Chapter 31

48 6 0
                                    

Tidak ada yang spesial dari hari. Cila berangkat dengan Diana seperti biasa. Pertengkaran menjadi teman mereka selama perjalanan ke sekolah. Intensitasnya sedikit berkurang karena mereka mengejar nilai perbaikan sebelum ujian semester menjelang. Diana gencar ke kamarnya untuk mencontek jawaban atau sekadar menyuruh Cila mengerjakan tugasnya.

Cila berjalan duluan karena harus ke kantin. Menemui orang paling menyebalkan, Angga. Cowok itu meminta bekal seperti biasa. Untuk menambah stamina katanya.

Leona? Mereka berpapasan di lorong sekarang. Tidak ada yang berubah. Tidak ada tegur sapa atau saling menyindir lagi. Agaknya gadis itu jera setelah kejadian itu. Cukup melihatnya tidak ada yang mengikuti, Cila sudah tahu jawabannya.

Leona sadar bahwa sikapnya bisa membuat orang lain meninggalkannya sendirian. Senyum kecutnya tampil sebelum mereka berpisah di tikungan lorong.

"Nih. Makan yang banyak, ya," ungkapnya seraya menepuk punggung Angga. Lumayan keras. Cowok itu sampai tersedak.

"Doain menang, ya," ujarnya nervous sendiri. Ini mungkin menjadi pertandingan terakhir sebelum dia naik kelas nanti.

Cila mengangguk semangat. "Jangan lupa traktir kalau kalah," ejeknya seperti biasa. Dia sengaja menggoda Angga untuk menghilangkan kegugupan. Obrolan mereka terhenti setelah mengetahui ada perdebatan kecil di tengah lapangan. Awalnya Cila tidak tertarik melihat. Kepalanya tertoleh kembali mendapati gadis berkuncir kuda tengah ketakutan sendiri. Dia mengenalinya.

"Susah, deh, punya pacar sok baik," gerutu Angga ketika menyadari Cila sudah jauh dari jangkauan matanya.

Cila bergabung ke kerumunan kecil. Menatap Fena yang tertunduk. Di tangannya ada minuman soda dengan isi setengah. Sebagian isi itu tumpah di jaket beludru milik Grace, salah satu pengikut Leona dulu. Wajah Grace merah padam. Pandangannya terhunus ke arah Fena yang tergugu di tempatnya.

Gadis itu mungkin ketakutan. Seminggu ini Fena mendapat sindiran terang-terangan sejak insiden itu. Cila bahkan tidak percaya itu bisa terjadi. Maksudnya, di sini yang dirugikan itu Cila, tetapi semua orang berubah jadi maha benar. Setiap mereka tidak sengaja berpapasan, Fena pasti langsung berlari menghindar. Dengan wajah datar dan senyum terpaksa.

"Bilang aja sengaja karena gue sering bully lo," ujar Grace dengan senyum licik. Dia mendorong bahu Fena dengan satu telunjuk. Tak cukup membuat Fena tumbang. Dia berniat kabur sebelum tangannya dicekal Grace.

Fena menepis tangan itu. Sampai-sampai membuat Grace. Menggeram sebal. "Gue belum selesai ngomong. Ketakutan, ya, sampe mau kabur." Grace memerintahkan dua temannya untuk memegang Fena.

Fena pasrah saja karena tidak bisa kabur. Toh, ini sudah menjadi makanan sehari-hari. Semuanya gencar mengerjainya bahkan menyindir terang-terangan seolah mereka paling benar. Miris. Padahal mereka juga tidak ada bedanya dengan Fena. Botol digenggam direbut secara paksa.

"Kejahatan dibalas dengan kejahatan," ujar Grace sengaja menjatuhkan pandangan kepada Cila. Sedetik setelah itu, isi dari botol telah berpindah ke blazer yang Fena kenakan.

Perlakuan itu tidak adil karena jaket Grace bahkan tidak terlalu basah. "Udah puas!" tanyanya spontan.

Grace menggeleng. "Enggak dong. Masih ada lagi. Makanya jangan suka cari gara-gara," jawabnya lugas. Bersamaan dengan itu, seseorang memberikan cup cokelat panas. Dia menyeruput pelan. "Gimana kalau gue nggak sengaja tumpahin ini," ujarnya lagi seraya menggoyangkan minuman yang dipegang.

Fena melotot. Keringat dingin membanjiri dahi. Lagi-lagi dia hanya pasrah. Sebab berharap kepada teman-teman yang lain pasti sia-sia. Tidak akan ada yang mau menolong. Tanpa sengaja pandangannya terjatuh pada Cila yang terlihat khawatir. Satu-satunya orang yang peduli dan telah dia sakiti. "Yaudah. Siram aja," gumamnya tidak tahan lagi.

Grace bergumam senang. Sampai tangan Cila membuatnya terhempas. Cokelat panas itu harus jatuh mengotori lapangan.

"Ck! Kenapa masih dibelain juga, si?" tanya Grace kesal.

"Siapa yang belain? Gue cuma benci sama orang sok tegar," sindirnya. Tidak benar-benar berniat membuat Fena menyembunyikan wajahnya lagi. Cila menghela napas lantas pergi dari sana.

Selalu seperti itu. Fena menahan emosinya mati-matian. Untuk marah pun dia tidak berhak sebab kata-kata itu benar adanya. Seperti sebelum-sebelumnya, dia hanya bisa menjadi pihak yang dikasihani. Menyedihkan. Untungnya Cila tidak melihatnya ketika tengah rapuh.

Cila mendesah panjang. Tidak benar-benar pergi. Dia menyembunyikan diri di balik tembok. Meskipun ada kesal luar biasa setelah tahu Fena menganggapnya sebagai musuh, masih ada setitik perasaan sebagai seorang sahabat. Jika saja Fena mau minta maaf, semuanya mungkin akan lebih mudah. Mereka bisa saling bertukar pikiran dan melupakan semuanya. Sayangnya, tidak ada kata sakral itu hingga seminggu berlangsung.

Jika Angga tahu apa yang dilakukannya, mungkin dia bakalan marah-marah.

"Ehem!" Nah, sudah dibicarakan malah orangnya datang.

Cila kikuk. Dia berbalik dengan cengiran khas. Mendapati raut wajah pacarnya yang suram. "Bukannya sepuluh menit lagi mau berangkat?" tanyanya mengalihkan perhatian.

Mobil Van sekolah pasti menunggu di depan. Dilihat dari ransel besar di punggung Angga, cowok itu pasti bersiap pergi.

Tak ada jawaban. Raut wajah Angga tampak tidak bersahabat. Dia memang tidak suka melihat Cila terlalu ikut campur dengan yang lain. Helaan napas kasar terdengar. Cila meringis kecil.

"Gue cuma lewat tadi, hehe," jelasnya seraya menaik-turunkan alis. Wajahnya dibuat seimut mungkin agar Angga tidak marah.

"Gue nggak nanya," ucap Angga. "Kalau nolong yang iklas, nggak usah sok kelihatan cuek," tambahnya lagi.

Cila mengikuti arah pandang Angga kebelakang. Kebetulan saja Fena lewat dan melihat mereka. Dia berbalik hendak berbalik arah. Kakinya membeku ketika Angga berteriak kencang.

"Cila! Lo, mau nggak jadi cewek gue?" tanya Angga tahu-tahu sudah berlutut. Tangannya memegang setangkai mawar merah. Cila baru ingat bahwa cowok itu ingin memberinya kejutan hari ini. Dia melongo.

"Ya! Kita kan udah pacaran," bisiknya gemas. Menarik bahu Angga kasar agar berdiri tegap.

Angga tersenyum culas. "Kan, nembaknya belum resmi. Udahlah jawab aja mau nggak jadi cewek gue?" tanyanya tanpa ada kata-kata romantis sama sekali. Dia terkekeh melihat Cila menyembunyikan wajah. Kadang sikap tidak terduganya itu membuat Angga bertambah gemas. Pengumuman ini tak lain untuk menegaskan bahwa mereka memang terikat karena ingin, bukan karena sesuatu yang diada-adakan.

Anggukan Cila menjadi penegas bahwa Fena kalah dalam segala hal. Ditelannya pil pahit itu. Tenggorokannya seperti tersangkut sesuatu. Mendadak menyesali sikap pengecutnya ini. Bukankah dia telah kehilangan segalanya?

Di lain pihak, Cila sekali lagi mendorong Angga jauh-jauh ketika cowok itu hampir memeluknya. Tanpa disangka, Angga malah melempari pipinya menggunakan adonan kue entah dari mana. Cowok itu berpamitan dengan teriakan keras. Menuju mobil Van yang sedari tadi bising karna umpatan anak-anak.

"Tungguin gue. Mendalinya nanti buat lo," pamitnya ketika Cila tertunduk karena kehabisan napas. Dilihatnya cengiran mengejek dari Angga. Sayanganya, Van itu telah pergi. Tanpa sadar Cila tersenyum. Ada perasaan lega menelusupi hatinya. Meskipun dibeberapa bagian dia menyesali sikap, itu akan menjadi pelajaran bukan?

"Woy masuk! Nggak lihat udah bel!" gertak Diana berteriak seperti biasa. Cila merangkulnya dengan mesra. Meski mendapat omelan panjang lebar, Diana tetap pasrah dengan kelakuan sepupunya. Dia bersyukur mereka menjadi seakrab ini selayaknya saudara. Untuk hal-hal lain yang masih mengusik hati, Cila membiarkannya. Waktu akan membuat semua masalah ini melebur. Menyisakan perasaan baru di masing-masing pihak. Dia hanya harus bersabar sampai semuanya utuh kembali.

__________ Tamat __________

Gak kerasa,  ya, cerita ini telah berakhir 🎉🎉

Bagaimana pendapat kalian sama cerita ini?

Terima kasih buat yang telah membaca dari awal sampai  akhir.

MY BAD DAY ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang