Chapter 23

23 3 0
                                    

Entah apa yang membuat Diana jadi dekat dengannya. Tiba-tiba saja gadis itu jadi baik dan tidak ikut gengnya Leona lagi. Lebih mengejutkan lagi, Diana duduk semeja dengannya di kantin. Cila tidak keberatan, hanya saja aneh sekali melihat mereka tidak pernah bersama kemudian jadi dekat.

Mata Diana mendelik. Tangannya bersedekap. "Awas aja si Leona," ujarnya tiba-tiba.

Cila tidak menghiraukan. Fokus pada bakso di depannya. Rasa penasaran tiba-tiba merasukinya. Diikutinya arah pandang Diana ke ujung kantin. Di mana Leona duduk dengan teman-temannya, minus Diana. Bahkan, Fena juga berada di sana. Hal yang membuat Cila melotot.

"Itu Fena?" tanyanya seraya mengucek mata. Barangkali salah lihat karena langit muram. Dilihat berapa kali pun, Fena memang duduk di sana. Meski posisinya tidak kelihatan karena Fena duduk ketakutan.

"Nyesel gue rekrut dia. Nyesel! Nyesel!" Diana mencak-mencak di tempatnya. Wajahnya memerah oleh amarah.

Cila meringis ketika melihat siku Diana terbentur meja. Tak lantas membuat diam, Diana malah nyerocos tidak jelas.

"Suruh siapa aneh-aneh," cibir Cila. Suapan terakhir itu menjadi akhir dari pembicaraan mereka. Gadis itu hendak bangkit dari tempatnya.

"Biar lo sendirian. Sekarang udah sendiri sih, gimana. Enak?" tanya Diana dengan wajah mencemooh. Entah di mana wajah kesalnya tadi sewaktu tidak diperbolehkan Leona duduk semeja.

Cila mendengkus. "Biasa, sih. Lagian gue biasa sendiri. Lo tuh yang nggak biasa," cetusnya tepat sasaran.

Diana menatapnya judes. "Diem, deh!" teriaknya tidak suka. Dia tiba-tiba mendekatkan wajahnya. Otomatis Cila menjauhkan wajahnya. Lebih karena kaget dan jarak mereka yang terlihat dekat.

"Lo, tahu siapa yang jebak kita?" tanya Diana pelan. Matanya mengedar ke sekitar. Seolah tidak ingin ada yang mendengar pembicaraan mereka.

"Bukan lo, ya?" tanya Cila dengan mulut mencibir. Tidak ada yang lebih benci pada Cila selain Diana. Sikap permusuhan itu bahkan ditunjukkan secara terang-terangan.

Diana menunjuk Cila dengan mata melotot. Dia menjerit kecil. Buru-buru tangannya menutup mulutnya sendiri karena berhasil mendapatkan atensi dari anak-anak. "Masa gue yang jebak, lo, Terus gue jebak diri gue sendiri," ujarnya tidak percaya. Matanya mencela Cila. Seolah Cila paling bodoh di sini.

Kalau dipikir-pikir memang benar. Tidak ingin menunjukkan kesalahannya, Cila menatapnya menunduh. "Pasti lo tahu siapa di balik akun itu," telaknya.

Diana mengangguk polos. Keningnya mengerut. Tanda kalau otaknya bekerja keras. Percuma saja. Daya ingat Diana itu rendah sekali. Rasanya dia pernah mengajukan pertanyaan itu juga. Tetapi kepada siapa, ya? "Tahu lah, jelas!"

"Tapi lupa," tambah Diana dengan senyuman lebar. Harusnya dia malu, bukannya menatap Cila mengejek.

"Udahlah. Sana pergi. Lo, nggak malu makan semua sama gue?" tanya Cila judes.

Diana menatapnya tanpa ekspresi apa-apa. "Kita kan sekarang sama-sama ditindas. Walupun seharusnya lo yang harus ditindas."

Cila mengurut dadanya, kesal. Perutnya tiba-tiba lapar kembali berbicara dengan Diana. Gadis itu beranjak dari sana setelah berpamitan dengan ejekan nilai KKM yang didapat Diana. Sontak saja Diana berteriak-teriak di belakang.

Cila menggelengkan kepalanya melihat kelakuan sepupunya itu. Dia menjerit kecil. Lengannya ditarik seseorang ketika keluar dari kantin. Meringis. Cila kenal bau musk yang menusuk hidung. Itu adalah parfum milik Angga. Tidak salah lagi.

Angga cengengesan. Matanya sampai menyipit melihat Cila menggembungkan pipi. "Gimana?" tanyanya langsung. Mereka berada di taman. Anggap saja tatapan orang-orang itu karena dia sedang membujuk Cila.

Cila menggeleng. "Nggak ada yang mencurigakan," ungkapnya lagi. Angga memang menyuruhnya menyelidiki Diana. Tidak ada bukti yang kuat di kamar sepupunya itu. Dia bahkan menyempatkan untuk melihat ponsel. Siapa tahu Diana membuat dua akun Ig. Meskipun harus bersusah payah mencari passwordnya. Cila akhirnya bisa membuka berkat Bibi Vini, meskipun harus berbohong.

Kening Angga mengernyit. Dia telah mengumpulkan bukti bahwa Diana yang paling membenci Cila. Angga memang tidak tahu siapa orang yang memfoto mereka tempo hari. Selain karena membawa masker dan kamera merek ternama, Angga hanya melihatnya sekilas.

"Masa?" tanya Angga dengan senyum lebar. Kedua alisnya naik turun. Menggoda Cila salah satu hal wajib yang dilakukan. Bagaimana pipi sedikit tembam itu menggembung lucu.

"Diana cerita kalau dia juga difitnah," ujar Cila. Lantas dia menceritakan sikap Diana yang berubah baik. Yang mendadak sekali.

"Lo, yakin dia nggak akting," ucap Angga memberi kemungkinan lain.

Cila menggeleng. Dia tahu Diana luar dalam. Kalian ingat, Cila bahkan hapal kapan dia berbohong. "Dia jujur." Memikirkan ini membuat kepalanya berdenyut.

"Kenapa sih lo ngotot banget pengin tahu?'' tanya Cila heran. Dia saja tidak peduli mau diberitakan seprti apa. Yah, memang kadang menjengkelkan juga. Tetapi, Cila saja tidak keberatan sama sekali. Ngapain juga Angga sampe sedetail ini ingin cari tahu?

"Kenapa, ya," ujar Angga mengulang kalimat itu. Matanya mendelik dengan wajah menjengkelkan. Dia meringis ketika bahunya terkena pukulan Cila. Meski tidak terlalu sakit. Tetapi kekuatan gadis ini di atas rata-rata gadis pada umumnya.

"Jangan bercanda, deh!" peringat Cila tidak sabaran. Dia beranjak dari bangku, Angga dengan cepat menahan tangannya.

"Gue cuma kepo banget. Mereka ngapain sih ngurusin, lo," jawab Angga sekenanya. Dia mengotak-atik gawai. Menghubungi seseorang yang yang mungkin bisa membantu.

Diabaikan Angga membuat Cila kesal. Sepertinya sikapnya itu menjadi fokus Angga. Terbukti karena Angga segera menggoyangkan gawai di depan wajah Cila. Layarnya masih menyala. Nama Romeo tertera di sana. Belum sempat dia membaca isi pesan itu, Angga dengan cepat menyembunyikannya di saku celana.

"Ngeselin banget, si," gerutu Cila menghadiahi Angga sodokat di perut. Puas sekali melihat wajah Angga kesakitan.

Angga tertawa senang. "Nggak bercanda. Sesekali lo harus peka."

Cuma menoleh. Tidak mengerti perkataan itu. "Maksudnya?" tanyanya bingung.

Angga meletakkan lidah, mencibir. Meskipun hanya bercanda, tetapi bisa membuat Cila naik darah. "Masa perasaan gue, lo gantung Mulu," tambahnya ngawur. Tidak nyambung sama sekali.

Cila melotot. Sampai kata-kata Angga menonohoknya. "Gue nggak suka ada yang nistain lo. Walaupun lo nggak peduli sama diri sendiri. Bagi gue, itu ganggu tau," jelasnya.

Sempat tertegun. Kata-kata itu sanggup membuatnya melambung. Perutnya serasa dihinggapi kupu-kupu.

"Nggak usah ngerayu," ujar Cila ketus. Berbanding terbalik dengan pipinya yang bersemu merah. Gadis itu memalingkan muka agar tidak diejek seperti tadi.

"Tapi, emang lo pantes dinistain, si. Tapi cuma gue yang boleh." Angga tertawa keras menanggapi omongannya sendiri.

Keakraban mereka menjadi alasan terbakarnya seseorang di ujung kantin. Tidak sekali dua kali dia memalingkan muka. Tetapi pemandangan itu menusuk jantungnya. Dia benci melihat Cila tertawa bahagia. Seolah tidak memiliki beban apa pun. Sedangkan dia selalu saja menjadi kesekian. Dipandang sebelah mata. Tidak pernah merasakan bagaimana itu tertawa bahagia.

______

MY BAD DAY ✔Where stories live. Discover now