Chapter 29

24 2 0
                                    

Mungkin apa yang menganggu pikiran Cila kemarin terbukti sekarang. Matanya nyalang. Bibirnya terkatup sedari tadi. Berbanding terbalik dengan gadis yang rambutnya digerai. Suara tawanya menyentil gendang telinga Cila. Dia menyikut rusuk Diana agar mengerti situasi.

Diana menoleh kepadanya dengan senyum puas. "Sekarang giliran, lo," ujarnya dengan gerakan mundur.

Cila menelan ludahnya sudah payah. Tidak menyangka bakalan mendapat jatah memarahi Leona juga. Gadis itu tampak memerah meskipun wajah angkuhnya masih diperlihatkan. Apalagi bisik-bisik yang terdengar dari sekitar. Menambah emosi yang disembunyikan dengan baik di wajah Leona.

"Gu-ue, ngapain?" tanya Cila gugup. Jujur saja sejak Diana menariknya keluar dari kelas menuju belakang sekolah, dia tidak berpikir menemukan Leona yang menahan malu dari tempatnya. Cukup mendengar ucapan sekitar dan menyimpulkannya sendiri sudah menjadi jawaban.

Diana menyebar tautan berisi video Leona yang menghadiahi sampah di bangku setiap pagi. Hanya itu. Walaupun sudah menebak, tetapi dia terkejut juga ada yang membencinya sedemikian dalam. Hingga semua orang begitu menggebu-gebu. Tidak tahan dengan perdebatan kecil yang terjadi, dia memutuskan untuk tak acuh.

"Gue susah-susah nyebar video, tapi lo diem aja. Nggak seru!" Protesan itu berasal dari Diana. Tidak dipungkiri kalau dia marah besar. Padahal, hari ini dia berharap dapat membalaskan dendam Cila, dendamnya juga, sih.

"Ngapain juga lihatin gue," balas Cila sengit. Sesuatu yang sia-sia saja.

Diana terbahak. Sorot matanya menajam. "Wah, siapa yang nggak berterima kasih sama saudara sendiri. Hebat bangef," sindirnya tanpa menahan apa pun. Tidak peduli lagi kalau dia sempat dijauhi orang-orang beberapa waktu lalu. Mungkin dia bakalan menyesali tindakan sembrono ini nanti.

Seementara itu, di tempatnya berdiri, Cila menyusun potongan-potongan ingatan tentang kesalahan Leona. Mungkin saja itu terlewat ketida di mampir ke sini atau bagaimana. Dari sekian banyak yang dianalisisnya, Cila pihak yang dirugikan. Dari sudut manapun di tidak bersalah saat ini. "Ishh. Diana emang bener-bener payah," ungkapnya mengakhiri perdebatan tidak jelas ini.

"Benar. Nggak usah munafik, lo," kompor Leona yang menjadi tersangka di sini. Tidak ada ketakutan dalam matanya. Alih-alih merasa bersalah seperti biasa. Dia lelah terus berkata seperti itu Naasnya tidak ada yang percaya. Lihatlah semua tatapan jengkel itu. Leona merekamnya baik-baik di otak. Siapa tahu bisa membayarnya nanti, kan?

"Masih nggak punya malu ngomong kayak gitu?" Sindir Cila geram juga. Sudah bersalah tetapi tidak mau disalahkan. Hebat sekali.

"Siapa yang salah? Orang gue cuma disuruh, kok," ujar Leona lagi. Senyum sinisnya tersungging. Matanya mengedar mencari tersangka yang selama ini bersembunyi di punggungnya. Tetapi, tidak ada tanda-tanda orang itu berada di sini. Kesal. Dia menunding Diana menggunakan telunjuk. "Lo kurang kerjaan sampe videoin segala," tuduhnya tajam.

Bibir Diana terkatup. Kehilangan keberanian sejenak. Sampe suara tawa Diana yang membuatnya mengernyitkan dahi.

"Gue kurang kerjaan? Orang videonya udah kesebar luas," jawab Diana enteng. Beberapa orang yang berdiri di sini menunjukkan ekspresi sama. Mereka pasti mengetahui tanpa memberitahu.
"Kayaknya cuma kita yang jadi idiot di sini," ujar Leona sembari menatap Cila.

Mata Leona sudah memanas. Menunggu pertahanan gadis itu runtuh saja untuk mengungkapkan kekalahannya. Tidak hitungan menit, gadis itu berkaca-kaca. Suaranya bergetar. "Gue cuma kambing hitam!" teriaknya nyalang. Tentu saja semua orang menganggap hanya akting.

"Walaupun gue dendam sama Angga. Tapi-"

Cila tidak mendengar kalimat lebih lanjut. Angga tahu-tahu berdiri di belakangnya dengan tangan menutup telinganya. "Yuk pulang. Dicariin malah nglayap," omelnya datar. Tanpa menunggu persetujuan, dia menarik Cila kasar. Sanggup menghipnotis semua orang yang berada di sini.

***

"Kayaknya gue kebelet, deh," ujar Fena seraya menyerahkan plastik besar berisi sampah. Setiap harinya dia membawa itu untuk memenuhi meja Cila.

Leona harus repot-repot datang jam enam pagi hari ini. Dia memutar bola mata. Menatap Fena yang memegang perutnya dengan wajah kesakitan.

"Ya, udah sana. Cepet! Gue nggak mau ngerjain kerjaan bodoh ini," ujarnya seraya menjatuhkan plastik berisi sampah itu. Tidak mau tangannya berbau busuk juga.

"Tolong," ucap Fena memelas. Wajahnya hampir menangis. Antara menahan rasa mulas dan penolakan Leona yang tidak mau membantu.

Leona mendengkus. "Tapi, lo harus ngerjain Diana pulang sekolah nanti," ucapnya dengan senyum miring. Dia ingin membalas dendam karena dipermalukan kemarin. Tanpa repot-repot menunggu jawaban Fena, disambarnya plastik yang tadi sempat dibuang. Melenggang santai menuju kelas Cila. Tidak perlu berjalan terlalu jauh dan buru-buru. Dia sampai di kelas Cila dan segera melakukan aksinya.

"Bau sampahnya benar-benar busuk," gumamnya seraya menutup hidung. Keningnya mengernyit saat menemukan kumpulan kertas juga berada di sana. Jika kertasnya sudah diremas-remas sih tidak apa-apa, tetapi kertasnya masih terlipat rapi. Persis sebuah surat. Leona hendak mengambil salah satunya. Sampai suara Fena terdengar dari jendela di samping.

"Ada anak-anak yang mau masuk," gumamnya dengan wajah panik. Dia mengunci kelas Cila seperti tadi.

Leona bergegas pergi dengan langkah santai. Untung saja dia diberitahu lebih dulu. Jadinya salah satu teman sekelas Cila yang masih di ujung lorong tidak bisa memergoki.

Leona mengernyitkan dahi. Dipikirannya masih berkelana ke lipatan surat-surat itu. "Lo, kasih Cila surat?" tanyanya menelisik ke dalam mata Fena. Yang ditanya juga kelihatan bingung. Entah akting atau apa. Yang jelas bisa membuat Leona yakin kalau gadis itu tidak tahu apa-apa. "Nggak-nggak jadi."

Leona menggendikkan bahu. Kemudian pergi meninggalkan Fena setelah memerintah gadis itu untuk pergi mencari sarapan untuknya. Lagi-lagi seperti itu. Perlakuan yang selalu Fena dapatkan. Jengah sekali tetapi dia tidak pernah bisa melawan. Kepalanya berputar ke belakang ketika mendengar deheman seseorang. Kala menangkap seorang cowok menatapnya menelisik, barulah dia merasa gelisah tanpa sebab.

"Cila udah Dateng?" tanya Angga biasa. Bahkan terkesan basa-basi saja.

"Belum," jawabnya cepat. Tak ingin terjebak dalam tatapan curiga cowok itu.

"Oh, makasih, deh. Gue kira udah. Lo kan yang baru keluar dari kelasnya tadi," balasnya dengan senyum miring. Berhasil mebuat gadis di depannya memucat oleh kata-kata itu.

Fena berusaha abai. Berbalik karena tidak ingin ditanyai macam-macam lagi. Beberapa kali dipergoki Angga membuatnya takut. Angga pasti tahu sesuatu setelah menarik benang merah yang ada. Dia menggigit bibirnya. "Gue pasti abis besok," simpulnya dengan ketakutan berlebih. Tak lama setelah itu, Fena mengeluarkan gawainya. Memutuskan apakah video yang baru saja direkam tadi akan disebar atau tidak.

Lama bergulat dengan pikirannya sendiri, Fena memutuskan untuk mengirimnya kepada Diana. Tentu saja dengan nomor sekali pakai. Kehebohan yang dibayangkannya akan terjadi besok. Tidak ada yang akan menyalahkan. Fena akan baik-baik saja setelah itu.

__________________________

MY BAD DAY ✔Where stories live. Discover now