Chapter 26

19 2 0
                                    

"Ini masker punya, Lo?" Pertanyaan itu membuat Fena menoleh cepat. Dilihatnya masker berwarna hitam berada di genggaman Cila. Dia hendak merebut benda itu tetapi kalah cepat dari tangan Cila. Beberapa orang yang lewat di lorong menatap mereka bingung. Selain karena posisi mereka yang terlihat hendak bertengkar, juga raut wajah mereka yang terkesan tidak ramah.

"Itu bukan punya gue," ucapnya. Berharap Cila melepaskan masker penutup wajah itu atau membuangnya sekalian.

Cila bergumam samar. Kemudian memasukkan masker itu ke dalam tasnya sendiri. "Mungkin punya gue kali, ya," ujarnya seraya menggendikkan bahu.

Fena tergagap melihat itu. Dia ingin mencegah Cila tetapi akan sangat mencurigakan jika itu terjadi. Fena tercenung di tempatnya, lagi pula cuma masker saja, bisa beli lagi. Gadis itu memenangkan pikirannya sendiri.

Lain halnya dengan Cila yang berjalan cepat. Dia telah berjanji dengan Diana untuk bertemu di loker. Hari kedua mereka mengintai Leona. Karena larinya yang terkesan buru-buru, dia sampai lebih cepat dari dugaan. Hal yang pertama kali dilihatnya adalah raut wajah bete milik Diana. Gadis itu bermuka masam hingga menimbulkan tanya dari orang-orang.

"Maaf, telat," ungkapnya dengan senyuman lebar.

Diana menoleh setelah menyadari keberadaan gadis itu. Dia menggeleng pelan sebagai jawaban. Terlihat sekali kalau ada beban yang menggelayuti hati. Menilik sikap Diana yang tiba-tiba diam, Cila yakin bukan dirinya yang menjadi alasan. Matanya mengikuti arah pandang Diana. Menemukan fakta apa yang menjadi alasan gadis itu terlihat murung.

"Lo kangen sama teman-teman lo, ya," tebak Cila tepat sasaran.

"Enggak. Sok tau," balas Diana cepat. Dia menggeleng keras. Matanya melotot seperti biasanya. Tetapi ada kesedihan yang terpancar di mata itu. Dia ingin bergabung kembali dengan teman-temannya di ekskul modelling. Beberapa kali dia absen karena jengah dikucilkan. Diana berpikir mereka akan merasa kehilangan. Nyatanya kehadiran Leona bisa membuat kehadirannya terlupakan.

"Air mata lo terlalu berharga buat orang yang nggak pernah nganggep lo temen." Cila berjalan duluan setelah mengatakan itu. Tidak tahu saja kalimat tersebut sukses membuat Diana tertohok. Antara miris dan ingin menertawakan kebodohannya sendiri.

Diana bergegas menyusul Cila. Tidak ingin terlarut pada perasaan mengharu biru.

"Ini, kan lokernya," gumam Cila menunjuk sebuah loker yang mereka intai kemarin.

Diana mengiyakan. Dia mengeluarkan kunci yang berhasil dicuri dari pemilik asli. Tanpa basa-basi mereka langsung membuka loker itu dengan wajah penasaran.

"Cepat cari. Gue yang jaga!" Perintah Diana. Melihat sikapnya yang kembali, berarti Diana tidak lagi dramatis seperti tadi.

Cila menjulurkan lidah sebagai balasan. Dibalas dengan mata melotot andalan ratu drama itu. Setelah mengedarkan pandang ke sekeliling untuk memastikan keamanan. Dia memutar kunci dan membuka loker dengan hati-hati. Suara decit pintu loker sempat membuatnya meringis.

Cila mendapati baju ganti, seragam ekskul hingga make-up yang kelebihan muatan. Dia bergegas mengacak-acak isi loker itu, berharap menemukan petunjuk.

"Susah banget, si," gumamnya kesal. Susunan barang-barang itu tidak beraturan. Menyulitkannya untuk mencari petunjuk.

Cila berhenti sesaat untuk mengambil napas. Bau loker itu seperti tidak dibersihkan sebulan saja. Berbau macam aroma bercampur menjadi satu. Tak putus asa. Cila kembali mencari sesuatu yang mungkin bisa menjadi petunjuk.

Nihil. Dia mendesah panjang. Sepertinya sia-sia. Ketika hendak menutup pintu loker, gerakannya terhenti. Sebuah benda menyembul di antara seragam sekolah.

"Masker," gumamnya aneh. Bukan apa-apa sebenarnya. Jika masker itu tidak sama persis dengan kepunyaan Fena mungkin Cila tidak securiga ini. Apalagi ada empat lembar yang muncul setelah dia menariknya. Gadis itu mengambilnya cepat. Setelah memastikan loker terkunci dengan benar, dia segera pergi dari sana.

***

Gawai Cila bergetar. Dia menahan lengan Diana yang tergesa ingin pulang. Meskipun mendapatkan protes dari sepupunya, Diana tetap berhenti untuk menunggu Cila. Pasti itu dari Angga, tidak salah lagi. Kali ini dia sudah bosan mendengar nama cowok itu. Mungkin karena terlalu sering mengucapkannya atau karena sudah pasrah dengan keadaan.

"Cepetan," ketus Diana dengan tangan melipat di depan dada. Matanya memutar karena harus menunggu lagi.

Cila mengabaikan. Dia fokus pada pesan beruntun yang dikirim Angga. Baris demi baris kalimat itu membuat jantungnya meloncat.

"Udah ketemu barang yang sama," gumamnya membaca ulang pesan itu. Cila berpikir keras. Apa yang dimaksud itu masker yang dia bawa? Itu berarti Angga sudah menduga lebih dulu.

"Kayaknya lo bener, deh, Na."

Diana yang merasa dipanggil langsung menoleh. Dia bingung melihat Cila terlihat pasi. "Soal?" tanyanya balik.

Pandangannya sepenuhnya mengarah ke Cila. Dia mendesak gadis itu karena tak kunjung mendapat jawab. Tiba-tiba matanya melotot setelah mengingat sesuatu. Dia pernah bilang mungkin saja Leona yang berada di balik semua ini.

"Ayo kita labrak!" ajak Diana dengan amarah menggebu-gebu. Wajahnya merah padam. Seakan lupa kalau sempat merasa sedih tidak bisa berkumpul dengan geng modelling.

Cila menahan tangannya. "Kalau mau babak belur jangan ajak gue," ungkapnya kesal. Lagi pula ini hanya dugaan saja, belum tentu benar. Jika benar pun Cila tidak akan bertindak gegabah.

"Kebanyakan mikir," ejek Diana dengan wajah menjengkelkan.

"Cari bukti lain, Kek. Main labrak aja. Kalau dia nggak salah kasihan tau," jelas Cila berpikir panjang.

Diana sempat tertegun. Rasanya tertampar mendengar itu. Dia sering melabrak orang dengan alasan tidak jelas. Bahkan tanpa menyelidiki lebih dulu. Berkali-kali Cila memperingatkan bahwa itu bisa merusak pertemanan. Diana tidak peduli. Lagipula siapa yang menolak berteman dengan model sekolah, sih. Baru kali ini dia merasakan akibatnya.

"Gue bantu, lo, Kasih tahu aja kapan beraksi," ungkap Diana seraya berbalik. Dia pergi duluan karena tidak ingin berada di situasi dramatisir seperti ini.

Cila tersenyum dari belakang. Tidak menyangka hubungan dengan Diana bisa berjalan seperti ini. Matanya beralih ke salah satu sudut kantin. Meski terhalang pepohonan, dia bisa melihat Fena berada di antara mereka.

Cila masih heran kenapa sahabatnya bisa berada di sana dalam waktu lama. Bahkan, mendiaminya hingga berminggu-minggu. Mengingat alasan Fena mungkin masuk akal. Bagi Cila, alasan itu kurang kreatif menurutnya. Ada sesuatu yang sepertinya disembunyikan. Dia harus mencari tahu itu.

Cila menggenggam masker itu erat. Diambilnya gawai yang sempat dimasukkan ke tas. Mengetikkan balasan kepada Angga karena tadi belum sempat. Tak butuh waktu lama, ponselnya bergetar kembali. Angga membalas cepat. Matanya semakin melebar melihat balasan dari pacarnya itu.

"Mudah-mudahan ini nggak bener." Cila berharap banyak. Dia memijit keningnya. Kepalanya berdenyut lagi. Teriakan Diana terdengar nyaring di gerbang depan. Gadis itu berjalan cepat agar tidak tertinggal bus yang akan lewat.

_____________

MY BAD DAY ✔Where stories live. Discover now