Chapter 25

17 2 0
                                    

"Panas, nih," ujar Diana seraya mengibaskan tangan ke wajah. Matahari memang sedang terik-teriknya. Dia merapatkan tubuh ke pohon yang menjadi tempat persembunyian. Di depan gadis itu, Cila memincingkan mata. Tidak mengeluh dengan keadaan ini.

Untung saja Cila memakai jaket kebesarannya. Sehingga panas mentari tidak menyengat. "Lo, yakin itu lokernya?" tanyanya tanpa menoleh ke arah Diana.

Diana ikut melotot. Dia mengingat loker milik Leona. Sayangnya, ingatannya sangat buruk. Mengingat pekerjaan rumah saja dia kesusahan. Tidak ingin terlihat memalukan, Diana mengangguk yakin. "Nggak percaya amat. Gue, kan temennya," jawabnya congkak.

Diana mendengkus. Buru-buru meralat omongannya sendiri. "Mantan teman maksudnya," tambahnya, meralat kalimatnya dengan malas.

Cila menahan tawa. Tidak bisa dipungkiri kalau wajah Diana terlihat lucu sekarang. "Nggak ada, tuh mantan temen. Mantan saudara juga nggak ada," sindirnya mengingat gertakan yang selalu diterimanya.

Diana meliriknya judes. Terlihat ingin memperpanjang urusan yang tidak penting ini. Bibirnya mengkantup lagi ketika gadis yang mereka intai berjalan menuju loker. Tepat seperti dugaannya barusan. Leona berjalan menuju loker. Tangannya memeluk tas dengan gerakan mencurigakan.

"Nah, kan gue bilang. Dia selalu kayak gitu," ungkap Diana heboh sendiri. Rasa kesal kembali menyeruak karena tiba-tiba diabaikan. Padahal, mereka sudah bersama-sama sejak kelas sepuluh. Semenjak pamornya menurun, Diana merasa ditinggalkan teman-teman. Berbanding terbalik dengan keadaannya yang dulu. Tak terkecuali Leona. Gadis itu bahkan menghina terang-terangan.

"Lo, nggak tahu apaan?" tanya Cila lagi. Dia menegakkan punggung.

Leona sudah pergi. Setelah meletakkan sesuatu yang berasal dari tasnya ke dalam loker. Dia bergabung dengan teman-teman ekskul modelling. Tidak hanya itu yang membuat Cila terkejut, ada Fena di antara mereka. Mungkin maksud Diana kalau dia di depan itu benar. Kasihan sekali.

"Nggak. Lagian ngapain juga tahu. Mau tahu, ya cari sendiri," jawab Diana asal. Matanya fokus pada kukunya yang mengkilap.

Cila berpikir keras. Ingat sekali kalau Angga pernah memberikan dugaan kuat tentang siapa yang memfoto mereka diam-diam. Cowok itu kesulitan menemukan pelakunya karena memakai masker. Jika Cila berhasil menemukan masker itu, mungkin dia bisa memastikan siapa pelakunya.

"Ada yang mata-matain gue," ujarnya pelan. Memutuskan untuk memberitahu Diana.

Diana tertawa nyaring, terkesan mengejek. "Pasti salah sasaran. Harusnya gue yang dimata-matain." Sedikit mengibaskan rambut agar terkesan sombong.

Cila mendengkus. "Mungkin lo juga dimata-matai," ujarnya tidak terpengaruh ejekan itu.

Konyol sekali. Meski itu tidak terlalu lucu. Tapi apa tujuannya memata-matai mereka? Untuk Cila, dia sadar telah mengibarkan perang kepada penggemar Angga. Apalagi ketika mereka memutuskan untuk menjalin hubungan. Tidak terhitung lagi berapa banyak yang menghujatnya meski sembunyi-sembunyi.

"Jadi yang upload foto lo lagi ngerundung gue itu lo sendiri?" Cila berhasil mencuri atensi Diana. Wajahnya terpana sesaat. Seperti baru mengetahui fakta itu. Ke mana saja dia baru menyadarinya?

Foto sewaktu Diana menyiram Cila dengan air kotor menyebar cepat. Beberapa orang tidak lagi percaya dan cenderung takut dengan Diana. Baru tahu seperti itu saja sudah takut, bagaimana kalau mereka tahu Diana pernah melabrak Cila di gudang? Pasti akan lebih buruk dari ini.

"Gue ... gue." Diana tergagap. Tidak bisa membatah perkataan itu.

"Lo, harus bantuin gue kalau mau tahu pelakunya," tandas Cila. Dia menepuk bahu Diana beberapa kali untuk menguatkan. Kemudian berlalu pergi dari pengintainya. Meninggalkan Diana tercenung di tempat.

***

Cila melotot siapa yang bergelung nyaman di bangkunya. Dengan kepala terkulai dan rambut yang menutupi dahi. Matanya terpejam dengan mulut sedikit terbuka. Cila melirik jam dinding. Istirahat masih lima belas menit lagi.

Hampir saja Cila ingin mengomel seperti biasa, tetapi tidak tega melihat wajah jelas itu. Dia baru ingat kalau jadwal latihan Angga semakin padat. Padahal, ujian semester tinggal beberapa minggu lagi. Seingatnya ada pertandingan sebelum ujian dimulai. Makanya tim sekolah gencar latihan.

Suara lenguhan terdengar pelan. Angga membuka matanya. Menyipitkan pandangan karena kepalanya terasa pening.

"Sakit," gumam Cila tidak terlihat bertanya. Tangannya menempel ke kening Angga. Mengecek suhu badan. Badannya hangat.

Angga menggeleng. Dia menegakkan tubuh agar bila melihat Cila lebih jelas. "Nih," ujarnya seraya menyodorkan gawai milik Cila. Angga memang membawanya kemarin. Katanya, sih ingin menghapus semua follower Cila. Untung saja dia tidak sering menggunakan gawai kecuali saat ingin menghubungi orang tuanya.

"Beliin gue makan dong," suruh Angga setelah berada di mode menyebalkan.

Untung saja dia sakit, kalau tidak mungkin Cila bakalan membantah habis-habisan. Selalu saja menyuruhnya tanpa pikir panjang. Gadis itu tersenyum paksa. "Ok. Jangan sering-sering sakit," ujarnya seraya memberikan tonjokan kecil di lengan Angga.

Angga terkekeh. Memberikan beberapa lembar uang untuk gadis itu, tetapi ditolak. Katanya, hitung-hitung membalas budi padanya itu itulah kenapa Cila ingin mentraktir sekarang. Dia melambaikan tangan kepada Cila. Dibalas dengan dengusan kasar.

Angga melihat sekitar. Belum ada yang masuk kelas ini sejak dia datang. Mungkin beberapa menit lagi ada yang masuk. Tebakannya tepat. Seseorang datang sendirian seperti prediksinya.

Fena berdiri di ambang pintu dengan wajah terkejut. Dilihatnya bangku milik Cila telah diduduk seseorang yang bukan teman sekelas. Dia hampir berbalik karena merasa canggung.

"Masuk aja lagi, gue nunggu Cila," ujar Angga santai. Dia menangkupkan wajahnya ke lipatan tangan.

Karena Angga terlihat tidak peduli, Fena akhirnya memutuskan masuk. Dia harus mengambil gawai yang tertinggal di kelas. Takut jika Leona akan mengamuk karena jam istirahat hampir habis.

Bangkunya tinggal selangkah lagi. Dadanya bergemuruh mendapati Angga yang berada di depan mata. Dia mengembuskan napas. Menetralkan detak jantungnya yang menggila. Setelah merasa baikan, dia menuju menuju bangku. Memembuka tas dan mencari keberadaan benda segi empat itu.

Lama mencari hingga tiga kali, tidak ditemukannya benda itu di sini. Kening Fena mengernyit.

"Lagi cari ponsel lo?" tanya Angga bergumam. Posisinya masih sama, bergelung di meja. Mungkin kekalutannya terlihat jelas karena dia tidak kunjung pergi.

Fena mengangguk. Tahu kalau gerakannya tidak berarti apa-apa, dia bergumam, "Iya."

Angga bergerak. Tangannya merogoh laci meja. Beberapa detik mencari dan gawai Fena berada di genggamannya.

"Gue lihat sesuatu di hp lo," ucap Angga seraya menarik tangan. Tidak jadi memberikan gawai itu kepada Fena.

Fena menggigit bibir. Rasa gugup melingkupi hatinya. "Sesuatu apa, ya," balasnya setelah beberapa saat terdiam lama.

Angga memincingkan mata. Ingin berkata sesuatu namun mulutnya terkatup kembali. "Wallpaper lo bagus," ujarnya.

Fena mengambil gawai itu setelah mendapat kesempatan. Bibirnya memucat mendengar perkataan itu. Dugaan kalau Angga mengotak-atik benda miliknya tertanam kuat.

"Gue nggak buka barang orang secara sembunyi-sembunyi," ujar Angga berhasil menghalau pikiran Fena.
Gadis itu bernapas lega. Dia cepat-cepat keluar dari sana.

____________

MY BAD DAY ✔Where stories live. Discover now