Chapter 10

41 6 0
                                    

Untuk kesekian kali, Cila mendesah panjang. Mejanya sudah dipenuhi bungkus makanan berbagai merek. Di bawah mejanya ada debu yang bertumpuk. Menilik bawah meja lain, sepertinya ada yang menjadikan bangkunya sebagai tempat sampah.

Kebetulan sekali dia berangkat pagi. Dengan menahan kesal, dia membereskan sampah berbau di meja. "Diana masih di rumah. Nggak mungkin dia," gumamnya di sela-sela umpatan.

Seruan seseorang mengagetkan Cila. Gadis itu mendelik mendapati Fena yang baru datang dengan raut wajah heran.

"Tumben telat," sapa Cila tanpa semangat.

Fena buru-buru membantu memunguti sampah-sampah itu. Wajahnya menunjukkan ekspresi tidak percaya. "Tumben lo yang kepagian," balasnya cepat.

"Si Leona pasti kurang kerjaan." Cila menggebrak meja. Alhasil, sampah-sampah itu berjatuhan ke lantai.

Fena membeku. Takjub karena Cila mengatakan dengan nada santai. Seolah tidak ada yang perlu dipermasalahkan. "Biar gue aja. Bukannya lo ada janji sama Bu Lidya," tambah Fena merasa simpati.

Cila berangkat pagi karena disuruh Bu Lidya membantu di perpus. Tentu saja Angga juga. Pasti karena lomba yang akan datang. Tetapi, melihat meja penuh sampah seperti ini, Cila jadi kepikiran juga.

Suara sepatu membuatnya menajamkan telinga. Berinisiatif bersembunyi dengan Fena yang sudah lari ke pojok kelas. Siapa tahu Leona, tersangka utama sedang menuju ke sini.

Seseorang melongok ke dalam. Rambut cepak berwarna hitam, tentu bukan milik Leona. Tanpa aba-aba, Cila menggeplak kepala cowok itu.

Angga yang mendapat serangan mendadak cuma bisa pasrah. Berjalan mundur dengan tangan di angkat. "Tenang! Tenang! Penganiayaan bisa kena pasal."

Cila menunjukkan kepalan tangan ke arah Angga. "Lo, pasti yang ngerjain gue, kan?" tuduhnya menyadari kemungkinan lain. Walaupun sepertinya tuduhan itu tidak berdasar sama sekali.

Angga mengernyitkan dahi. Wajah kemerahan Cila membuatnya tahu pasti ada sesuatu yang tidak beres. Dia berjalan masuk ke kelas lagi karena sempat melihat kekacauan. Benar saja, kemungkinan meja penuh sampah itu milik gadis mungil itu.

"Lihat kelakuan fans lo!" ujar Cila tanpa menahan emosi. Sadar atau tidak semua ini memang salah Angga.

Bibir Angga merapat. Perlakuan ini memang melewati batas wajar. Pengecut sekali yang melakukannya. Cowok itu menangkap tulisan di meja Cila. Mungkin gadis itu belum tahu karena tersembunyi di antara banyaknya sampah. Tanpa bertanya, Angga mengambil kertas itu menyembunyikannya di dalam saku baju.

"Lo, sih, enak dibela mati-matian. Lah gue?" tanya Cila keki. Melipat kedua tangan di depan dada.

Angga mengangguk. Membuat Cila bingung setengah mati.

"Jangan kayak pejabat lo cuma ngangguk-ngangguk aja!" Cila mendaratkan pukulannya ke punggung Angga. Sayangnya, bisa ditepis dengan mudah.

"Gue pergi. Ada urusan," ucap Angga setelah berhasil membuat jarak. Dia berbalik kembali setelah mengingat sesuatu. "Bilang sama Bu Lidya. Gue nggak bisa dateng."

Cila melongo di tempat. "Bukannya bantuin malah ngelonyor pergi!" teriaknya nyaring. Menunjuk Angga seolah paling bersalah.

"Sabar. Orang sabar disayang Allah," ucapnya mengembuskan napas berulang-ulang. Lantas, melanjutkan kegiatannya lagi membersihan meja. Jika tidak, dia tidak bisa belajar dengan nyaman nanti.

Fena keluar setelah Angga tidak terlihat lagi. "Lo, nggak papa?" tanyanya kawatir.

Cila menggeleng. "Kayaknya darah gue bisa naik lama-lama deket tuh cowok."

MY BAD DAY ✔Where stories live. Discover now