Chapter 27

25 2 0
                                    

Diana tidak akan pernah menuruti perkataan Cila. Ada pembenaran sendiri yang dia pegang. Seperti saat ini, Mereka tidak pulang bersama. Kendati Mama begitu senang mereka jadi akur kembali. Diana, sih tidak keberatan berbaik hati dengan Cila. Anggap saja dia salah menilai sepupunya itu.

Diana melongok. Lewat tembok pembatas antara kelas sebelas dua dengan tempat loker, dia mengintai hampir lima belas menit. Harap-harap tidak ada yang curiga kenapa dia di sini. Kepalanya sampai pegal karena melirik ke sana ke mari. Barulah sepuluh menit kemudian gadis itu mendesah lega.

Diana melangkah lebar-lebar menuju loker yang dihapalnya beberapa hari terakhir. Sejak menangkap basah loker milik Leona si mantan teman, Diana menempatkan mata-mata. Orang-orang yang masih loyal dengan esksistensinya. Dia berjalan seperti biasa. Memastikan keadaan sekali lagi. Tidak ada yang mencurigainya.

"Aman," gumamnya lalu terkekeh sendiri. Tangannya membuka loker milik Leona. Tidak ada suara yang timbul karena dia melakukan dengan hati-hati.

Gadis itu mengeluarkan masker yang sempat Cila bicarakan. Ini bisa menjadi senjata untuk menjatuhkan Leona. Dia terkikik kembali mengingat balasan untuk gadis itu.

Diana memasukkan masker-masker itu ke dalam tas. Menormalkan ekspresinya agar tidak terlihat aneh. Langkahnya riang gembira. Bahkan menyanyi sebaris lagu yang tengah populer. Tidak biasanya.

Leona kebetulan ingin mengambil buku paket di loker—Besok ada ulangan perbaikan nilai sebelum ulangan semester. Keningnya mengernyit kala mendapati Diana tersenyum riang. Sejauh mereka berteman hanya ada dua hal yang bisa membuatnya begitu bahagia, melihat orang lain kesusahan atau mendapat apa yang diinginkan.

"Oh. Hai!" sapa Diana dengan kedua tangan melambai padanya. Senyum mengejeknya terbit.

"Siapa, sih," jawab Leona dengan wajah menjengkelkan.

Leona kira dia bakal mendapati wajah murka, gadis di depannya malah tersenyum semakin lebar. Sontak saja mengundang keheranan di mata Leona.

"Oh, iya, lupa. Hai mantan teman!" koreksi Diana sedikit mendramatisir keadaan. Suaranya lantang seolah mengumumkan kepada orang-orang sekitar.

Leona menahan kesal karena dibalas seperti itu. Harga dirinya seolah diinjak. "Kenapa? Mau ngajak temenan lagi? Sekarang, kan udah nggak populer," sindirnya dengan emosi meluap.

Diana mendengkus. Mau tak mau ikut terpancing juga. "Temenan? Emangnya sejak kapan kita temenan?" balasnya sarkas. Dia memegang perut karena tertawa terbahak-bahak.

"Netizen, kan sukanya nyinyir. Mau pansos mulu. Nggak heran deh lo ganti posisi sekarang. Untuk mendukung ucapannya itu, dia mengibaskan rambut dengan gaya angkuh.

Diana berniat meladeni omongan itu. Sampai nasehat Cila tempo hari terngiang kembali. Dia tidak boleh melakukan hal-hal bodoh. Sejenak, dia mengurungkan niat untuk memancing war di siang terik ini. Hanya sesaat. Sampai Leona mengucapkan seuatu yang tidak bisa ditolerir lagi. "Yah. Lo tanpa gue emang nggak bisa apa-apa."

"Liat aja besok—" Diana melebarkan mata. Bibirnya tertutup kembali. Hampir saja dia meloloskan rencana tersembunyi itu. Untungnya dia cepat sadar karena tidak sengaja melihat Cila berjalan kebingungan di pinggir lapangan. "Cila!" teriaknya kencang. Wajahnya berbinar ceria. Dengan begini dia tidak berlama-lama berada di sini.

"Ada yang aneh." Leona mengetuk telunjuk di dagu dengan mata menyipit. Dipandanginya Diana yang berlari terburu-buru ke arah sepupunya itu. Dia lantas menggendikkan bahu. Sopirnya pasti sudah menunggu di depan sana.

***

"Ponsel lo jatuh!" teriak Cila kencang. Gadis berambut kepang yang dimaksudnya berbalik arah. Agaknya sadar kalau benda persegi itu tidak ada saku baju. Terbukti dari tangannya yang mencari-cari.

Fena menatap ke depan. Dia menggigit bibir tatkala melihat Cila menggoyangkan ponsel miliknya. Dalam hati meruntukki kebodohannya sendiri. Bisa-bisanya menjatuhkan benda sepenting itu.

Dia sedikit berlari agar cepat sampai. Tangannya terulur untuk meraih benda persegi itu. Sayangnya, dia kalah cepat. Seseorang telah mengambilnya lebih dulu. Matanya menyiratkan kecurigaan besar ketika gawai itu berada di tangannya. Ada senyum miring yang membuat Fena gelisah. Ini tidak baik, pikirnya.

"Gue penasaran apa isinya," sahut Diana setelah memberi jarak pada keduanya. Takut kalau nanti gawai ini bakalan direbut kembali.

Cila menggelengkan kepala. Tidak habis pikir dengan pikiran sepupunya. Dia melirik ke depan, pada pemilik benda yang menjadi rebutan itu. Sedikit heran karena bukannya takut seperti biasanya, wajah Fena tampak memerah. Seperti marah karena Diana seenak jidat mengotak-atik kunci layar yang menampilkan kunci pola.

Diana sibuk sendiri setelah dua kali percobaan gagal. Lagi pula dia asal saja memasukkan polanya. Tidak ada niatan untuk bertanya pada Fena.

"Mending lo balikin," ucap Cila mewakili suara hati yang Fena pendam. Dia sedikit bersyukur karena rasa gugup dan takutnya masih terasa. Dia benci melawan Diana karena sering jadi korban kejahilan dulu. Seperti biasa, ada seseorang yang menolongnya. Gadis yang sama seperti dulu. Tetapi hal itu tidak lagi membuat Fena senang.

"Enak aja. Gue kepo, nih. Diem deh," ujar Diana ketus. Sekali lagi percobaannya gagal. Dia berpikir keras.

Fena tidak tahan lagi. Tatapan kasihan Cila dan dipermainkan Diana adalah kombinasi yang pas. Dapat membuatnya meradang sepanjang tahun lalu. "Gue minta balikin ponsel gue," ujarnya menahan napas. Mumpung ada sisa keberanian dalam dirinya.

Diana mencebik sebagai balasan. "Ambil sendiri, dong," tantangnya dengan senyum miring.

Tanpa aba-aba Fena menarik gawai itu. Berhasil membuat Diana tercengang dengan tindakannya. Tangannya sampai terasa pedih di beberapa bagian karena kuku Fena mengenainya. Menandakan betapa kuatnya cengkraman tadi.

"Mungkin dulu kalian bisa ngerendahin gue," ujarnya menatap keduanya secara bergantian. Keseriusan kata-kata itu membuat Cila terdiam. "Sekarang nggak bisa lagi. Lagian, kalian, kan loser di sekolah ini," lanjutnya. Mencoba tersenyum sinis. Meskipun yang terjadi adalah senyum menyedihkan di mata Cila.

Fena pergi setelah mengatakan itu kebetulan juga Leona memanggilnya. Lengkap dengan gaya otoriternya. 

"Dia kenapa?" tanya Diana masih belum paham. Otak lambatnya berkerja kembali. Matanya mengekor Fena yang berjalan di belakang Leona. Keadaan yang persis yang selalu dilakukan Diana kepada gadis itu.

"Orang juga punya privasi kali," balas Cila kesal juga. Matanya mendelik demi mendapati Diana yang mengangguk polos. Tampak tidak mengerti dengan ucapannya. Tanpa sadar, Cila menepuk keningnya. Benar-benar heran dengan kerja otak Diana yang lambat.

Diana melebarkan mata. Baru sadar. "Kudu kita kasih pelajaran, tuh orang," gumamnya dengan mata membara.

Cila menggeleng. "Kita? Sejak kapan ada kita?" tanyanya dengan gerak tangan berlebih. Puas sekali membuat Diana tercengang untuk kedua kali. Rasakan!

Seseorang melambai ke arah mereka. Dia tahu untuk siapa senyum manis itu. Ada setitik dengki melihatnya. Lebih besar didominasi dengan rasa benci dan ingin mencakar-cakar wajah Angga. Sayangnya, cowok itu tidak menyadari raut tidak bersahabat yang ditunjukkan Diana. Kemudian, dia memilih beranjak dari sana.

______________

MY BAD DAY ✔Där berättelser lever. Upptäck nu