Chapter 30

22 3 0
                                    

Fena menghirup napas dalam-dalam. Wajahnya pasi. Diusapnya peluh yang membanjiri dahi. Barulah ketika napasnya teratur, dia mendongak. Menghindari kerumunan yang terjadi karena Diana dengan berlari tunggang langgang. Untung saja dia tidak bersama Leona tadi. Jika iya, mungkin dia juga diseret dan disalahkan.

Fena tiba-tiba menyadari kesalahannya. Apa yang dia pikirkan ketika menyebarkan video itu kemarin? Tanpa memikirkan akibatnya. Lihatlah, Leona pasti membocorkan semua kelakuannya yang selalu menaruh sampah di bangku Cila hingga membuat gadis itu difitnah.

"Udah lelah sembunyi," sindiran itu membuatnya tersentak. Tidak jadi melanjutkan langkah, juga berbalik karena tahu siapa yang menegurnya.

Pasangan fenomenal yang selalu dielu-elukan. Angga memundurkan langkah setelah dipelototi Cila. Memberi jarak agar keduanya bisa bicara secara leluasa.

"Na," panggilan itu mengalun pelan. Hampir dihapal Fena karena hanya Cila yang memanggilnya dengan benar.

Cila tergugu. Tidak tahu harus berbicara seperti apa. Mendengar cerita Angga bahwa dia memergoki Fena beberapa kali tidak membuat Cila percaya. Sampai pernyataan Leona tadi. Membeberkan aib Fena yang selama ini disimpan rapi-rapi. Segala ketidakmungkinan yang dipikirkan Cila nyatanya menjadi kenyataan. Kala semua kecurigaan itu dijadikan satu. Hanya satu hal yang belum dia periksa.

"Mau apa ke sini?" tanya Fena bersikap biasa. Meski hatinya ketar-ketir juga jika ada yang tiba-tiba datang nanti.

"Nggak ada. Cuma gue mau tanya, apa bener lo yang selama ini ngasih sampah di meja gue?" tanyanya spontan.

Fena tidak bereaksi. Hanya berselang sedikit, dia menaikkan alisnya. "Atas dasar apa lo nuduh kayak gitu?" tanyanya tersinggung.

"Kalo lo nggak ngerasa, nggak usah marah-marah," tegur Diana tahu-tahu datang dari belakang. Tentu saja semua orang akan mencari keberadaan Fena untuk membuktikan omongan Leona tadi.

Fena membuang muka. Agar tidak ada yang tahu bahwa matanya berembun. Tanpa sadar dia menggigit bibir untuk menghilangkan kecemasan. Kakinya beku untuk pergi dari sana. Apalagi semua pertanyaan yang silih berganti terlontar tanpa jeda. Menambah rasa pusing di kepalanya. "Gue nggak marah-marah. Kenapa kalian malah nyudutin gue?" tanyanya. Sayanganya, nada suaranya bergetar.

Cila menggaruk belakang kepala. Dia tahu Fena trauma jika dikepung seperti ini. Padahal tadi cuma bertanya saja. Jika pun benar, tidak akan menempatkan sahabatnya pada situasi seperti ini. "Ah, iya. Ngapain kalian ke sini? Gue mau ngajak Fena makan berdua doang," ujarnya cepat-cepat. Melemparkan pandangannya pada teman-teman di depan.

"Alah! Nggak usah basa-basi. Ternyata lo malah lebih parah dari gue! Diam-diam nikung temen sendiri." Diana terlihat emosi sekali. Urat wajahnya sampai terlihat.

"Gue nggak ngerti maksud kalian," elak Fena lagi. Agaknya kepercayaan diri sudah terpupuk terlihat dari matanya yang menajam.

Diana tertawa dibuat-buat. "Sini, mana ponsel lo. Buktiin kalau perkataan Leona salah," sindirnya menolrh ke objek di samping kanan. Yang ditatap ikut-ikutan mendelik karena kesal.

Fena membeku. "Nggak. Gue nggak salah. Lagian kenapa kalian percaya sama omongan ular macam Leona?" tanyanya menantang.

Raut-raut terkejut terpampang ketika Fena berkata demikian. Tidak menyangka bisa mendengar itu dari murid teladan seperti Fena.

"Ular?" ulang Leona. Tahu-tahu sudah berdiri di depan dengan mata melotot. Tak berbeda jauh dengan Diana yang menampilkan wajah siap berperang.

Fena sepertinya baru sadar akan ucapannya. Terlambat untuk minta maaf. "Iya. Lo selalu jelek-jelekin Cila dan maksa gue untuk ngikutin lo."

"Wah," ucap Diana spontan. Tidak habis pikir dengan akting buruk Fena. Tangannya yang semula bertepuk tangan heboh terulur ke depan. Senyum puas tercetak di wajahnya ketika gawai milik Fena berada di genggaman. Sengaja dia menggoyangkannya sedikit di depan wajah pemilik untuk mengetahui reaksinya.

Leona ikut tertawa. "Sekarang, coba buktiin kalau pemilik akun palsu itu bukan, lo," tantangnya dengan alis terangkat. Puas karena berhasil membuat Angga dan Cila penasaran. "Atau gue yang buka. Kebetulan gue tahu passwordnya," tambahannya memancing.

Wajah Fena memucat. Dia mencoba meraih gawainya sebelum tangan Leona tertarik ke belakang.

"Lo, mending ngaku! Dasar munafik," sindir Diana tak kalah tajam.

Cila meringis menyaksikan itu semua. Buru-buru dia merentangkan tangan guna memisah mereka bertiga. "Udahlah. Mungkin bukan Fena yang ngelakuin."

"Lo, bilang gue bohong?" tanya Leona melotot. Tidak terima dibantah seperti itu. "Lo, masih belain dia setelah semua kelakuannya?" tanyanya tidak percaya.

Cila tidak menjawab. Pandangannya jatuh pada Fena yang tidak pernah menatapnya sedari tadi. "Gue percaya kalau dia yang ngelakuin. Tapi, seharusnya lo bilang kalau iri sama gue," jawabnya santai. Meskipun dalam hati segala perasaan marah dan kecewanya menguat.

Perasaan Fena tersentil. Kebenaran itu membuatnya geram.

Leona menimpali setelah mengingat sesuatu. "Dia kan iri sama lo. Soalnya dia suka sama—"

"Oke!" Potong Fena cepat. Napasnya memburu. Tindakannya itu malah menimbulkan tanya besar di kepala Cila. Pikirannya buntu untuk berpikir siapa yang dikuai oleh Fena. Seingatnya dia tidak pernah menyebutkan seseorang, kecuali ....

"Gue iri sama lo." Fena mengawali pengakuannya. Terkejut sendiri dengan pengakuan itu. Terlanjur basah untuk berhenti. Ditatapnya lagi orang-orang yang mengelilingi. Dia tidak punya tempat bersembunyi. "Gue bahkan benci sama semua yang lo punya." Karena gue nggak pernah bisa dapetin semua itu.

Cila membeku. Fena selalu berada di bawahnya. Entah itu terkait keberanian, prestasi, pergaulan, atau teman. Diingatnya kembali setelah mereka bertengkar dengan hebatnya.

"Gue bukan babu," balas Fena tidak kalah tajam. Wajahnya memerah karena dihina seperti itu. "Lo, sama mereka juga nggak ada bedanya."

Cila baru menyadarinya. Betapa dia terlalu dominan di antara persahabatan ini. Dia pikir Fena akan mengkritiknya jika salah, mengingat Cila juga tidak akan marah jika mendapat teguran. Dia menganggap Fena menerima apa adanya. Tanpa tahu kalau diam-diam telah mendapat kebencian begitu besar.

"Mending lo jujur," ucap Angga yang sedari tadi memerhatikan. Tidak tahan juga karena semuanya masih abu-abu. Belum juga mencapai ujungnya. Meski dia harus kembali menghela napas karena diberi pelototan oleh Cila.

"See. Omongan Leona bener. Lo sekarang puas!" Agaknya semua itu menguras energi Fena. Meski tidak ada air mata, cuma yakin kalau gadis itu mati-matian untuk tidak menangis. "Lihat aja di ponsel gue. Semua bukti udah jelas," tambahannya ketika Cila menunjukkan raut tidak percaya.

Setelah itu dia menerobos pertahanan yang dibuat oleh Diana. Hingga gadis itu terhuyung karena dorongan kuat.

Berbeda dengan Diana dan Leona yang heboh sendiri karena berhasil melihat akun peneror yang meresahkan, Cila tertegun. Alih-alih menyalahkan Fena, dia malah menyalahkan diri sendiri. Dirasakannya ada tangan yang mengelus puncak kepala.

"Berhenti nyalahin diri sendiri. Mana Cila gue yang bar-bar dan nggak pedulian?" tanya Angga. Berniat mencairkan suasana. Sayangnya tidak berhasil karen air mata dari gadis di pelukannya keluar. Pertama kalinya dia melihat Cila menangis. Itu menyakitkan.

_____________________

MY BAD DAY ✔Where stories live. Discover now