Chapter 19

27 3 0
                                    

Efek jadian dengan Angga dirasakan Cila hingga seminggu. Mungkin bisa lebih lagi, karena anak-anak begitu antusias membicarakannya. Seolah-olah itu baru terjadi hari ini. Tidak ada yang senang dengan berita itu. Kebencian mereka mungkin hanya berupa omongan di belakang aja. Atau yang lebih parah ditunjukkan lewat tindakan nyata. Seperti meletakkan dead note di meja Cila atau ulat pohon di lokernya.

Bohong sekali kalau Cila tahan dengan semua itu. Dia mencoba melupakannya dengan semangkuk es krim rasa Vanilla. Melahapnya dengan suapan besar-besar.

"Kayaknya, beberapa hari ini nggak ada yang ganggu," ujaran itu berasal dari Angga. Dia  masih memakai seragam olahraga dan memaikan bola orange di tangannya. Bajunya basah oleh keringat.

Cila menatapnya dengan judes. "Mungkin mereka bosen kali," jawabnya asal.

Angga mengernyitkan dahi. Padahal, dia hanya berbasa-basi saja. Tidak mungkin serangan mereka berhenti. Cowok yang menompang dagunya di tangan itu tahu segalanya. "Lo pikir gitu?" tanyanya seraya menompangkan dagu di lipatan tangan.

Cila mengangguk sebagai balasan. Mulutnya penuh dengan es krim. "Memangnya apa lagi. Lagian gue juga nggak dapet kiriman aneh-aneh."

Kedua alis Angga tertaut. Meski masih terkejut dengan kepribadian Cila yang tidak pedulian itu. "Lo nggak percaya sama gue, ya?" tanyanya dengan suara datar. Jelas sekali kalau dia kecewa.

Cila meliriknya judes. Tidak menganggapinya secara berlebihan. "Lebay mode on. Ganggu aja mau makan es krim," hadriknya seperti biasa.

"Gue serius." Angga menatap Cila datar. Mencoba menyelami mata Cila yang setenang jelaga.

"Oh," balas Cila lagi, cuek.

Angga membuang bola basket ke sembarang arah. Sukses mengenai meja di samping kanan. Suara itu membuat semua orang terang-terangan menatap mereka.

Cila mendongak. Tatapan mereka bertemu. "Lo kenapa, sih?" tanyanya tidak mengerti. Tidak biasanya Angga marah jika dia cuekin. Sikapnya, kan memang seperti ini.

"Seharusnya itu pertanyaan buat, lo," Ujar Angga dingin. Wajah tanpa ekspresi itu sukses menjadi objek menarik untuk difoto. Beberapa anak mengambil gawai mereka secara diam-diam. Mengabadikan moment langka itu.

Cila menggigit bibir. Orang-orang menatapnya penuh tuduhan. Padahal, dia tidak salah apa-apa. "Jangan kekanakan, deh,"  ucapnya masih sabar.

"Baru sadar kalau lo kekanakan?" Angga mengangkhiri pertanyaannya dengan senyuman mengejek. Dia berdiri dengan tangan berdekap.

"Stop, deh. Lo—"

"Ya, deh. Gue yang selalu salah."

Lagi. Cila tidak mengerti apa yang Angga bicarakan. Tidak biasanya cowok itu mengeluh tentang sikap Cila. Masih diingatnya bahawa Angga pernah bilang sesuatu setelah hari jadian mereka.

"Jangan pernah berubah."

Meski hanya tiga kata, tetapi itulah yang membuat Cila menerima. Jarang sekali ada yang memuji sikapnya sepeti itu. Tapi, lihatlah sekarang bagaimana cowok itu mengingkari kata-katanya sendiri.

"Mungkin bener kata orang-orang kalau gue harusnya nggak jadian sama lo, ya?" tanya Angga dengan senyuman miring. Terdengar seperti ejekan di telinga Cila.

Semua orang tampaknya antusias dengan ucapan Angga. Cowok itu mengedarkan pandang. Tatapannya bertemu dengan Kirana yang hendak berjalan ke mari.

"Gue nggak pernah minta lo nembak gue!" jelas Cila lantang. Mengejutkan semua orang. Seolah mengonfirmasi kalau memang Angga yang menembaknya. Semua orang menduga kalau Cila yang kepedean dekat dengan cowok itu.

MY BAD DAY ✔Where stories live. Discover now