Chapter 9

59 6 0
                                    

Cila mengentakkan kaki. Kedua tangan menenteng plastik besar. Dia baru keluar dari minimarket. Jika bukan Bibi Vini yang menyuruh, gadis itu lebih baik menggambar saja di rumah. Terlebih lagi, Diana menunjukkan akting dengan pura-pura sakit. Dengan lapang dada, Cila merelakan waktu bersantainya.

"Menolong orang itu dapat pahala. Nanti pahalanya bisa buat ke surga," gumam Cila sembari membuang napas berulang-ulang. Langkahnya jadi ringan melihat banyak pedagang memenuhi ruas jalan Rajawali. Biasanya dia pergi ke minimarket siang hari.

"Bentar," gumam Cila ketika mengenal seseorang.

Cowok dengan jaket kulit hitam, celana jeans berwarna senada dan sepatu kets warna putih. Cila pikir dia orang lain jika saja lampu jalanan tidak menyorot.

Tanpa sengaja, mata mereka bertabrakan. Seperti tertangkap basah sedang menguntit, Cila membuang muka. Berjalan kembali meski seruan tidak tahu malu terdengar.

"Oi, Pacar!" teriakan itu tidak terlalu lantang. Cukup menarik perhatian sekeliling Angga sebelum penampilan perdananya. Seringnya berada di sini, semua pedagang mengenal Angga. Jika saja suasana rumah tidak runyam dan studio tidak ada Kirana, Angga mungkin berada di salah satunya.

Malam di akhir pekan, biasanya ada band yang manggung di sini. Terdiri dari anak jalanan dan anak-anak SMA seperti dirinya. Menghibur pengunjung dengan alat seadanya. Alat itu meliputi gitar akustik dan drum dari ember.

Cila menutup muka. Risih karena jadi pusat perhatian orang. Dia berniat melangkah, tetapi urung karena suara petikan gitar berhasil mencuri perhatian.

Dalam sekejap, kerumunan di samping pedagang nasi goreng bertambah padat. Deep voice milik Angga memanjakan orang-orang. Lagu milik Perfect milik Ed Sheeran terdengar magis.

Tahu-tahu Cila sudah berada di antara kerumunan. Menikmati malam Minggu ini dengan suara Angga. Dia melotot ketika Angga mengedipkan sebelah mata.

Suara tepuk tangan bergema. Cila tersadar, lalu buru-buru memisahkan diri dari sana. Bisa bahaya kalau Angga besar kepala melihat menikmati suara emasnya. "Suara kayak kodok kejepit gitu. Apa bagusnya," ujarnya mengusir euforia yang masih membekasi kepala.

"Maaf, ya. Pacar gue udah nunggu."

Entah kenapa Cila berhenti.

Angga ingin terbahak melihat Cila gelisah. Sengaja menyuarakan status mereka menggunakan mikrofon agar yang lain dengar. Selain itu, banyak gadis yang meminta nomornya. Risih sekali jika ada yang melihat. Apalagi Cila di sini.

Mendengkus, Angga berjalan menuju Cila. Mengalungkan lengannya ke leher gadis itu. "Pasti nyamperin gue ke sini," tebaknya asal.

Sukses besar membuat Cila melotot. "Lebih baik gue di kandang sapi daripada nyamperi lo," ujarnya menendang tungkai Angga. Si empu menjerit kesal.

"Sayang. Galak amat kayak anjing jalanan," ujarnya malah ketularan cara bicara Cila.

Gadis itu membenahi sweaternya. Berontak karena digiring ke salah satu tenda. "Gue nggak mau, ya. Nanti gosip kita tambah jelek."

Angga menatapnya geli. "Kita?" tanyanya kontradiksi.

Cila menepuk mulutnya. "Maksud gue, nama gue bisa tercemar. Kalau sampe penggemar gue pada kabur, awas aja."

Angga mengangguk seolah-olah mengerti. Mengamati Cila yang masih saja menjelaskan tentang harga diri dan pentingnya perasannya. sesekali kedua tangannya menggebrak meja atau menampar udara. Pipi chubby milik gadis itu ikut bergerak-gerak, lucu. Tanpa sadar, Angga mencubit kedua pipi.

"Iya, iya. Bawel amat lo jadi cewek," gerutu Angga. Matanya menatap sesaat. "Gue nggak suka, ya, lo bicarain Rio."

Jelas sekali Rio itu kalah hebat dari Angga. Heran sekali banyak yang mengidolakannya. Bukannya cemburu atau apa, tetapi Angga jengah kalau ada orang yang membicarakan selain dirinya.

MY BAD DAY ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang