

Karena ketahuan bohong, Cila cuma cengengesan. Memang susah kalau berbohong pada Fena, sahabatnya itu tahu segala. "Gue ke kantin dulu, ya," ujarnya berpamitan. "Jangan lupa bersihin meja gue. Tolong," tambahnya dengan janji membelikan batagor untuk istirahat nanti.

Cila buru-buru berbalik. Langkahnya lebar-lebar. Meski berjalan ke kantin harus melewati kelasnya sendiri. Cila tidak berniat meletakkan tas lebih dulu. Entah kenapa, dia merasa ingin menghindar. Matanya tidak lagi berfokus pada cowok itu. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa, Cila merasa berbeda. Setitik rasa suka mungkin masih ada. Tetapi tidak ada keraguan untuk abai pada Rio.

***

Rio bersandar di dinding kelas Cila. Berbincang dengan salah satu adik kelas yang satu ekstrakulikuler sembari menunggu Cila datang.

"Masa? Siapa pengecut yang ngelakuin itu?" tanya Rio dengan alis terangkat.

Tanpa sadar ia melirik meja Cila yang dipenuhi sampah makanan. Teman-teman sekelas cila tampak tak acuh, entah karena sudah biasa atau memang sikap ketidakpedulian mereka. Rio  mengernyitkan dahi melihat itu.

Fihan, salah satu anggota tim basket kelas sebelas lantas membeberkan kemungkinan yang terjadi. "Tau. Masalah cewek. Dia, kan, deket sama lo, Kak," jawabnya dengan tangan memainkan bola basket.

Rio mengikuti gerakan tangan Fihan. Sampai bola di tangannya itu kehilangan keseimbangan. Rio berdehem ketika Fihan menatapnya dengan pandangan bertanya.

"Gue nggak tahu. Makanya tanya sama lo," ucap Rio seraya memalingkan wajah.

Rio tidak ingin memikirkan kata-katanya barusan. Sempat dekat bukan berarti tahu segalanya. Dinding yang Cila bangun terlalu kokoh untuk dia lewati. Semakin menguat setiap harinya. Apalagi sejak mereka putus komunikasi. Seperti kehilangan peluang, Rio begitu merasakannya.

"Yah. Dia lagi deket sama Angga." Suara tawa Fihan tidak lagi memenuhi pendengaran Rio. Cowok itu tanpa sengaja melihat Cila dari kejauhan.

Cewek itu tidak mencepol rambutnya seperti biasa. Kali ini digerai dan terlihat basah. Baru kali ini dia melihat Cila berpenampilan seperti ini. Bibirnya kelu untuk menyapa. Padahal, dia begitu lihai melakukannya dulu. Rio menunggunya datang ke kelas.

Setelah melihat Cila berbincang sedikit dengan sahabatnya, punggung Rio menegak. Matanya bergerak-gerak, gelisah. Beberapa detik terlewati. Gadis itu tidak juga melewati.

Barulah ketika Rio menaikkan pandangannya yang sempat menunduk, punggung Cila berada jauh di depan. Gadis itu sudah melewatinya. Rio kehilangan kesempatan pagi ini untuk menjelaskan semuanya.

***

Cila mengembuskan napas setelah sampai di kantin. Kebetulan sekali perutnya lapar karena mogok makan di rumah. Cila tidak ingin bertemu dengan Diana karena kejadian kemarin,  memikirkan ucapan sepupunya itu yang memang benar. Berakhir dengan mata yang bengkak.

Cila duduk di salah satu kursi. Setelah memesan batagor satu porsi dan teh hangat, dia mengeluarkan gawai dari saku.

Terlihat balasan dari mamanya.

Selesaikan sampai lulus. Oke?
See you.

"Gue beneran dibuang," gunanya kesal ketika membaca sederet kalimat itu. Dia memohon kepada Mama untuk membawanya ke Florence bersama mereka. Ada penyesalan dalam dirinya karena dulu menolak tawaran untuk ikut. Cila terlalu malas belajar bahasa asing. Tentu saja harus beradaptasi lagi dengan orang lain.

Tangannya mengetik balasan dengan cepat.

"Nilai semester gue harus delapan lima," ujarnya mengira-ngira. Kepalanya terangkat untuk melihat mentari pagi. Lantas, kembali mengetik balasan untuk bernegosiasi dengan mama.

"Loh, pacar kok di sini?" Pertanyaan itu dibarengi dengan suara benda yang berbenturan dengan meja. Kemudian, seseorang duduk di depan dengan wajah tidak berdosa. Semangkok mie instan dan es teh yang hampir habis berada di depannya.

Cila mendengkus. "Lo, nggak ada kerjaan selain gangguin gue?" tanya Cila keki. Tetapi senyumnya terbit juga ketika Angga menyodorkan sandwich padanya. Kotak bekal yang kesekian kali diterima Cila.

"Jangan makan yang aneh-aneh," ujar Angga dengan nada datar, tetapi terdengar lebih manis dari gula bagi Cila. Cowok itu sibuk dengan mie instannya. Dalam dua kali suapan, Angga mendorong mangkoknya. Tanda kalau sudah selesai.

"Emang mie seenak itu?" tanya Cila menyindir. Ingat sekali kalau Angga selalu makan itu di mana pun.

"Ternyata lo perhatian, ya?" tanya Angga menyerang balik.

Cila melotot. "Siapa? Ulang coba!" Wajahnya terlihat ingin mengajak bertempur. Hal paling menjengkelkan bagi Cila adalah ekspresi Angga yang tidak seserius ucapannya. Sampai makanannya datang, barulah Cila menyempatkan tersenyum pada ibu kantin.

Angga menompang dagunya dengan alis naik turun. Melihat Cila makan lahap membuatnya tanpa sadar tersenyum. Secara tiba-tiba dia menepuk kepala Cila. "Ya, udah, deh. Gue kasih kesempatan." Wajah Angga berubah serius.

Cila mengangkat kepalanya tidak mengerti.

"Oke," jawaban itu langsung mendapat tolehan dari Cila. Dia terkejut melihat Rio berada di belakang. Masih membawa tas di ranselnya dan novel di tangan, itu berarti dia tidak ke kelas seperti harapan Cila.

"Gue awasin. Jangan nakal, ya," pamit Angga mengacak rambut Cila hingga berantakan.

Angga melambatkan langkah ketika melewati Rio. Di memiringkan kepala ketika berada di sebelah Rio. "Ini untuk yang terakhir kali lo bicara sama pacar gue."

Fakta itu terpampang lebih nyata. Melihat perlakuan mereka seolah menjelaskan segala. Rumor yang beredar tentang mereka yang balikan ternyata benar.

Rio meletakkan novel yang dibawanya. Mendorongnya sedikit agar berada di depan Cila. Tidak berniat duduk lebih dulu atau sekadar basa-basi. "Ini. Novel yang gue janjiin," ujarnya setelah beberapa saat merangkai kata.

Cila menggigit bibir. Tidak tahu harus berkata apa. Diliriknya Angga yang duduk tak jauh dari mereka. Sekitar empat bangku dari samping kiri. Cowok itu sibuk dengan gawai miliknya, juga Wajah yang terlihat santai sekali.

Cila bergumam samar. "Makasih, Kak. Tapi gue udah punya, kok," ujarnya menolak secara halus.

Rio mendesah berulang. "Gue baru beliin kemarin buat lo," jelasnya canggung.

Cila merasa tidak enak hati ingin menolaknya. Tetapi, jika dia menerima barang ini, Angga bakalan marah. Persoalannya bakalan panjang sekali. Entah kenapa Cila takut kalau cowok itu bakalan marah padanya.

Tiba-tiba Angga datang. Dia tidak tahan melihat mereka membuang waktunya pagi-pagi. "Bilang aja nanti pacar lo marah. Gitu aja repot," ujarnya dengan mata melotot kepada Cila.

___________________

MY BAD DAY ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang