Chapter 24

20 1 0
                                    

Leona menggebrak meja. Sontak saja semua orang mengalihkan atensi padanya. Bagaimana tidak? Gadis itu tiba-tiba berdiri dengan mata nyalang. Arah pandangnya mengikuti ke mana Cila berjalan. Lebih tepatnya gandengan tangan yang terjadi antara Angga dan Cila.

Sempat dilihatnya tawa mereka. Berarti kabar putus yang didengarnya cuma rumor saja. Dia jengkel karena menjadi pihak yang mudah dibodohi.

"Gue kesel banget lihat mereka," ungkapnya lantang. Terang-terangan tanpa berniat menutupi itu semua. Lagi pula siapa yang berani padanya. Dia menghempaskan punggungnya. Menyeruput jus jeruknya hingga tandas. Ingin sekali melanjutkan ocehannya tadi, tetapi urung karena Fena buru-buru menahannya.

"Dilihat banyak orang," peringat Fena dengan wajah menunduk. Ketika semua atensi tidak mengarah ke mereka lagi, barulah dia bernapas lega.

Leona mengembuskan napas berulang. "Kenapa sih yang gue mau didapet dia mulu," ujar Leona meneruskan kekesalannya lagi. Tidak hanya nilai yang dikejarnya habis-habisan, tetapi juga cowok yang disukainya. Mungkin Cila tidak pernah menyadari itu. Gadis itu, kan tidak pernah peduli dengan sekitarnya.

Fena mendengus. "Dia emang punya semuanya," gumamnya tidak heran. Berteman dengan Cila membuatnya hapal. Bahkan kesialan tidak pernah menghampiri gadis itu. Beruntung sekali.

"Gue curiga mereka nggak putus," ungkap Leona menatap Fena yang sibuk membaca di bangku. Menggeleng heran karena Fena tidak terlihat terusik dengan teriakannya. Masih fokus dengan buku paket. Padahal, Leona sudah menconteki jawabannya untuk gadis itu. Begitulah jika dia mencari patner.

"Memang enggak," balas Fena memberi pendapat. Dia mendongak. Mendapati wajah Leona yang terkejut. Ada binar keraguan dalam matanya.

"Awas aja kalau lo bohong!" tuduh Leona dengan telunjuk mengarah kepada Fena. Tidak main-main ancaman itu.

Fena mengangguk yakin. Tidak ada kebohongan dalam matanya. Dia sudah meyakini itu ketika gelagat keduanya begitu mencurigakan. "Mereka lagi cari sesuatu," ujarnya kemudian menutup buku. Entah sesuatu apa. Seingatnya, meskipun Fena dan Cila tidak lagi bertegur sapa. Teman sebangkunya itu selalu menceritakan berbagai hal. Entah itu cerita tentang rumahnya atau hubungannya dengan Diana.

"Rahasia lo gue pegang. Inget!" ancam Leona dengan senyum puas. Itulah alasan kenapa Fena mengikutinya ke mana pun. Rahasia yang sangat besar. Fena benci mengakui itu.

Fena berdiri. Dia tidak mengiyakan meskipun itu benar. "Gue harap lo nepatin janji," ujarnya lagi. Semata-mata dia berada di sini karena kepentingan Leona. Meskipun awalnya Fena ingin berhenti. Lagi-lagi dia kalah karena rahasianya terancam dibeberkan.

Fena memutuskan kembali ke kelas. Tidak ingin berlama-lama bersama Leona. Yang ada otaknya malah buntu. Apalagi ujian semester hampir tiba. Kepalanya bisa pecah jika nilai ujiannya kembali jelek. Sekeras apa pun dia berusaha, mengalahkan Cila rasanya tidak mungkin. Seharusnya lo sama Cila sekarang, kata hatinya berkata untuk kesekian.

Dan, kembali dipermainkan olehnya? Fena menggeleng. Dia bisa berdiri sendiri tanpa bayang-bayang gadis itu.

Sepeninggalan Fena, Leona menyandarkan tubuhnya di kursi. Dia berkutat dengan ponsel Fena yang sedari tadi disandera. Cekikikan sendiri seperti orang gila. Beberapa orang yang melihat menganggapnya aneh.

"Lo pasti lagi nangis-nangis sekarang," ujarnya santai. Kemudian menyajikan gawai milik Fena. Memasukannya ke saku rok. Dia yang memegang gawai itu sekarang. Dengan mudah dan tanpa paksaan.

Lihat? Mana ada teman yang betul-betul sahabat. Seperti halnya Diana yang selalu ngelunjak ketika bersama Leona. Menganggap mereka berada di level sama. Padahal, mereka berbeda level.

"Tunggu aja pembalasan gue." Dendam berkobar dalam matanya. Dipermalukan di depan umum membuatnya begitu benci Angga. Luntur sudah rasa kagumnya pada cowok itu, meski sedkit. Ditambah senyum Angga ketika bersama Cila. Mereka bahagia. Leona benci melihat itu di atas penderitaannya sendiri.

***

Cila tidak sengaja menjatuhkan kotak pensil milik Fena. Mereka saling berpandangan sejenak setelah itu kecanggungan menyelimuti. Dia meletakkannya kembali. Suasana senyap karena mereka latihan soal untuk ujian semester.

"Wah, lo udah semua," ujar Cila tidak sengaja melihat buku cetak milik teman sebangkunya itu. Sudah terdapat jawaban dan coret-coretan. Dia saja masih setengah dari tugas yang seharusnya.

Fena tidak menjawab, malah menutup bukunya. Antara malu dan tidak ingin menjadi pusat perhatian. Beberapa teman menatapnya dengan ekspresi terkejut. Lebih banyak keraguan dalam mata mereka.

Kemampuan Fena memang sering diragukan. "Lo pasti sengaja, kan?" tanyanya sinis.

Cila terkejut. Matanya menyipit. Tidak mengerti apa yang tengah Fena bicarakan. "Sengaja?" tanyanya mengulang.

"Pura-pura. Sekarang jago pura-pura, ya. Emang bener kata Leona," ujar Fena tanpa sadar. Matanya memanas. Mungkin puncak dari kekesalannya selama ini adalah sekarang. Ditambah kata-kata Leona yang seingkali memojokkannya. Betapa baiknya Fena mau berteman dengan gadis bar-bar seperti Cila.

"Kata Leona," gumam Cila tersinggung. Padahal, dia belum tahu apa yang dimaksud. Melihat bagaimana cara Fena menatapnya, mungkin saja dia telah difitnah seperti sebelumnya.

"Lo lebih percaya orang lain daripada gue," ujarnya Cila lagi, sinis. Sengaja merendahkan perkataannya karena ada banyak mata memandang.

Fena ikut mendesis. "Gue nggak pernah percaya kata-kata orang lain. Tetapi, sifat lo emang gini. Selalu aja pengin menang sendiri." Suara hatinya terombang-ambing. Lolos jugalah alasan yang selama ini dipendamnya.

"Emang gini. Baru tahu? Ke mana aja?" tanyanya tidak lagi berminat pada soal-soal di depan wajahnya. Darahnya mendidih karena disinggung seperti ini.

Ada sesal di mata Fena. Dia baru tersadar kenapa selama ini tidak pernah berontak. Takutkan? Jelas. Sekarang dia punya Leona yang bisa melindunginya. Dia memilih mengalihkan pandang. Kemudian fokus kembali ke soal yang hampir dituntaskannya.

Cila mendesah panjang. Dia merasakan kalau sikpanya memang kadang berlebihan. "Kalau gue lagi khilaf, tegur aja." Mungkin Fena lupa dengan kalimat itu. Awal di mana mereka bertemu di kelas sebelas ini dan menjadi teman sebangku. Dia tidak salah, kan?

Otak Cila berpikir keras. Dia merasakan sesuatu yang janggal. Buru-buru dibukanya gawai untuk mengirim pesan kepada Angga.

Ketemuan di perpustakaan

Tak butuh waktu lama. Balasan dari Angga muncul dua detik setelah pesannya terkirim. Cila menggerutu dalam hati. Secepat itu balasannya, ya. Pasti jam kosong di kelas Angga sekarang.

"Gue saranin jangan terlalu deket sama Leona," ujar Cila pelan. Tanpa berniat mendominasi seperti tadi. "Walaupun bukan urusan gue, sih. Hati-hati aja."

Diana telah bercerita ketika Cila mendesak tadi malam. Tentu saja waktu Diana menangis hebat karena hujatan yang diterimanya. Saat itu pikirannya kacau dan tiba-tiba saja dia mengetuk pintu kamar Cila dan menangis hebat. Selain mengulik informasi dari Diana, hubungan mereka perlahan merekat. Layaknya saudara jauh yang baru bertemu. Itu salah satu hal positifnya.

"Apa lo dibalik semua ini," gumamnya ragu. Meski belum cukup bukti, cukup membuatnya yakin dengan dugaan kali ini.

________

MY BAD DAY ✔Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu